Seniman Karangasem Masuk Nominasi
Anugerah Kebudayaan Nasional
AMLAPURA, NusaBali
Seniman Karangasem, I Wayan Mudita Adnyana, 88, masuk nominasi peraih Anugerah Kebudayaan Nasional Tahun 2019. Tim Verifikasi dari Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengunjungi penulis lontar ini di Banjar Adat Kauh, Desa Pakraman Tenganan Pagringsingan, Kecamatan Manggis, Karangasem, Sabtu (6/7). Mudita Adnyana adalah pelestari tradisi manuskrip, terutama menulis lontar, pelestari seni sastra, dan gender wayang.
Tim verifikasi beranggotakan Dita Darfiyanti dari Kemendikbud, Ida Bagus Rai dari Dinas Kebudayaan Bali, Nunus Supardi anggota tim penilai kategori individu, Rizky Ernandi dari Kemendikbud, dan I Wayan Witrawan Sekretaris Dinas Kebudayaan Karangasem. Tim verifikasi menyebutkan ada dua nama dari Bali masuk calon penerima penghargaan Anugerah Kebudayaan Nasional 2019. Mudita Adnyanamasuk nominasi calon penerima kategori individu sedangkan Pemkab Gianyar calon penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Pemkab.
Sebelumnya Mudita Adnyana meraih penghargaan sebagai seniman tua dari Pemkab Karangasem pada tahun 1987 dan dari Pemprov Bali tahun 1984. Saat verifikasi, Mudita Adnyana memperlihatkan hasil karyanya berupa karya sastra menulis di daun lontar. Masih aktif membina remaja menabuh gender wayang kulit. Mudita Adnyana berhenti menulis di daun lontar sejak Januari 2018 karena tidak kuat duduk. Seluruh pengerupak (alat tulis di daun lontar) dan delapan keropak lontar disimpan di kotak kaca, mirip museum mini, lengkap dengan foto-foto kegiatan dan memajang piagam penghargaan.
Ayah 5 anak, 10 cucu, dan 7 cicit yang tinggal sendirian di rumahnya ini juga memajang foto bersama Presiden Italia Sandro Pertini yang pernah berkunjung pada tanggal 6 Juli 1983, Perdana Menteri Selandia Baru Hellene Clark (7 Januari 1988), dan Presiden Megawati Soekarnoputri, 31 Desember 2001. Presiden Italia, Sandro Pertini membeli lontar Baratha Yudha seharga Rp 10.000. Perdana Menteri Selandia Baru Hellene Clark membeli lontar Baratha Yudha seharga Rp 246.000, dan Megawati Soekarnoputri membeli lontar Ramayana Rp 500.000.
Mudita Adnyana selain mahir menulis di daun lontar juga mahir menggambar di daun lontar yang lebih lazim disebut sebagai karya seni lukis prasi. Menggambar di daun lontar lengkap dengan teksnya. Misalnya cerita Ramayana dan Sutasoma. “Saya tidak lagi mampu menulis di daun lontar, tapi ini bukti-bukti hasil karya saya. Masih tersimpan dan tidak dijual,” ungkapnya. Dia pernah meraih juara II menulis di daun lontar Tingkat Provinsi Bali tahun 1984 dan meraih piagam Dharma Kusuma Madia dari Bupati Karangasem tahun 1987.
Kakek kelahiran 16 September 1931 ini aktif menulis di daun lontar sejak tahun 1957 saat usianya 26 tahun. Sedangkan menulis cerita Mahabharata dan Sutasoma mulai tahun 1972. Salah seorang tim, I Wayan Witrawan mengatakan kedatangan tim dari Kemendikbud untuk verifikasi nominasi peraih penghargaan Anugerah Kebudayaan Nasional 2019. “Jika dinyatakan lolos dan berhak dapat penghargaan, nanti diundang menerima penghargaan di Jakarta pada Oktober 2019,” jelas Wayan Witrawan.
