Jejak Suci Rsi Markandya dari Jawa Timur
Pura Murwa Bhumi Pengaji, Desa Melinggih, Payangan
GIANYAR, NusaBali
Karya Rsi Gana, Padudusan Wraspati Kalpa Ngusaba Goreng digelar di Pura Mirwa Bhumi Banjar/Desa Pakraman Pengaji, Desa Melinggih, Kecamatan Payangan, Gianyar. Puncak karya berlangsung Buda Umanis Julungwangi, Rabu (10/7). Keberadaan pura ini mengingatkan tentang sejarah perjalanan suci sang Maha Rsi Markandya dari Jawa Timur ke Bali.
Humas karya sekaligus koordinator acara, Dewa Ngakan Rai Budiasa menjelaskan sejarah pura ini tersurat dalam Lontar Markandya Purana. "Dituliskan bahwa sebelumnya di lokasi pura ini hanya terdapat hutan belantara, sebelum adanya Selat Bali (Segara Rupek) pulau ini bernama pulau panjang," jelas Dewa Rai Budiasa, Kamis (11/7).
Sementara itu, di Jawa Timur tepatnya di Gunung Rawung, terdapat seorang yang bernama Sang Yogi Markandya dari India. Beliau diberi julukan Bhatara Giri Rawang karena ketinggian ilmu bathinnya, kesucian rohaninya serta kecakapan dan kebijaksanaannya. Mula-mula beliau bertapa di Gunung Demalung lalu pindah ke Gunung Hyang (Dieng). Di sana beliau mendapat pawisik agar merabas hutan di Pulau Dawa dan setelah selesai agar tanah itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya. Pengikutnya sebanyak 800 orang dengan perlengkapan dan peralatan yang diperlukan. Mereka mulai merabas hutan belantara. Karena tidak didahului dengan upacara yadnya, murkalah Sang Hyang Widhi Wasa sehingga banyak pengikutnya yang mati sakit dan diterkam binatang buas.
Dengan rasa sedih, Sang Yogi kembali ke pertapaannya. Setelah beberapa lama kembalilah beliau melanjutkan perabasan hutan dengan mengikutsertakan para Pandita atau para Rsi serta dengan pengikut sebanyak 400 orang dari Desa Aga yaitu penduduk yang tadinya bermukim di pegunungan Gunung Rawung. Sebelum memulai merabas hutan, beliau memohon wara nugraha kepada Ida Sang Hyang Widh Wasa dengan melaksanakan Upacara Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya dan Pratiwi Astawa. Berhubung sudah dianggap cukup luas hutan yang dirabas tanpa halangan apapun, pengikutnya diperintahkan untuk berhenti merabas. Kemudian mulailah beliau membagi tanah untuk sawah, tegalan dan pekarangan rumah. Selanjutnya di tempat bekas mulainya merabas hutan itu, dilakukan penanaman kendi (caratan) berisi air disertai lima jenis logam yaitu emas, perak, tembaga, besi dan perunggu yang disebut Pancadatu dan permata yang bernama Mirahadi (mirah utama). Di tempat menanam Pancadatu itu diberi nama Basuki yang artinya selamat dan sekarang dikenal dengan nama Besakih.
Selanjutnya di dalam Lontar Markandya Purana dapat pula dijumpai beberapa penegasan nama tempat, antara lain nama Puwakan, Payogan dan Taro. Puwakan karena di tempat inilah tanah hasil merabas hutan mulai dibagi–bagikan. Sedangkan nama Payogan, karena di sanalah tempat Sang Yogi Markandya melakukan yoga semadhi. Karena kesucian, kebijaksanaan, ketinggian ilmu dan selalu mengikuti petunjuk Sang Hyang Jagatnatha, beliau disebut Sang Hyang Naradatapa. Sedangkan nama Desa Taro, berasal dari kata Taru yang sama dengan kayu yang berarti kayun atau pikiran, pada awalnya bernama Sarwa Ada, karena apa yang beliau inginkan berdasarkan adnyana atau pikiran selalu ada.
