Penonton Saksikan Tradisi Makotek di PKB
Belasan pemuda Desa Munggu yang tangguh memainkan kayu pule dengan gerakan searah dan penuh sorak sorai.
DENPASAR, NusaBali
Jika biasanya tradisi makotekan hanya bisa dilihat secara langsung saat Hari Raya Kuningan di Desa Munggu, Mengwi, Badung, namun kini atraksi menyatukan puluhan kayu pullet setinggi 2,5 meter itu bisa disaksikan di panggung seni. Ya, tradisi makotekan digarap dalam bentuk oratorium dan disajikan di hadapan pengunjung Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-41 tahun 2019, tepatnya di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Provinsi Bali, Senin (2/7) malam. Riuh penonton pun tak terbendung ketika seorang seniman mampu berdiri diatas penyatuan kayu pulet itu.
Oratorium Makotekan Desa Munggu ini disajikan dengan mengangkat sejarah awal mula tradisi Makotek di Desa Munggu. Ceritanya, bermula dari kisah kemenangan I Gusti Agung Alangkajeng yang berhasil merebut kembali wilayah Blambangan dari Raja Mataram, maka lahirlah tradisi Ngerebeg - Makotek atau yang lebih akrab dengan sebutan Makotek.
Pada masa lalu, Raja Buleleng Ki Panji Sakti telah menyerahkan daerah Blambangan kepada Raja Mengwi dan diberi gelar Cokorda Sakti Blambangan. Dalam perjalanannya, Raja Mataram yang sempat menguasai wilayah Blambangan tidak dapat menerima hal itu dan memutuskan untuk membangun biduk kerjasama dengan kompeni (persekutuan Belanda) untuk merebut kembali wilayah Blambangan sehingga berhasil mendapatkan kembali wilayah itu.
Melihat kondisi tersebut, I Gusti Agung Alangkajeng yang bergelar Cokorda Munggu berusaha merebut kembali wilayah yang telah diperolehnya dari Raja Buleleng itu bersama pasukan tangguh Taruna Munggu. Keberhasilan itulah yang membuat Taruna Munggu merayakannya dengan sebuah sambutan bernama Ngerebeg-Makotek dengan mengangkat tombak setinggi-tingginya bersama pasukan lainnya. Hingga kini Makotek pun tetap lestari sebagai sebuah tradisi yang dilakukan setiap enam bulan sekali pada Kuningan.
“Kami dari Kabupaten Badung memang ingin mengangkat tradisi yang masih eksis di tengah-tengah masyarakat. Kemenangan Mengwi kala itu dengan bermodalkan alat sederhana, bisa mengalahkan yang bersenjatakan modern. Itu karena semangat kebersamaan dan patriotism,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, Ida Bagus Anom Bhasma, usai pementasan.
Tradisi Makotek telah didaftarkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Karena itu, Disbud Badung terus melakukan pembinaan pada generasi muda sekaligus mengingatkan kembali bahwa tradisi ini unik dan masih eksis hingga sekarang. Konon, tradisi ini pernah tidak dilaksanakan dan sempat menimbulkan ketidakseimbangan. Akhirnya tradisi ini kembali dilaksanakan, dengan catatan tidak lagi menggunakan tombak, melainkan kayu pulet.
“Tradisi ini termasuk tradisi sakral. Sebelum makotek, Teruna Munggu ini ke pura dulu, ada upacaranya. Makanya harus diayomi bendesa adat. Bisa dikatakan memohon kekuatan spiritual. Sekaa Teruna wajib ikut tradisi ini,” katanya, sembari mengatakan oratorium ini bekerjasama dengan Listibiya Kabupaten Badung.
Setidaknya, ada belasan pemuda Desa Munggu yang tangguh memainkan kayu pule dengan gerakan searah dan penuh sorak sorai, hingga satu pemuda memanjat susunan kayu pule yang telah dibentuk oleh pemuda lainnya menjadi sebuah puncak yang amat tinggi. “Jujur setiap latihan gini ngeri saya, waktu latihan sempat ada yang jatuh cuman jatuhnya lentur dia,” cerita koordinator garapan, I Ketut Gede Narmada.
