Terkait Kasus Somvir, Ketua Bawaslu Buleleng Lolos Jerat DKPP
Pengaduan dugaan pelanggaran kode etik oleh Ketua Bawaslu Buleleng, Putu Sugi Ardana rontok di DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu).
DENPASAR, NusaBali
Dalam sidang putusan DKPP di Jakarta, Rabu (17/7) dugaan pelanggaran etik oleh Ketua Bawaslu Buleleng, Putu Sugi Ardana yang dilaporkan Nyoman Redana, 60 warga Desa Pedawa, Kecamatan Banjar Buleleng tidak terbukti dan ditolak Majelis DKPP.
Kasus ini berawal ketika Redana mengadukan Ketua Bawaslu Buleleng, Putu Sugi Ardana dengan alasan tidak menindaklanjuti laporan terjadinya dugaan money politics (pemberian uang politik) oleh Caleg DPRD Bali dari Partai NasDem, Dr Somvir kepada Gede Subrata sejumlah Rp 5 juta dalam Pileg 2019.
Laporan Redana terkait dugaan money politics oleh Dr Somvir ke Bawaslu Buleleng terjadi pada 22 April 2019. Dalam sidang DKPP di Kantor KPU Bali sebenarnya Bawaslu Buleleng melakukan proses tindaklanjut dengan proses dan prosedur yang berlaku atas laporan Redana. Namun kasus money politics yang menyeret Dr Somvir tidak terbukti. Redana akhirnya melaporkan Ketua Bawaslu, Sugi Ardana dengan dugaan melanggar kode etik.
Namun dalam sidang yang dipimpin Harjono kemarin hasilnya justru membuat rontok laporan Redana. Dalam putusan DKPP Nomor 93-PKE-DKPP/V/2019 tertanggal 17 Juli 2019, majelis menolak permohonan Redana (pengadu) dalam dugaan pelanggaran kode etik, dengan mempertimbangkan bukti-bukti dan dalil yang diajukan Redana sebelumnya. Disebutkan Redana memang menyodorkan surat suara, buku yoga, dan bukti stiker caleg Dr Somvir yang disebut sebagai money politics. Namun Redana tidak bisa menunjukkan Gede Subrata penerima uang (money politics) Rp 5 juta dari Dr Somvir.
Redana juga tidak melakukan klarifikasi kepada Dr Somvir yang dituding sebagai pemberi money politics. Selain itu Redana yang mengaku menyerahkan sisa uang Rp 500 ribu kepada Subrata dari Rp 5 juta sebelumnya tidak dicantumkan dengan bukti penerimaan. Artinya sisa uang Rp 500 ribu yang diserahkan Redana ke Subrata tanpa kwitansi seperti yang sempat disebutkan Redana di sidang DKPP.
Dari seluruh bukti-bukti persidangan majelis memutuskan menolak pengaduan Redana seluruhnya. Merehabilitasi nama baik teradu (Ketua Bawaslu Buleleng). Meminta Bawaslu Bali menindaknjuti putusan DKPP selambat-lambatnya 7 hari sejak putusan dibacakan dan proses tersebut diawasi oleh Bawaslu RI.
Atas putusan itu Ketua Bawaslu Bali, Ketut Ariyani, dikonfirmasi terpisah Rabu malam mengakui sudah ada putusan DKPP di Jakarta terkait dengan kasus money politics yang diadukan Redana. Ariyani mengatakan pihak Bawaslu Bali akan turun ke Buleleng. "Kami akan tindaklanjuti ke Buleleng dengan terlebih dulu mengundang Bawaslu Buleleng ke Kantor Bawaslu Bali untuk proses penyampaian putusan DKPP yang merehabilitasi nama Ketua Bawaslu Buleleng," ujar Ariyani.