Dari Taro, beliau pindah ke arah barat dan tempat ini diberi nama Purwabhumi dimana di tempat ini didirikan sebuah Pura atau Khayangan yang bernama Pura Purwa. "Nama ini sudah memberikan kesan bahwa tempat ini merupakan suatu permulaan (Purwa) dimulainya oleh Sang Yogi Markandya untuk menetapkan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan tentang tata cara mengatur kehidupan Desa Pekraman dan tata cara mengurus dan mengerjakan sawah ladang," jelasnya. Beliau mulai mengatur cara pembagian tanah sawah, ladang dan pekarangan rumah dan yang lebih penting adalah dimulainya pembangunan Kahyangan Desa. Yang memimpin masyarakat diberikan jabatan Desa yang bertugas mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan Kahyangan Desa/Parhyangan Desa. Yang mengurus permasalahan sawah diberi nama Subak dan yang bertugas menyelenggarakan pembagian air di sawah dan ladang disebut Pekaseh. "Pekaseh berasal dari kata kasih yang bermakna adil, menyangkut keadilan dalam pembagian air untuk sawah ataun ladang. Jika ada orang meninggal dunia maka yang diberi tugas mengurus dan mengatur tata cara penguburannya disebut Banjar yang masing-masing kesatuan kelompok dipimpin oleh seorang Kelihan. Kelihan mempunyai kewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketenteraman masyarakat," jelasnya.
Kini, pura tersebut diempon oleh warga Desa Pakraman Pengaji, Desa Melinggih, Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar. Peninggalan Sang Yogi Markandya yang masih bisa dilihat di Pura Murwa Bhumi ini adalah berupa Palinggih Gedong Bang.
Puncak Karya dihadiri oleh Gubernur Bali Wayan Koster, Bupati Gianyar Made Agus Mahayastra. Juga dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat seperti Anggota DPR RI Adi Mahendara Putra, Anggota pimpinan ketua DPRD provinsi dan Kabupaten Gianyar, Pangelingsir Puri Payangan, Ubud dan Peliatan. Pura ini disungsung oleh 82 KK pangarep dan 230 kamplengan atau sekitar 1.100 orang. Total biaya diperkirakan habis sebesar Rp 150 juta yang dibiayai krama pengempon dan punia dari desa, kahyangan tiga di Kecamatan Payangan. *nvi
Humas karya sekaligus koordinator acara, Dewa Ngakan Rai Budiasa menjelaskan sejarah pura ini tersurat dalam Lontar Markandya Purana. "Dituliskan bahwa sebelumnya di lokasi pura ini hanya terdapat hutan belantara, sebelum adanya Selat Bali (Segara Rupek) pulau ini bernama pulau panjang," jelas Dewa Rai Budiasa, Kamis (11/7).
Sementara itu, di Jawa Timur tepatnya di Gunung Rawung, terdapat seorang yang bernama Sang Yogi Markandya dari India. Beliau diberi julukan Bhatara Giri Rawang karena ketinggian ilmu bathinnya, kesucian rohaninya serta kecakapan dan kebijaksanaannya. Mula-mula beliau bertapa di Gunung Demalung lalu pindah ke Gunung Hyang (Dieng). Di sana beliau mendapat pawisik agar merabas hutan di Pulau Dawa dan setelah selesai agar tanah itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya. Pengikutnya sebanyak 800 orang dengan perlengkapan dan peralatan yang diperlukan. Mereka mulai merabas hutan belantara. Karena tidak didahului dengan upacara yadnya, murkalah Sang Hyang Widhi Wasa sehingga banyak pengikutnya yang mati sakit dan diterkam binatang buas.
