Legong Klasik Saba Gianyar Eksis di PKB
Kalangan Angsoka, Taman Budaya Provinsi Bali, Denpasar, diramaikan dengan pertunjukan kesenian Legong Klasik Saba Gianyar oleh Sanggar Seni Saba Sari, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Duta Kabupaten Gianyar, Kamis (27/6) siang.
DENPASAR, NusaBali
Tari Legong termasuk yang digemari oleh penari Bali hingga kini. Tak ayal, tarian tersebut pun menyedot animo penonton. Sanggar Seni Saba Sari tak hanya menampilkan legong klasik khas Saba. Sebagai persembahan awal, dimainkan instrumen gamelan bertajuk Sekar Gendotan karya maestro I Wayan Lotring. Garapan kedua yakni Tari Gabor yang ditujukan sebagai sebuah tari penyambutan. Sebagai persembahan ketiga, sanggar dari gumi seni Gianyar ini menampilkan Tari Legong Lasem, keempat yakni Tari Jauk Manis. Persembahan pamungkas pun datang dari Tari Legong Raja Cina yang direkonstruksi dan dikembangkan oleh AA Ngurah Serama Semadi.
Pemimpin Sanggar Seni Saba Sari, AA Ngurah Serama Semadi mengungkapkan bahwa sanggar ini telah lama mengupayakan pelestarian untuk kesenian Legong Klasik. Mulanya pada tahun 1911 oleh ayahnya sendiri, AA Gde Raka Saba. Sebagai penerus dari sanggar yang berlokasi di Puri Saba, Gung Aji, demikian sapaan akrabnya, pun mulai menyadari bahwa terdapat sebuah Tari Legong yang keberadaannya perlu direkonstruksi. “Raja Cina ini adalah Legong hasil rekonstruksi yang saya lakukan pada tahun 2012, dulu pernah mati dan tidak ada legong itu,” terang Gung Aji.
Berbekal warisan tabuh pengawak, Gung Aji pun memulai proses rekonstruksi dengan bermain pada refrensi tari legong di masa lalu dari sang ayah, sehingga dapat membayangkannya, mengolah, dan menyesuaikan antara gerak dan tabuhnya. Dalam merekonstruksi, Gung Aji tak sendiri, kehadiran maestro sekaligus pengamat seni layaknya I Wayan Dibia, I Made Bandem, dan Ni Ketut Arini memberi masukan membuat rekonstruksi ini akhirnya rampung.
Sementara itu budayawan Prof Dr I Wayan Dibia MA, mengatakan sentral Legong Klasik yang terdapat dalam beberapa daerah di Bali tentunya memiliki ciri khasnya tersendiri. Begitupula dengan daerah Saba, Gianyar. “Angsel-angsel (nuansa pola gerak) Saba-nya itu yang khas, tidak dimiliki oleh daerah lain seperti ada gerakan khusus yang membedakan Saba dengan yang lain,” ujarnya.
Prof Dibia pun bersyukur, karena keberlangsungan Legong Saba masih hidup. Pada daerah lain, Dibia melihat kesenian legong klasik mengalami naik turun. Sehingga, sebuah ruang layaknya Pesta Kesenian Bali membuat palegongan klasik tetap hidup dan lestari. Ke depannya, baik Dibia maupun Gung Aji mengutarakan bahwa ruang-ruang untuk menampilkan kesenian legong ini harus terus dibentuk, agar tak mandeg di PKB semata. *ind
Pemimpin Sanggar Seni Saba Sari, AA Ngurah Serama Semadi mengungkapkan bahwa sanggar ini telah lama mengupayakan pelestarian untuk kesenian Legong Klasik. Mulanya pada tahun 1911 oleh ayahnya sendiri, AA Gde Raka Saba. Sebagai penerus dari sanggar yang berlokasi di Puri Saba, Gung Aji, demikian sapaan akrabnya, pun mulai menyadari bahwa terdapat sebuah Tari Legong yang keberadaannya perlu direkonstruksi. “Raja Cina ini adalah Legong hasil rekonstruksi yang saya lakukan pada tahun 2012, dulu pernah mati dan tidak ada legong itu,” terang Gung Aji.
Berbekal warisan tabuh pengawak, Gung Aji pun memulai proses rekonstruksi dengan bermain pada refrensi tari legong di masa lalu dari sang ayah, sehingga dapat membayangkannya, mengolah, dan menyesuaikan antara gerak dan tabuhnya. Dalam merekonstruksi, Gung Aji tak sendiri, kehadiran maestro sekaligus pengamat seni layaknya I Wayan Dibia, I Made Bandem, dan Ni Ketut Arini memberi masukan membuat rekonstruksi ini akhirnya rampung.
Sementara itu budayawan Prof Dr I Wayan Dibia MA, mengatakan sentral Legong Klasik yang terdapat dalam beberapa daerah di Bali tentunya memiliki ciri khasnya tersendiri. Begitupula dengan daerah Saba, Gianyar. “Angsel-angsel (nuansa pola gerak) Saba-nya itu yang khas, tidak dimiliki oleh daerah lain seperti ada gerakan khusus yang membedakan Saba dengan yang lain,” ujarnya.
Prof Dibia pun bersyukur, karena keberlangsungan Legong Saba masih hidup. Pada daerah lain, Dibia melihat kesenian legong klasik mengalami naik turun. Sehingga, sebuah ruang layaknya Pesta Kesenian Bali membuat palegongan klasik tetap hidup dan lestari. Ke depannya, baik Dibia maupun Gung Aji mengutarakan bahwa ruang-ruang untuk menampilkan kesenian legong ini harus terus dibentuk, agar tak mandeg di PKB semata. *ind
1
Komentar