Pengusaha Konstruksi Lokal Tergencet Pengusaha Nasional
Dewan Pimpinan Daerah Gabungan Perusahaan Konstruksi Nasional Indonesia (Gapeksindo) Bali, berharap Bali memiliki perangkat yang mengatur hubungan kemitraan antara pengusaha konstruksi nasional dengan pengusaha lokal.
DENPASAR, NusaBali
Harapan tersebut menyusul masuknya pengusaha nasional ke daerah seperti Bali. Di pihak lain pengusaha lokal yang notabene merupakan pengusaha skala kecil, butuh pemberdayaan.
Ketua DPD Gapeksindo Bali I Putu Geria Astawa mengatakan, Senin (8/7). “Itu bukan bermaksud proteksi karena hal yang tidak mungkin dalam era persaingan bebas, tepisnya di sela-sela persiapan Musda IV DPD Gapeksindo Bali yang dirangkai pengukuhan dan pelantikan DPD Asttatindo Bali.
Tetapi lanjutnya, aturan adalah perangkat yang mendorong peluang pemberdayaan pengusaha lokal. Polanya bisa jadi dalam bentuk sinergitas atau kemitraan, saling merangkul, antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil.
Menurut Geria Astawa, kenyataan yang tidak bisa ditampik adalah banyak pengusaha kecil yang terpaksa harus minggir, sebagai konsekuensi terjunnya pengusaha besar ke daerah, mengerjakan proyek-proyek pemerintah. Karena itulah, perlu ada perangkat yang memungkinkan jalinan kemitraan tersebut.
Hal senada disampaikan Ketua DPD Asosiasi Tenaga Teknik Ahli dan Terampil Indonesia (Asttatindo) Provinsi Bali, I Nyoman Rudy Arthana.
Asttatindo, kata Rudy, mendorong pihak terkait untuk mewujudkan aturan yang mengatur semacam hubungan kemitraan untuk pemberdayaan pengusaha kecil tersebut. “Perlu sinergi berdayakan usaha lokal. Perlu sinergitas pengusaha besar dan kecil untuk kerjasama,” ujarnya. Kata Rudy, pengusaha besar boleh masuk, dan pengusaha kecil dijadikan sebagai mitra.
Terpisah Kadis PU Provinsi Bali I Nyoman Astawa Riadi, mengakui adanya aspirasi menyangkut Pergub hubungan dan pemberdayaan pengusaha lokal dengan pengusaha besar/nasional. “Masih berproses. Saya sudah serahkan kepada LPJK (Lembaga Pelayanan Jasa Konstruksi),” ujar Astawa Riadi.
Selain harus berkompetisi dengan pengusaha besar, perangkat aturan yang terlalu cepat berubah, menjadi persoalan bagi pengusaha kecil di daerah. Di antaranya SE tentang terkait jasa konstruksi jasa dari Kementerian (PUPR). “Itu beberapa kali berubah dalam 2 tahun,” kata Geria Astawa.
Di pihak lain, PP dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Usaha Jasa Konstruksi belum juga terbit. “Ini menyebabkan tidak ada pegangan baik bagi pengguna maupun penyedia jasa konstruksi,” ujarnya.
Padahal dari PP tersebut nanti diharapkan ada standar, yang bisa dijadikan acuan pasti pengerjaan. Karena pihaknya mendorong, segera diterbitkan PP yang mengatur tentang usaha jasa konstruksi. *k17
Ketua DPD Gapeksindo Bali I Putu Geria Astawa mengatakan, Senin (8/7). “Itu bukan bermaksud proteksi karena hal yang tidak mungkin dalam era persaingan bebas, tepisnya di sela-sela persiapan Musda IV DPD Gapeksindo Bali yang dirangkai pengukuhan dan pelantikan DPD Asttatindo Bali.
Tetapi lanjutnya, aturan adalah perangkat yang mendorong peluang pemberdayaan pengusaha lokal. Polanya bisa jadi dalam bentuk sinergitas atau kemitraan, saling merangkul, antara pengusaha besar dengan pengusaha kecil.
Menurut Geria Astawa, kenyataan yang tidak bisa ditampik adalah banyak pengusaha kecil yang terpaksa harus minggir, sebagai konsekuensi terjunnya pengusaha besar ke daerah, mengerjakan proyek-proyek pemerintah. Karena itulah, perlu ada perangkat yang memungkinkan jalinan kemitraan tersebut.
Hal senada disampaikan Ketua DPD Asosiasi Tenaga Teknik Ahli dan Terampil Indonesia (Asttatindo) Provinsi Bali, I Nyoman Rudy Arthana.
Asttatindo, kata Rudy, mendorong pihak terkait untuk mewujudkan aturan yang mengatur semacam hubungan kemitraan untuk pemberdayaan pengusaha kecil tersebut. “Perlu sinergi berdayakan usaha lokal. Perlu sinergitas pengusaha besar dan kecil untuk kerjasama,” ujarnya. Kata Rudy, pengusaha besar boleh masuk, dan pengusaha kecil dijadikan sebagai mitra.
Terpisah Kadis PU Provinsi Bali I Nyoman Astawa Riadi, mengakui adanya aspirasi menyangkut Pergub hubungan dan pemberdayaan pengusaha lokal dengan pengusaha besar/nasional. “Masih berproses. Saya sudah serahkan kepada LPJK (Lembaga Pelayanan Jasa Konstruksi),” ujar Astawa Riadi.
Selain harus berkompetisi dengan pengusaha besar, perangkat aturan yang terlalu cepat berubah, menjadi persoalan bagi pengusaha kecil di daerah. Di antaranya SE tentang terkait jasa konstruksi jasa dari Kementerian (PUPR). “Itu beberapa kali berubah dalam 2 tahun,” kata Geria Astawa.
Di pihak lain, PP dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Usaha Jasa Konstruksi belum juga terbit. “Ini menyebabkan tidak ada pegangan baik bagi pengguna maupun penyedia jasa konstruksi,” ujarnya.
Padahal dari PP tersebut nanti diharapkan ada standar, yang bisa dijadikan acuan pasti pengerjaan. Karena pihaknya mendorong, segera diterbitkan PP yang mengatur tentang usaha jasa konstruksi. *k17
Komentar