Dengan rasa sedih, Sang Yogi kembali ke pertapaannya. Setelah beberapa lama kembalilah beliau melanjutkan perabasan hutan dengan mengikutsertakan para Pandita atau para Rsi serta dengan pengikut sebanyak 400 orang dari Desa Aga yaitu penduduk yang tadinya bermukim di pegunungan Gunung Rawung. Sebelum memulai merabas hutan, beliau memohon wara nugraha kepada Ida Sang Hyang Widh Wasa dengan melaksanakan Upacara Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya dan Pratiwi Astawa. Berhubung sudah dianggap cukup luas hutan yang dirabas tanpa halangan apapun, pengikutnya diperintahkan untuk berhenti merabas. Kemudian mulailah beliau membagi tanah untuk sawah, tegalan dan pekarangan rumah. Selanjutnya di tempat bekas mulainya merabas hutan itu, dilakukan penanaman kendi (caratan) berisi air disertai lima jenis logam yaitu emas, perak, tembaga, besi dan perunggu yang disebut Pancadatu dan permata yang bernama Mirahadi (mirah utama). Di tempat menanam Pancadatu itu diberi nama Basuki yang artinya selamat dan sekarang dikenal dengan nama Besakih.
Selanjutnya di dalam Lontar Markandya Purana dapat pula dijumpai beberapa penegasan nama tempat, antara lain nama Puwakan, Payogan dan Taro. Puwakan karena di tempat inilah tanah hasil merabas hutan mulai dibagi–bagikan. Sedangkan nama Payogan, karena di sanalah tempat Sang Yogi Markandya melakukan yoga semadhi. Karena kesucian, kebijaksanaan, ketinggian ilmu dan selalu mengikuti petunjuk Sang Hyang Jagatnatha, beliau disebut Sang Hyang Naradatapa. Sedangkan nama Desa Taro, berasal dari kata Taru yang sama dengan kayu yang berarti kayun atau pikiran, pada awalnya bernama Sarwa Ada, karena apa yang beliau inginkan berdasarkan adnyana atau pikiran selalu ada.
Dari Taro, beliau pindah ke arah barat dan tempat ini diberi nama Purwabhumi dimana di tempat ini didirikan sebuah Pura atau Khayangan yang bernama Pura Purwa. "Nama ini sudah memberikan kesan bahwa tempat ini merupakan suatu permulaan (Purwa) dimulainya oleh Sang Yogi Markandya untuk menetapkan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan tentang tata cara mengatur kehidupan Desa Pekraman dan tata cara mengurus dan mengerjakan sawah ladang," jelasnya. Beliau mulai mengatur cara pembagian tanah sawah, ladang dan pekarangan rumah dan yang lebih penting adalah dimulainya pembangunan Kahyangan Desa. Yang memimpin masyarakat diberikan jabatan Desa yang bertugas mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan Kahyangan Desa/Parhyangan Desa. Yang mengurus permasalahan sawah diberi nama Subak dan yang bertugas menyelenggarakan pembagian air di sawah dan ladang disebut Pekaseh. "Pekaseh berasal dari kata kasih yang bermakna adil, menyangkut keadilan dalam pembagian air untuk sawah ataun ladang. Jika ada orang meninggal dunia maka yang diberi tugas mengurus dan mengatur tata cara penguburannya disebut Banjar yang masing-masing kesatuan kelompok dipimpin oleh seorang Kelihan. Kelihan mempunyai kewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketenteraman masyarakat," jelasnya.
Kini, pura tersebut diempon oleh warga Desa Pakraman Pengaji, Desa Melinggih, Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar. Peninggalan Sang Yogi Markandya yang masih bisa dilihat di Pura Murwa Bhumi ini adalah berupa Palinggih Gedong Bang.
Puncak Karya dihadiri oleh Gubernur Bali Wayan Koster, Bupati Gianyar Made Agus Mahayastra. Juga dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat seperti Anggota DPR RI Adi Mahendara Putra, Anggota pimpinan ketua DPRD provinsi dan Kabupaten Gianyar, Pangelingsir Puri Payangan, Ubud dan Peliatan. Pura ini disungsung oleh 82 KK pangarep dan 230 kamplengan atau sekitar 1.100 orang. Total biaya diperkirakan habis sebesar Rp 150 juta yang dibiayai krama pengempon dan punia dari desa, kahyangan tiga di Kecamatan Payangan. *nvi
1
Komentar