Matekap Kian Tinggal Kenangan
Meski cara bertani tradisional harus ditanggalkan, bagaimana budaya bertani tempo dulu, sebisa mungkin dilestarikan.
DENPASAR, NusaBali
Produksi padi yang melimpah dalam waktu sesingkat-singkatnya, menjadi mimpi indah para petani modern, termasuk di Bali. Bertani dengan bantuan mesin bajak traktor jadi jawaban. Maka matekap atau membajak sawah secara tradisional dengan tenaga sapi atau kerbau, lenyap dan hanya jadi kenangan.
Tak hanya itu, kini tak ada lagi petani membangunkan anak-anaknya di pagi buta untuk membantu nengala/membajak di sawah. Bertani secara modern yang serba berbau mesin dan sewa, salah satu jawabannya. Bertani tradisional yang manual tak mampu memenuhi tuntutan pasokan produksi padi.
“Memang pertanian di Bali tidak bisa menghindar dari pemanfaatan teknologi (pertanian),” ujar Ir Ni Ketut Kariati, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra (Undwi), Denpasar. Ditemui di Kampus Undwi di Jalan Kamboja, Jumat (14/6), dia menjelaskan pemanfaatan teknologi tentu bertujuan untuk meningkatkan atau menggenjot produksi. Tujuannya bagaimana bisa bertani secara efektif, di lahan yang rata-rata untuk petani di Bali tidak luas alias gurem, namun bisa berproduksi sebanyak mungkin. Bukan saja tuntutan produksi, tetapi dari sisi petani tentu untuk meningkatan pendapatan atau income. “Perkakas tani, seperti tengala cangkul dan lainnya itu kan juga teknologi, teknologi sederhana,” jelasnya. Semuanya itu, juga pada dasarnya untuk membantu bagaimana bertani, lebih mudah pada masanya. Karena memang begitulah, hahikat teknologi untuk mempermudah kerja manusia. Dalam hal traktor sebagai contoh, menggantikan peran tengala (bajak) untuk mengolah sawah.
Meski cara bertani tradisional harus ditanggalkan, Kariati berpendapat, bagaimana budaya bertani tempo dulu, sebisa mungkin dilestarikan.”Museum Subak (di Sanggulan, Tabanan) salah satu bentuk pelestarian tentang pertanian tradisional,” tunjuk akademisi kelahiran Karangasem ini. Kata Kariati, museum tersebut tentu memang sudah dirancang dan disiapkan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan dalam bertani di Bali, yang tak terelakkan.
Kata Kariati, sebagai daerah tujuan wisata, Bali harus bisa mempertahankan keunikkannya. Dalam hal ini keunikan bagaimana bertani secara manual,secara tradisional. Mulai mengolah sawah, menanam sampai dengan panen dan pasca panen. Karena keunikan itulah, daya pikat Bali, yang menjadi alasan mengapa pelancong berdatangan. Setidak-tidaknya, kata Kariati usaha pewarisan pengetahuan bertani tempo dulu tetap dilakukan.
Dia menunjuk kampusnya di Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra Denpasar. “Di sini, mahasiswa kami juga diajarkan basis-basis pertanian tradisional,” jelas Kariati. Diantaranya ada mata kuliah subak, pembangunan pertanian berkelanjutan dan agrowisata. Sehingga, mahasiswa punya basic pengetahuan tentang studi pertanian di lingkungannya, khususnya Bali yang unik. Salah satunya keberadaan subak sebagai wadah/organisasi profesi yang sosial religius, termasuk tata kelola irigasinya. “Jadi sebelum studi lanjut, ada pengetahuan dasar,” ujarnya menunjuk Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra dengan dua program studi Agribisnis dan Agroteknologi.
