Permintaan Beras Organik Tinggi
Petani Didorong Tangkap Peluang
SINGARAJA, NusaBali
Bidang Pertanian yang menjadi fokus pengembangan di Kabupaten Buleleng saat ini sedang didorong untuk beralih ke sistem pertanian organik. Petani padi di Buleleng juag diarahkan menangkap peluang pasar yang lebih besar, karena sejauh ini permintaan beras organik cukup tinggi. Petani di Buleleng yang sudah menerapkan pertanian organik disebut masih kewalahan menghadapi permintaan.
Plt Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng, I Made Sumiarta, sejauh ini memang sudah ada petani yang menerapkan sistem pertanian organik. Hanya saja jumlahnya masih sangat terbatas. Data terakhir Dinas Pertanian luas lahan pertanian organis khusus tanaman padi baru seluas 117 hektare dari luasan total 10.335 hektare lahan sawah.
Seratusan lahan organik itu pun tersebar di sejumlah subak di Buleleng. Lahan organik terluas ada di Subak Munduk, Kecamatan Banjar seluas 40 hektare dengan komoditas beras merah, sedangkan sisanya 30 hektar di subak Sudaji, Kecamatan Sawan, Suba Cengana 20 hektare dan Subak Kedu 27 hektare di Kecamatan Sukasada dengan varietas padi lokal. “Pertanian organik ini memang sedang kami upayakan untuk terus ditingkatkan, namun tak bisa instan perlu wkatu bertahap, karena masih terkendala kebiasaan petani,” jelas Sumiarta.
Sejauh ini pengembangan lahan organik memang belum banyak diminati petani. Sumiarta mengatakan hal itu karena penyesuaian dari lahan non organic yang bisa menggunakan kimia menjadi lahan organik dengan bahan pupuk organik masih cukup sulit. Petani sejauh ini masih enggan beralih untuk mendapatkan hasil yang lebih menjanjikan.
“Memang awalnya kalau lahan yang biasa pakai kimia ke organik itu penyesuaian hingga lahannya produktif dan menghasilkan bagus sekitar tiga tahunan, selain juga memang pemeliharaan tanamannya dri serangan hama dan penyakit lebih intens. Mungkin ini yang masih menjadi pertimbangan petani,” ungkap dia.
Padahal jika lahan sawah berhasil diorganikkan, petani bisa meraup untung lebih banyak, dari perbandingan harga antara beras organik dengan non organic dengan selisih sangat tinggi. Jika beras non organic yang dihasilkan petani padi pada umumnya hanya laku dijual dalam bentuk beras kisaran Rp 10-11 ribu per kilogram, namun satu kilogram beras organik dapat terjual dengan harga Rp 20 ribu.
“Sementara dari produksi subak organic, produksinya memang dalam bentuk beras dan itu habis di pemasaran lokal saja, bahkan belum mencukupi permintaan pasar. Jadi ini peluang sangat bagus bagi petani untuk meningkatkan kesejahteraan,” jelas dia. Ia pun mencontohkan subak organik yang baru dirintis di Subak Cengana saat ini sudah dapat menghasilkan beras sebanayk 52,2 kuintal per hektare. Sedangkan Subak Munduk dengan produksi beras merah andalannya sudah dapat menghasilkan 4,2 ton padi per hektare. Dengan peluang itu pemerintah mengaku tak tinggal diam. Tak hanya mendorong dari ungkapan saja, tetapi pemerintah mencoba memberikan stimulan berupa bantuan bibit dan pupuk organik kepada petani yang mau beralih ke sistem organik. Selain itu juga ada fasilitasi dengan perusahaan pupuk organik agar dapat menyuplai kebutuhan pupuk lebih banyak ke Buleleng. *k23
Plt Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng, I Made Sumiarta, sejauh ini memang sudah ada petani yang menerapkan sistem pertanian organik. Hanya saja jumlahnya masih sangat terbatas. Data terakhir Dinas Pertanian luas lahan pertanian organis khusus tanaman padi baru seluas 117 hektare dari luasan total 10.335 hektare lahan sawah.
Seratusan lahan organik itu pun tersebar di sejumlah subak di Buleleng. Lahan organik terluas ada di Subak Munduk, Kecamatan Banjar seluas 40 hektare dengan komoditas beras merah, sedangkan sisanya 30 hektar di subak Sudaji, Kecamatan Sawan, Suba Cengana 20 hektare dan Subak Kedu 27 hektare di Kecamatan Sukasada dengan varietas padi lokal. “Pertanian organik ini memang sedang kami upayakan untuk terus ditingkatkan, namun tak bisa instan perlu wkatu bertahap, karena masih terkendala kebiasaan petani,” jelas Sumiarta.
Sejauh ini pengembangan lahan organik memang belum banyak diminati petani. Sumiarta mengatakan hal itu karena penyesuaian dari lahan non organic yang bisa menggunakan kimia menjadi lahan organik dengan bahan pupuk organik masih cukup sulit. Petani sejauh ini masih enggan beralih untuk mendapatkan hasil yang lebih menjanjikan.
“Memang awalnya kalau lahan yang biasa pakai kimia ke organik itu penyesuaian hingga lahannya produktif dan menghasilkan bagus sekitar tiga tahunan, selain juga memang pemeliharaan tanamannya dri serangan hama dan penyakit lebih intens. Mungkin ini yang masih menjadi pertimbangan petani,” ungkap dia.
Padahal jika lahan sawah berhasil diorganikkan, petani bisa meraup untung lebih banyak, dari perbandingan harga antara beras organik dengan non organic dengan selisih sangat tinggi. Jika beras non organic yang dihasilkan petani padi pada umumnya hanya laku dijual dalam bentuk beras kisaran Rp 10-11 ribu per kilogram, namun satu kilogram beras organik dapat terjual dengan harga Rp 20 ribu.
“Sementara dari produksi subak organic, produksinya memang dalam bentuk beras dan itu habis di pemasaran lokal saja, bahkan belum mencukupi permintaan pasar. Jadi ini peluang sangat bagus bagi petani untuk meningkatkan kesejahteraan,” jelas dia. Ia pun mencontohkan subak organik yang baru dirintis di Subak Cengana saat ini sudah dapat menghasilkan beras sebanayk 52,2 kuintal per hektare. Sedangkan Subak Munduk dengan produksi beras merah andalannya sudah dapat menghasilkan 4,2 ton padi per hektare. Dengan peluang itu pemerintah mengaku tak tinggal diam. Tak hanya mendorong dari ungkapan saja, tetapi pemerintah mencoba memberikan stimulan berupa bantuan bibit dan pupuk organik kepada petani yang mau beralih ke sistem organik. Selain itu juga ada fasilitasi dengan perusahaan pupuk organik agar dapat menyuplai kebutuhan pupuk lebih banyak ke Buleleng. *k23
Komentar