Dita Darfiyanti mengatakan, tujuan pemberian penghargaan untuk membangun kesadaran generasi muda agar lebih peduli terhadap pembangunan kebudayaan Indonesia. Di samping bertujuan memberikan apresiasi terhadap maestro seni tradisi dalam rangka penguatan karakter bangsa. Sebab di dalamnya memiliki nilai pelestari kebudayaan yang mencakup perlindungan pengembangan dan pemanfaatan. “Terutama karya tak benda, baik itu ilmu pengetahuan, kearifan local, dan nilai tradisi,” jelas Dita. *k16
Tim verifikasi beranggotakan Dita Darfiyanti dari Kemendikbud, Ida Bagus Rai dari Dinas Kebudayaan Bali, Nunus Supardi anggota tim penilai kategori individu, Rizky Ernandi dari Kemendikbud, dan I Wayan Witrawan Sekretaris Dinas Kebudayaan Karangasem. Tim verifikasi menyebutkan ada dua nama dari Bali masuk calon penerima penghargaan Anugerah Kebudayaan Nasional 2019. Mudita Adnyanamasuk nominasi calon penerima kategori individu sedangkan Pemkab Gianyar calon penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Pemkab.
Sebelumnya Mudita Adnyana meraih penghargaan sebagai seniman tua dari Pemkab Karangasem pada tahun 1987 dan dari Pemprov Bali tahun 1984. Saat verifikasi, Mudita Adnyana memperlihatkan hasil karyanya berupa karya sastra menulis di daun lontar. Masih aktif membina remaja menabuh gender wayang kulit. Mudita Adnyana berhenti menulis di daun lontar sejak Januari 2018 karena tidak kuat duduk. Seluruh pengerupak (alat tulis di daun lontar) dan delapan keropak lontar disimpan di kotak kaca, mirip museum mini, lengkap dengan foto-foto kegiatan dan memajang piagam penghargaan.
Ayah 5 anak, 10 cucu, dan 7 cicit yang tinggal sendirian di rumahnya ini juga memajang foto bersama Presiden Italia Sandro Pertini yang pernah berkunjung pada tanggal 6 Juli 1983, Perdana Menteri Selandia Baru Hellene Clark (7 Januari 1988), dan Presiden Megawati Soekarnoputri, 31 Desember 2001. Presiden Italia, Sandro Pertini membeli lontar Baratha Yudha seharga Rp 10.000. Perdana Menteri Selandia Baru Hellene Clark membeli lontar Baratha Yudha seharga Rp 246.000, dan Megawati Soekarnoputri membeli lontar Ramayana Rp 500.000.
Mudita Adnyana selain mahir menulis di daun lontar juga mahir menggambar di daun lontar yang lebih lazim disebut sebagai karya seni lukis prasi. Menggambar di daun lontar lengkap dengan teksnya. Misalnya cerita Ramayana dan Sutasoma. “Saya tidak lagi mampu menulis di daun lontar, tapi ini bukti-bukti hasil karya saya. Masih tersimpan dan tidak dijual,” ungkapnya. Dia pernah meraih juara II menulis di daun lontar Tingkat Provinsi Bali tahun 1984 dan meraih piagam Dharma Kusuma Madia dari Bupati Karangasem tahun 1987.
Kakek kelahiran 16 September 1931 ini aktif menulis di daun lontar sejak tahun 1957 saat usianya 26 tahun. Sedangkan menulis cerita Mahabharata dan Sutasoma mulai tahun 1972. Salah seorang tim, I Wayan Witrawan mengatakan kedatangan tim dari Kemendikbud untuk verifikasi nominasi peraih penghargaan Anugerah Kebudayaan Nasional 2019. “Jika dinyatakan lolos dan berhak dapat penghargaan, nanti diundang menerima penghargaan di Jakarta pada Oktober 2019,” jelas Wayan Witrawan.
Dita Darfiyanti mengatakan, tujuan pemberian penghargaan untuk membangun kesadaran generasi muda agar lebih peduli terhadap pembangunan kebudayaan Indonesia. Di samping bertujuan memberikan apresiasi terhadap maestro seni tradisi dalam rangka penguatan karakter bangsa. Sebab di dalamnya memiliki nilai pelestari kebudayaan yang mencakup perlindungan pengembangan dan pemanfaatan. “Terutama karya tak benda, baik itu ilmu pengetahuan, kearifan local, dan nilai tradisi,” jelas Dita. *k16
1
Komentar