Sebelumnya, kalangan petani menuturkan, traktor benar- benar mempermudah kerja petani. Contohnya, untuk membajak lahan seluas bit tenah (luas antara 0,25 hektare-0,30 hektare) tidak butuh waktu seharian lebih, sebagaimana membajak secara menual menggunakan tengala/bajak. Cukup tengah hari, 4-5 jam sudah rampung. “Kalau dengan tengala butuh waktu dua kali pengambilan (dua hari),” ujar I Made Kontra, petani asal Banjar Banda, Saba Blahbatuh. Mantan pekaseh ini mengiyakan traktor sangat memudahkan kerja sebagai petani.
Jelas Made Kontra, wit/ bit tenah memang menjadi satuan atau ukuran kepemilikan lahan sawah petani di subaknya, dan mungkin subak lainnya. Rata-rata kepemilikan sawah petani seperti Made Kontra, satu bit tenah. Ada yang memiliki lebih, bit dua, namun ada juga yang memiliki kurang dari bit tenah- di kisaran 0,12-0,15 hektare. Sehingga jika dirata-rata sekitar 0,25-0,30 hektare.
Kembali dengan kemudahan pemanfaatan traktor itulah, kata Made Kontra, pekerjaan jadi petani seolah-olah hanya tinggal status sebagai petani. Karena selain membajak memakai traktor, pekerjaan lanjutan mulai menanam sampai dengan nebas juga kebanyakan dengan mengupah. Kerja tani lainnya yang tersisa, paling mejukut(menyiangi), ngompres atau nyemprot beberapa kali. “Atau sesekali metengin, ngontrol air sawah ,” ujar lelaki sepuh ini.Akibat semua serba ngupah dan sewa itulah, pendapatan dari usaha bertani seperti lebih besar pasak daripada tiang. Bayangkan, untuk lahan satu bit tenah, untuk saat sekarang ini paling tidak butuh biaya produksi Rp 2 juta. Biaya tersebut untuk ongkos/sewa traktor, menanam, pupuk, nyemprot hingga ongkos panen. Kalau panen baik dan harga gabah lumayan, bisa untung sedikit. Untuk 0,25 hektare itu bisa dapat rata-rata Rp 4-5 juta. Jadi dapat selisih 2-3 juta, selama 4 bulan. Satu periode musim tanam. “Syukur kalau panen bagus, jika gagal rugi sudah pasti,” ujarnya.
Karena hasil yang tidak berimbang serta bergantung pada alam itulah, Made Kontra mengiyakan perolehan dari usaha bertani tak sepenuhnya bisa jadi tumpuan perekonomian keluarga. Alasan itul pula mengapa banyak yang cari pekerjaan lain. Mulai jadi tukang, buruh bangunan, sampai pekerjaan lain yang memungkinan pendapatan langsung atau lebih cepat. “Jadi terbalik, petani kerja sampingan, tukang jadi kerja tumpuan,” ujarnya mengilustrasi. Hal itu memungkinkan, karena memang banyak waktu luang yang tersisa, selepas musim tanam. “Teman teman saya yang seger, banyak yang kerja tambahan jadi tukang dan meburuh,” tambahnya.
Selain memudahkan cara kerja bertani, kehadiran traktor juga membuat ‘pensiun’ atau kadaluwarsa cara dan perkakas pertanian tradisional. Tengala (alat bajak), lampit ( sejenis bajak untuk meratakan lahan) dan yang berbau kuna lainnya, berstatus layak koleksi museum. Pertalian ternak sapi/kerbau yang dipakai petani saat membajak, berakhir. Tak perlu lagi, melatih godel (anak sapi) menjadi sosok sapi yang terampil melangkah dilumpur menarik bajak. Dengan ‘komando’ haad dan suss oleh i petani yang mengarahkan dari belakang memegang ikut tengala/ekor bajak dengan kiri, serta pecut dan tali kundali di tangan kanan. “Sapi pun manja, tidak perlu dilatih belajar sebahu (berpasangan agar padu dengan pasangannya),” cerita Made Kontra. Dia menduga, karena itu pula sapi ternak petani rentan patah tulang. Cepat gemuk, namun karena tak terlatih, tak lagi membantu membajak, tulangnya jadi rapuh. Tidak lagi kekar dan siteng, sebagaimana sapi ‘tempo doeloe’ yang terlatih, payah diajak matekap oleh petanni yang empunya. *k17
Tak hanya itu, kini tak ada lagi petani membangunkan anak-anaknya di pagi buta untuk membantu nengala/membajak di sawah. Bertani secara modern yang serba berbau mesin dan sewa, salah satu jawabannya. Bertani tradisional yang manual tak mampu memenuhi tuntutan pasokan produksi padi.
