GKA Klungkung Ajak Anak Kembali Selami Suasana Bermain di Sawah
Parade Gong Kebyar Anak-anak (GKA) di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Provinsi Bali, selalu menjadi salah satu tontonan favorit bagi pengunjung Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-41 tahun 2019.
DENPASAR, NusaBali
Penontonnya tidak pernah sedikit, selalu memenuhi tribun Panggung Terbuka Ardha Candra. Salah satunya penampilan anak-anak dari Sekaa Gong Suara Budaya, Banjar Siku, Desa Kamasan, Duta Kabupaten Klungkung, yang berparade dengan Sanggar Seni Gayatri, Kelurahan Sangkaragung, Duta Kabupaten Jembrana, Jumat (28/6) lalu.
Sebagai penampil pertama, Klungkung menampilkan Tabuh Purwa Pascima, ditata oleh maestro tabuh I Wayan Beratha pada tahun 1969 yang kaya akan sentuhan musik ketimuran dengan unsur musik barat. Penampilan pun dilanjutkan dengan Tari Kreasi Manuk Rawa yang digarap oleh maestro I Wayan Dibia (koreografer) dan I Wayan Beratha (tabuh).
Barulah akhirnya dua garapan kreasi baru yakni Tari Kreasi Makuma Rare dan Meplayanan bertajuk Cepeng ditampilkan. Menurut I Gede Widyastana Putra selaku Pembina, untuk menuangkan konsep garapan baru pada anak-anak dirinya harus bercerita terlebih dahulu ke anak-anak. Dalam garapan Meplayanan bertajuk Cepeng, para penampil yang masih anak-anak pun menunjukkan kegesitan dan ketangkasannya. Pola tingkah anak-anak saat tampil mengundang gelak tawa penonton.
Salah satu yang menarik perhatian adalah kemampuan anak-anak Klungkung menjadi pengisi gerong. Meski sebagai pemula, namun kemampuan mereka cukup memukau penonton. Ida Ayu Agung Yuliaswati Manuaba selaku pembina gerong mengatakan, dia baru pertama kali membina gerong. Dalam gong kebyar anak-anak tersebut, dia menggarap gerong untuk tari kreasi Makuma Rare dan Meplayanan bertajuk Cepeng.
“Menggarap gerong karena baru pertama kali, saya merasa masih banyak perlu belajar. Pada garapan, saya harus menggambarkan cerita dari tari itu. Misalnya menggambarkan suasana pagi. Kemudian di tengah-tengah bagaimana kita menggambarkan anak-anak bermain di sawah, sementara orangtuanya membajak sawah. Setelah itu anak-anak bermain pindekan. Jadi gerong sebenarnya berfungsi menunjang suasana dan menjiwai,” ujarnya.
Menurut dia, gerong sangat tergantung lirik dan kata-kata agar nyambung dengan melodi. Kesulitan inilah yang menurut Dayu Yuliaswati harus dipelajari betul. “Saya mulai berproses untuk membuat gerong ini mulai bulan Maret. Kendalanya ada di anak-anak, masih labil. Vokal mereka harus benar-benar dilatih. Karena vokalnya harus jangih, seperti vokal ubun-ubun (seriosa),”imbuhnya.
Suara yang tinggi ini memang cukup sulit untuk dilatih. Meski terkendala waktu latihan yang singkat, hasilnya tidaklah mengecewakan. Terlepas dari hal itu, mereka juga menerima kritikan yang membangun dari para pengunjung dan pengamat seni yang menyaksikan.*ind
Sebagai penampil pertama, Klungkung menampilkan Tabuh Purwa Pascima, ditata oleh maestro tabuh I Wayan Beratha pada tahun 1969 yang kaya akan sentuhan musik ketimuran dengan unsur musik barat. Penampilan pun dilanjutkan dengan Tari Kreasi Manuk Rawa yang digarap oleh maestro I Wayan Dibia (koreografer) dan I Wayan Beratha (tabuh).
Barulah akhirnya dua garapan kreasi baru yakni Tari Kreasi Makuma Rare dan Meplayanan bertajuk Cepeng ditampilkan. Menurut I Gede Widyastana Putra selaku Pembina, untuk menuangkan konsep garapan baru pada anak-anak dirinya harus bercerita terlebih dahulu ke anak-anak. Dalam garapan Meplayanan bertajuk Cepeng, para penampil yang masih anak-anak pun menunjukkan kegesitan dan ketangkasannya. Pola tingkah anak-anak saat tampil mengundang gelak tawa penonton.
Salah satu yang menarik perhatian adalah kemampuan anak-anak Klungkung menjadi pengisi gerong. Meski sebagai pemula, namun kemampuan mereka cukup memukau penonton. Ida Ayu Agung Yuliaswati Manuaba selaku pembina gerong mengatakan, dia baru pertama kali membina gerong. Dalam gong kebyar anak-anak tersebut, dia menggarap gerong untuk tari kreasi Makuma Rare dan Meplayanan bertajuk Cepeng.
“Menggarap gerong karena baru pertama kali, saya merasa masih banyak perlu belajar. Pada garapan, saya harus menggambarkan cerita dari tari itu. Misalnya menggambarkan suasana pagi. Kemudian di tengah-tengah bagaimana kita menggambarkan anak-anak bermain di sawah, sementara orangtuanya membajak sawah. Setelah itu anak-anak bermain pindekan. Jadi gerong sebenarnya berfungsi menunjang suasana dan menjiwai,” ujarnya.
Menurut dia, gerong sangat tergantung lirik dan kata-kata agar nyambung dengan melodi. Kesulitan inilah yang menurut Dayu Yuliaswati harus dipelajari betul. “Saya mulai berproses untuk membuat gerong ini mulai bulan Maret. Kendalanya ada di anak-anak, masih labil. Vokal mereka harus benar-benar dilatih. Karena vokalnya harus jangih, seperti vokal ubun-ubun (seriosa),”imbuhnya.
Suara yang tinggi ini memang cukup sulit untuk dilatih. Meski terkendala waktu latihan yang singkat, hasilnya tidaklah mengecewakan. Terlepas dari hal itu, mereka juga menerima kritikan yang membangun dari para pengunjung dan pengamat seni yang menyaksikan.*ind
1
Komentar