Bawaslu Bali menegaskan rehabilitasi nama Bawaslu Buleleng bukan hanya ketua saja. Namun secara keseluruhan. "Pemulihan nama baik ini secara kelembagaan. Kami akan sampaikan kepada media massa di Buleleng putusan DKPP ini. Jadi Bawaslu Buleleng tidak melanggar kode etik dalam laporan pengadu Nyoman Redana," kata mantan Ketua Panwaslu Buleleng ini. *nat
Kasus ini berawal ketika Redana mengadukan Ketua Bawaslu Buleleng, Putu Sugi Ardana dengan alasan tidak menindaklanjuti laporan terjadinya dugaan money politics (pemberian uang politik) oleh Caleg DPRD Bali dari Partai NasDem, Dr Somvir kepada Gede Subrata sejumlah Rp 5 juta dalam Pileg 2019.
Laporan Redana terkait dugaan money politics oleh Dr Somvir ke Bawaslu Buleleng terjadi pada 22 April 2019. Dalam sidang DKPP di Kantor KPU Bali sebenarnya Bawaslu Buleleng melakukan proses tindaklanjut dengan proses dan prosedur yang berlaku atas laporan Redana. Namun kasus money politics yang menyeret Dr Somvir tidak terbukti. Redana akhirnya melaporkan Ketua Bawaslu, Sugi Ardana dengan dugaan melanggar kode etik.
Namun dalam sidang yang dipimpin Harjono kemarin hasilnya justru membuat rontok laporan Redana. Dalam putusan DKPP Nomor 93-PKE-DKPP/V/2019 tertanggal 17 Juli 2019, majelis menolak permohonan Redana (pengadu) dalam dugaan pelanggaran kode etik, dengan mempertimbangkan bukti-bukti dan dalil yang diajukan Redana sebelumnya. Disebutkan Redana memang menyodorkan surat suara, buku yoga, dan bukti stiker caleg Dr Somvir yang disebut sebagai money politics. Namun Redana tidak bisa menunjukkan Gede Subrata penerima uang (money politics) Rp 5 juta dari Dr Somvir.
Redana juga tidak melakukan klarifikasi kepada Dr Somvir yang dituding sebagai pemberi money politics. Selain itu Redana yang mengaku menyerahkan sisa uang Rp 500 ribu kepada Subrata dari Rp 5 juta sebelumnya tidak dicantumkan dengan bukti penerimaan. Artinya sisa uang Rp 500 ribu yang diserahkan Redana ke Subrata tanpa kwitansi seperti yang sempat disebutkan Redana di sidang DKPP.
Dari seluruh bukti-bukti persidangan majelis memutuskan menolak pengaduan Redana seluruhnya. Merehabilitasi nama baik teradu (Ketua Bawaslu Buleleng). Meminta Bawaslu Bali menindaknjuti putusan DKPP selambat-lambatnya 7 hari sejak putusan dibacakan dan proses tersebut diawasi oleh Bawaslu RI.
Atas putusan itu Ketua Bawaslu Bali, Ketut Ariyani, dikonfirmasi terpisah Rabu malam mengakui sudah ada putusan DKPP di Jakarta terkait dengan kasus money politics yang diadukan Redana. Ariyani mengatakan pihak Bawaslu Bali akan turun ke Buleleng. "Kami akan tindaklanjuti ke Buleleng dengan terlebih dulu mengundang Bawaslu Buleleng ke Kantor Bawaslu Bali untuk proses penyampaian putusan DKPP yang merehabilitasi nama Ketua Bawaslu Buleleng," ujar Ariyani.
Bawaslu Bali menegaskan rehabilitasi nama Bawaslu Buleleng bukan hanya ketua saja. Namun secara keseluruhan. "Pemulihan nama baik ini secara kelembagaan. Kami akan sampaikan kepada media massa di Buleleng putusan DKPP ini. Jadi Bawaslu Buleleng tidak melanggar kode etik dalam laporan pengadu Nyoman Redana," kata mantan Ketua Panwaslu Buleleng ini. *nat
Komentar