“Memang pertanian di Bali tidak bisa menghindar dari pemanfaatan teknologi (pertanian),” ujar Ir Ni Ketut Kariati, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra (Undwi), Denpasar. Ditemui di Kampus Undwi di Jalan Kamboja, Jumat (14/6), dia menjelaskan pemanfaatan teknologi tentu bertujuan untuk meningkatkan atau menggenjot produksi. Tujuannya bagaimana bisa bertani secara efektif, di lahan yang rata-rata untuk petani di Bali tidak luas alias gurem, namun bisa berproduksi sebanyak mungkin. Bukan saja tuntutan produksi, tetapi dari sisi petani tentu untuk meningkatan pendapatan atau income. “Perkakas tani, seperti tengala cangkul dan lainnya itu kan juga teknologi, teknologi sederhana,” jelasnya. Semuanya itu, juga pada dasarnya untuk membantu bagaimana bertani, lebih mudah pada masanya. Karena memang begitulah, hahikat teknologi untuk mempermudah kerja manusia. Dalam hal traktor sebagai contoh, menggantikan peran tengala (bajak) untuk mengolah sawah.
Meski cara bertani tradisional harus ditanggalkan, Kariati berpendapat, bagaimana budaya bertani tempo dulu, sebisa mungkin dilestarikan.”Museum Subak (di Sanggulan, Tabanan) salah satu bentuk pelestarian tentang pertanian tradisional,” tunjuk akademisi kelahiran Karangasem ini. Kata Kariati, museum tersebut tentu memang sudah dirancang dan disiapkan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan dalam bertani di Bali, yang tak terelakkan.
Kata Kariati, sebagai daerah tujuan wisata, Bali harus bisa mempertahankan keunikkannya. Dalam hal ini keunikan bagaimana bertani secara manual,secara tradisional. Mulai mengolah sawah, menanam sampai dengan panen dan pasca panen. Karena keunikan itulah, daya pikat Bali, yang menjadi alasan mengapa pelancong berdatangan. Setidak-tidaknya, kata Kariati usaha pewarisan pengetahuan bertani tempo dulu tetap dilakukan.
Dia menunjuk kampusnya di Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra Denpasar. “Di sini, mahasiswa kami juga diajarkan basis-basis pertanian tradisional,” jelas Kariati. Diantaranya ada mata kuliah subak, pembangunan pertanian berkelanjutan dan agrowisata. Sehingga, mahasiswa punya basic pengetahuan tentang studi pertanian di lingkungannya, khususnya Bali yang unik. Salah satunya keberadaan subak sebagai wadah/organisasi profesi yang sosial religius, termasuk tata kelola irigasinya. “Jadi sebelum studi lanjut, ada pengetahuan dasar,” ujarnya menunjuk Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra dengan dua program studi Agribisnis dan Agroteknologi.
Sebelumnya, kalangan petani menuturkan, traktor benar- benar mempermudah kerja petani. Contohnya, untuk membajak lahan seluas bit tenah (luas antara 0,25 hektare-0,30 hektare) tidak butuh waktu seharian lebih, sebagaimana membajak secara menual menggunakan tengala/bajak. Cukup tengah hari, 4-5 jam sudah rampung. “Kalau dengan tengala butuh waktu dua kali pengambilan (dua hari),” ujar I Made Kontra, petani asal Banjar Banda, Saba Blahbatuh. Mantan pekaseh ini mengiyakan traktor sangat memudahkan kerja sebagai petani.