Narmada pun mengungkapkan pernah pada satu waktu makotek tidak diadakan, seketika itu juga muncul grubug (bencana). Sejak itu tradisi makotek tak pernah absen di Desa Munggu, Mengwi, Badung. Dalam pelaksanaanya, sebelum tradisi makotek berlangsung, terlebih dahulu dilaksanakan sebuah ritual ngerebeg yang memundut sebuah pusaka tamiang gede.*ind
Oratorium Makotekan Desa Munggu ini disajikan dengan mengangkat sejarah awal mula tradisi Makotek di Desa Munggu. Ceritanya, bermula dari kisah kemenangan I Gusti Agung Alangkajeng yang berhasil merebut kembali wilayah Blambangan dari Raja Mataram, maka lahirlah tradisi Ngerebeg - Makotek atau yang lebih akrab dengan sebutan Makotek.
Pada masa lalu, Raja Buleleng Ki Panji Sakti telah menyerahkan daerah Blambangan kepada Raja Mengwi dan diberi gelar Cokorda Sakti Blambangan. Dalam perjalanannya, Raja Mataram yang sempat menguasai wilayah Blambangan tidak dapat menerima hal itu dan memutuskan untuk membangun biduk kerjasama dengan kompeni (persekutuan Belanda) untuk merebut kembali wilayah Blambangan sehingga berhasil mendapatkan kembali wilayah itu.
Melihat kondisi tersebut, I Gusti Agung Alangkajeng yang bergelar Cokorda Munggu berusaha merebut kembali wilayah yang telah diperolehnya dari Raja Buleleng itu bersama pasukan tangguh Taruna Munggu. Keberhasilan itulah yang membuat Taruna Munggu merayakannya dengan sebuah sambutan bernama Ngerebeg-Makotek dengan mengangkat tombak setinggi-tingginya bersama pasukan lainnya. Hingga kini Makotek pun tetap lestari sebagai sebuah tradisi yang dilakukan setiap enam bulan sekali pada Kuningan.
“Kami dari Kabupaten Badung memang ingin mengangkat tradisi yang masih eksis di tengah-tengah masyarakat. Kemenangan Mengwi kala itu dengan bermodalkan alat sederhana, bisa mengalahkan yang bersenjatakan modern. Itu karena semangat kebersamaan dan patriotism,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Badung, Ida Bagus Anom Bhasma, usai pementasan.
Tradisi Makotek telah didaftarkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Karena itu, Disbud Badung terus melakukan pembinaan pada generasi muda sekaligus mengingatkan kembali bahwa tradisi ini unik dan masih eksis hingga sekarang. Konon, tradisi ini pernah tidak dilaksanakan dan sempat menimbulkan ketidakseimbangan. Akhirnya tradisi ini kembali dilaksanakan, dengan catatan tidak lagi menggunakan tombak, melainkan kayu pulet.
“Tradisi ini termasuk tradisi sakral. Sebelum makotek, Teruna Munggu ini ke pura dulu, ada upacaranya. Makanya harus diayomi bendesa adat. Bisa dikatakan memohon kekuatan spiritual. Sekaa Teruna wajib ikut tradisi ini,” katanya, sembari mengatakan oratorium ini bekerjasama dengan Listibiya Kabupaten Badung.
Setidaknya, ada belasan pemuda Desa Munggu yang tangguh memainkan kayu pule dengan gerakan searah dan penuh sorak sorai, hingga satu pemuda memanjat susunan kayu pule yang telah dibentuk oleh pemuda lainnya menjadi sebuah puncak yang amat tinggi. “Jujur setiap latihan gini ngeri saya, waktu latihan sempat ada yang jatuh cuman jatuhnya lentur dia,” cerita koordinator garapan, I Ketut Gede Narmada.
Narmada pun mengungkapkan pernah pada satu waktu makotek tidak diadakan, seketika itu juga muncul grubug (bencana). Sejak itu tradisi makotek tak pernah absen di Desa Munggu, Mengwi, Badung. Dalam pelaksanaanya, sebelum tradisi makotek berlangsung, terlebih dahulu dilaksanakan sebuah ritual ngerebeg yang memundut sebuah pusaka tamiang gede.*ind
1
Komentar