Seniman Kayonan Tertantang Calonarang
Kesenian calonarang saat ini tengah digandrungi masyarakat khususnya di Bali. Kegandrungan ini ditangkap kuat Sanggar Kayonan yang bermaskas di Banjar Kemoning, Semarapura, Klungkung.
DENPASAR, NusaBali
Sanggar yang diperkuat seniman muda Klungkung ini menampilkan pertunjukan Calonarang di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya, Denpasar, Rabu (3/7) malam. Aksi ini melibatkan 100 seniman.
I Dewa Gede Alit Saputra selaku pemimpin Sanggar Kayonan menjelaskan, berbeda dengan kisah Calonarang yang akrab dengan Walu Nateng Dirah dan Diah Ratna Manggali, Alit yang berperan sebagai sumber ide cerita mengangkat kearifan lokal Klungkung. Dia mengaku berusaha mengaitkan ide garapannya dengan pakem calonarang klasik. Sanggar Kayonan menampilkan sebuah garapan drama tari calonarang bertajuk Wong Samar.
Kisah calonarang ini menceritakan pembalasan dendam I Renggan yang gagal menghancurkan Bali. Kemudian I Renggan yang menikah dengan Ni Mrahim memiliki anak bernama I Gotra yang menjadi sarana balas dendam I Renggan terhadap Hyang Putrananjaya. Hyang Putrananjaya yang menggagalkan usaha I Gotra dimasa lalu kemudian mengutus seorang pemuda ksatria.
Pemuda itu terlahir melalui padang kasna yang diberi nama Dalem Dukut, sebab Dukut bermakna padang atau rumput. Dengan senjata Ratna Kencana, Dalem Dukut yang diberi kesaktian utama, akhirnya berhasil mengalahkan I Renggan bersama Bala Wong Samarnya. Atas kemuliaan Dalem Dukut, I Gotra diberikan tempat payogan di Penataran Ped Nusa Penida dan I Gotra diganti namanya menjadi Jero Gede Mecaling.
Kemunculan Dewa Alit di tengah panggung pun menjadi sorotan penonton. Ketua Listibya (Majelis Pertimbangan Kebudayaan) Kabupaten Klungkung ini berujar dengan nada menantang, mengundang suasana mistis sekaligus decak kagum penonton “Nyen melajahin pengleakan, pepes nyakitin semeton, iri hati, dini mangkin wenten bangke matah buktiang (siapa yang belajar leak, sering menyakiti saudara, iri hati, di sini sekarang ada mayat mentah, buktikan),” terangnya sembari menantang orang yang mempelajari pengleakan pangiwa (negatif).
Di atas panggung Ardha Candra, terdapat seorang yang menjadi bangke matah lengkap dengan sarana upakara untuk mengantarkannya ke setra. Suasana hening menyelimuti Ardha Candra. Ribuan penonton terdiam hening. Menunggu apa yang akan terjadi. Cukup lama juga Dewa Alit melontarkan tantangannya sembari menunggu. Tak ada yang terjadi.
Kemudian bangke matah pun diarak ke setra berjalan keluar melalui pintu depan bawah di sela-sela penonton. Terus menuju barat kemudian membelok ke utara dan memasuki jalan utama menuju Padmasana dekat pintu keluar sebelah utara Taman Budaya, Denpasar. Perangkat untuk membawa bangke matah pun dipralina.
Alit Saputra mengatakan, Sanggar Kayonan ini mulanya khusus mempelajari dunia teater selama lima tahun awal berdirinya. Selepas itu, sanggar yang berdiri tahun 1992 ini mengambil jalan tak biasa dengan memasukkan calonarang sebagai salah satu materi ajar. “Awalnya menekuni seni teater, tapi melihat kegiatan adat dalam agama jadi kami kepingin untuk dapat meyadnyakan kesenian kami,” ungkapnya.