Jelas Made Kontra, wit/ bit tenah memang menjadi satuan atau ukuran kepemilikan lahan sawah petani di subaknya, dan mungkin subak lainnya. Rata-rata kepemilikan sawah petani seperti Made Kontra, satu bit tenah. Ada yang memiliki lebih, bit dua, namun ada juga yang memiliki kurang dari bit tenah- di kisaran 0,12-0,15 hektare. Sehingga jika dirata-rata sekitar 0,25-0,30 hektare.
Kembali dengan kemudahan pemanfaatan traktor itulah, kata Made Kontra, pekerjaan jadi petani seolah-olah hanya tinggal status sebagai petani. Karena selain membajak memakai traktor, pekerjaan lanjutan mulai menanam sampai dengan nebas juga kebanyakan dengan mengupah. Kerja tani lainnya yang tersisa, paling mejukut(menyiangi), ngompres atau nyemprot beberapa kali. “Atau sesekali metengin, ngontrol air sawah ,” ujar lelaki sepuh ini.Akibat semua serba ngupah dan sewa itulah, pendapatan dari usaha bertani seperti lebih besar pasak daripada tiang. Bayangkan, untuk lahan satu bit tenah, untuk saat sekarang ini paling tidak butuh biaya produksi Rp 2 juta. Biaya tersebut untuk ongkos/sewa traktor, menanam, pupuk, nyemprot hingga ongkos panen. Kalau panen baik dan harga gabah lumayan, bisa untung sedikit. Untuk 0,25 hektare itu bisa dapat rata-rata Rp 4-5 juta. Jadi dapat selisih 2-3 juta, selama 4 bulan. Satu periode musim tanam. “Syukur kalau panen bagus, jika gagal rugi sudah pasti,” ujarnya.
Karena hasil yang tidak berimbang serta bergantung pada alam itulah, Made Kontra mengiyakan perolehan dari usaha bertani tak sepenuhnya bisa jadi tumpuan perekonomian keluarga. Alasan itul pula mengapa banyak yang cari pekerjaan lain. Mulai jadi tukang, buruh bangunan, sampai pekerjaan lain yang memungkinan pendapatan langsung atau lebih cepat. “Jadi terbalik, petani kerja sampingan, tukang jadi kerja tumpuan,” ujarnya mengilustrasi. Hal itu memungkinkan, karena memang banyak waktu luang yang tersisa, selepas musim tanam. “Teman teman saya yang seger, banyak yang kerja tambahan jadi tukang dan meburuh,” tambahnya.
Selain memudahkan cara kerja bertani, kehadiran traktor juga membuat ‘pensiun’ atau kadaluwarsa cara dan perkakas pertanian tradisional. Tengala (alat bajak), lampit ( sejenis bajak untuk meratakan lahan) dan yang berbau kuna lainnya, berstatus layak koleksi museum. Pertalian ternak sapi/kerbau yang dipakai petani saat membajak, berakhir. Tak perlu lagi, melatih godel (anak sapi) menjadi sosok sapi yang terampil melangkah dilumpur menarik bajak. Dengan ‘komando’ haad dan suss oleh i petani yang mengarahkan dari belakang memegang ikut tengala/ekor bajak dengan kiri, serta pecut dan tali kundali di tangan kanan. “Sapi pun manja, tidak perlu dilatih belajar sebahu (berpasangan agar padu dengan pasangannya),” cerita Made Kontra. Dia menduga, karena itu pula sapi ternak petani rentan patah tulang. Cepat gemuk, namun karena tak terlatih, tak lagi membantu membajak, tulangnya jadi rapuh. Tidak lagi kekar dan siteng, sebagaimana sapi ‘tempo doeloe’ yang terlatih, payah diajak matekap oleh petanni yang empunya. *k17
Komentar