Perwakilan 5 Negara Belajar Subak di Pejeng Kaja
Perwakilan anggota lembaga Marginal Area Research Group (MARG) yakni Jepang, Swedia, Korea Selatan, Indonesia, dan Malaysia, belajar tentang subak di Gianyar.
GIANYAR, NusaBali
Proses pembelajaran melalui seminar internasional dan workshop tentang modal sosial di pedesaan, di sebuah villa, Banjar Sembuwuk, Desa Pejeng Kaja, Kecamatan Tampaksiring, Rabu (26/6) – Kamis (27/6).
Seminar dan workshop bertajuk The First Sosial Capital and Development Trends of Countryside in Knowledge Society. Kegiatan kali ini dilaksanakan Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, selaku tuan rumah.
Panitia pelaksana seminar dan workshop, Ismu Rini Dwi Ari PhD dari Universitas Brawijaya, mengatakan pemilihan lokasi seminar dan workshop ini di Gianyar, karena kegiatan ini berfokus pada pertanian khususnya bidang persubakan. Objek kajian berupa subak karena organisasi irigasi tradisional ini berbasis kearifan lokal Bali hingag mampu menarik minat wisatawan. Subak di Gianyar juga telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO.
Untuk workshop, peserta akan diajak ke Subak Kutuh, Desa Pejeng Kaja, Tampaksirig. Sbak ini merupakan salah satu penyanding destinasi wisata ternama Ubud. Peserta kegiatan ini dari kalangan akademisi, praktisi, unsur pemerintah daerah dan pusat, mahasiswa, dan masyarakat umum.
Seminar dan workshop dibuka Bupati Gianyar diwakili Kepala Dinas Pertanian Gianyar Ir I Made Raka. Dia menjelaskan, subak merupakan organisasi tradisional bidang pertanian yang terpadu dari aspek social, ekonomi, dan riligi. Subak amat penting dilestarikan. ‘’Merawat subak sama dengan menjaga nilai-nilai budaya dan tata guna air,’’ jelasnya.
Bupati Gianyar melalui Made Raka menyambut baik kegiatan seminar dan workhosp ini untuk menyamakan persepsi tentang subak sebagai modal sosial. ‘’Kami harapkan hasil seminar dan workshop ini menjadi masukan hingga dapat dituangkan dalam program pembangunan daerah,’’ jelasnya.
Salah seorang peserta dari Universitas Kyoto, Japang Prof Kiyoshi Kobayashi mengaku, sangat ingin mendalami subak secara detail. Dia mengakui, Jepang punya sistem irigasi pertanian hingga mampu menunjang perekonomian Jepang. Tantangan pertanian di Jepang hampir sama di dunia, yakni keterbatasan lahan, perubahan iklim, dan keterbatasan air. ‘’Tapi kami ingin tahu subak secara utuh. Karena dalam subak, tak hanya fisik, melainkan ada modal sosial,’’ jelasnya.
Hal senada diungkapkan Prof Hans Westlund KTH asal Swedia. Dia menyimak subak sebagai lembaga irigasi tradional Bali yang dibangun dari hubungan harmonis antar individu yang kuat. Dia mengharapkan setelah kegiatan ini dapat diketahui ada metode baru untuk meningkatkan kualitas kehidupan petani baik di desa dan perkotaan. *lsa
Seminar dan workshop bertajuk The First Sosial Capital and Development Trends of Countryside in Knowledge Society. Kegiatan kali ini dilaksanakan Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, selaku tuan rumah.
Panitia pelaksana seminar dan workshop, Ismu Rini Dwi Ari PhD dari Universitas Brawijaya, mengatakan pemilihan lokasi seminar dan workshop ini di Gianyar, karena kegiatan ini berfokus pada pertanian khususnya bidang persubakan. Objek kajian berupa subak karena organisasi irigasi tradisional ini berbasis kearifan lokal Bali hingag mampu menarik minat wisatawan. Subak di Gianyar juga telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO.
Untuk workshop, peserta akan diajak ke Subak Kutuh, Desa Pejeng Kaja, Tampaksirig. Sbak ini merupakan salah satu penyanding destinasi wisata ternama Ubud. Peserta kegiatan ini dari kalangan akademisi, praktisi, unsur pemerintah daerah dan pusat, mahasiswa, dan masyarakat umum.
Seminar dan workshop dibuka Bupati Gianyar diwakili Kepala Dinas Pertanian Gianyar Ir I Made Raka. Dia menjelaskan, subak merupakan organisasi tradisional bidang pertanian yang terpadu dari aspek social, ekonomi, dan riligi. Subak amat penting dilestarikan. ‘’Merawat subak sama dengan menjaga nilai-nilai budaya dan tata guna air,’’ jelasnya.
Bupati Gianyar melalui Made Raka menyambut baik kegiatan seminar dan workhosp ini untuk menyamakan persepsi tentang subak sebagai modal sosial. ‘’Kami harapkan hasil seminar dan workshop ini menjadi masukan hingga dapat dituangkan dalam program pembangunan daerah,’’ jelasnya.
Salah seorang peserta dari Universitas Kyoto, Japang Prof Kiyoshi Kobayashi mengaku, sangat ingin mendalami subak secara detail. Dia mengakui, Jepang punya sistem irigasi pertanian hingga mampu menunjang perekonomian Jepang. Tantangan pertanian di Jepang hampir sama di dunia, yakni keterbatasan lahan, perubahan iklim, dan keterbatasan air. ‘’Tapi kami ingin tahu subak secara utuh. Karena dalam subak, tak hanya fisik, melainkan ada modal sosial,’’ jelasnya.
Hal senada diungkapkan Prof Hans Westlund KTH asal Swedia. Dia menyimak subak sebagai lembaga irigasi tradional Bali yang dibangun dari hubungan harmonis antar individu yang kuat. Dia mengharapkan setelah kegiatan ini dapat diketahui ada metode baru untuk meningkatkan kualitas kehidupan petani baik di desa dan perkotaan. *lsa
1
Komentar