Dalam perjalanannya, Sanggar Kayonan memang akrab dengan kesenian calonarang. Untuk calonarang yang biasa sanggar ini sudah sering mementaskannya, sedangkan yang kolosal sudah terhitung tiga kali termasuk garapan hari ini. Menurut Alit Saputra, hal tersebut adalah jawaban dari sebuah tantangan. “Memang tidak spesialis calonarang, tapi kami menerima tantangan itu,” jelas Alit. *ind
I Dewa Gede Alit Saputra selaku pemimpin Sanggar Kayonan menjelaskan, berbeda dengan kisah Calonarang yang akrab dengan Walu Nateng Dirah dan Diah Ratna Manggali, Alit yang berperan sebagai sumber ide cerita mengangkat kearifan lokal Klungkung. Dia mengaku berusaha mengaitkan ide garapannya dengan pakem calonarang klasik. Sanggar Kayonan menampilkan sebuah garapan drama tari calonarang bertajuk Wong Samar.
Kisah calonarang ini menceritakan pembalasan dendam I Renggan yang gagal menghancurkan Bali. Kemudian I Renggan yang menikah dengan Ni Mrahim memiliki anak bernama I Gotra yang menjadi sarana balas dendam I Renggan terhadap Hyang Putrananjaya. Hyang Putrananjaya yang menggagalkan usaha I Gotra dimasa lalu kemudian mengutus seorang pemuda ksatria.
Pemuda itu terlahir melalui padang kasna yang diberi nama Dalem Dukut, sebab Dukut bermakna padang atau rumput. Dengan senjata Ratna Kencana, Dalem Dukut yang diberi kesaktian utama, akhirnya berhasil mengalahkan I Renggan bersama Bala Wong Samarnya. Atas kemuliaan Dalem Dukut, I Gotra diberikan tempat payogan di Penataran Ped Nusa Penida dan I Gotra diganti namanya menjadi Jero Gede Mecaling.
Kemunculan Dewa Alit di tengah panggung pun menjadi sorotan penonton. Ketua Listibya (Majelis Pertimbangan Kebudayaan) Kabupaten Klungkung ini berujar dengan nada menantang, mengundang suasana mistis sekaligus decak kagum penonton “Nyen melajahin pengleakan, pepes nyakitin semeton, iri hati, dini mangkin wenten bangke matah buktiang (siapa yang belajar leak, sering menyakiti saudara, iri hati, di sini sekarang ada mayat mentah, buktikan),” terangnya sembari menantang orang yang mempelajari pengleakan pangiwa (negatif).
Di atas panggung Ardha Candra, terdapat seorang yang menjadi bangke matah lengkap dengan sarana upakara untuk mengantarkannya ke setra. Suasana hening menyelimuti Ardha Candra. Ribuan penonton terdiam hening. Menunggu apa yang akan terjadi. Cukup lama juga Dewa Alit melontarkan tantangannya sembari menunggu. Tak ada yang terjadi.
Kemudian bangke matah pun diarak ke setra berjalan keluar melalui pintu depan bawah di sela-sela penonton. Terus menuju barat kemudian membelok ke utara dan memasuki jalan utama menuju Padmasana dekat pintu keluar sebelah utara Taman Budaya, Denpasar. Perangkat untuk membawa bangke matah pun dipralina.
Alit Saputra mengatakan, Sanggar Kayonan ini mulanya khusus mempelajari dunia teater selama lima tahun awal berdirinya. Selepas itu, sanggar yang berdiri tahun 1992 ini mengambil jalan tak biasa dengan memasukkan calonarang sebagai salah satu materi ajar. “Awalnya menekuni seni teater, tapi melihat kegiatan adat dalam agama jadi kami kepingin untuk dapat meyadnyakan kesenian kami,” ungkapnya.
Dalam perjalanannya, Sanggar Kayonan memang akrab dengan kesenian calonarang. Untuk calonarang yang biasa sanggar ini sudah sering mementaskannya, sedangkan yang kolosal sudah terhitung tiga kali termasuk garapan hari ini. Menurut Alit Saputra, hal tersebut adalah jawaban dari sebuah tantangan. “Memang tidak spesialis calonarang, tapi kami menerima tantangan itu,” jelas Alit. *ind
Komentar