Rindik dengan Tiga Panggul, Satu-satunya di Buleleng
Semilir angin berhembus sejuk di Kalangan Ratna Kanda Taman Budaya Bali saat seniman dari Sanggar Seni Giri Suara Ulangun Desa Lemukih, Kecamatan Sawan, Buleleng, mulai memainkan jemarinya memainkan rindik klasik, Jumat (17/6).
Rindik Klasik Desa Lemukih, Kecamatan Sawan, Buleleng
DENPASAR, NusaBali
Seketika itu, penonton terhanyut dalam kesejukan dan terbawa suasana irama musik rindik klasik, seperti sedang dalam suasana kehidupan petani di pedesaan. Suara rindik yang lembut, dikombinasikan dengan beberapa alat musik lainnya, ditambah dengan paduan suara, berpadu menjadi sebuah irama yang harmonis, seakan membuat kalangan tersebut bergema.
“Biasanya kalau rindik kan hanya dilengkapi dengan seruling. Namun rindik di desa kami dilengkapi dengan kentungan, bumbung kepyak, blumbangan, tek-tekan, dan okokan. Kemudian, dipadukan dengan pangeles (paduan suara). Ini adalah salah satu usaha untuk mengembangkan kembali alat-alat tradisional tersebut,” kata Ketua Sanggar Nengah Suastana.
Dulunya, kata Suastana, alat-alat musik tradisional seperti kentungan, bumbung kepyak, blumbangan, tek-tekan, dan okokan ini merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam tradisi kehidupan di pedesaan terutama kehidupan petani, sebagai pengusir bahaya, hama serta dipakai untuk keperluan ritual. Lambat laun, alat-alat musik tersebut dipadukan juga dengan rindik dan pangeles sehingga menjadi suatu kesenian baru yang kini sering dipakai untuk mengisi acara resepsi, otonan, atau 3 bulanan.
Perbedaannya pun jelas, permainan rindik dengan memakai tiga panggul serta didukung alat yang lain, suara yang dihasilkan lebih ramai daripada pertunjukan rindik pada umumnya. “Suara yang terdengar akan double, padahal yang memainkan cuma satu orang. Jadi kalau misal beberapa orang yang memainkan, maka suaranya akan terdengar ramai,” katanya.
Dari pemikiran untuk mengembangkan kembali alat-alat musik tradisional tersebut, pencipta seni kemudian mengkemasnya menjadi tabuh Sandya Gita. Pembina tabuh Ketut Darsana, menambahkan, perlu teknik khusus untuk bisa memainkan dua panggul di tangan kanan. Untuk belajar panggul saja, kata dia, perlu waktu sebulan, itupun bagi yang memang memiliki bakat. Namun, untuk yang memang benar-benar pemula memerlukan waktu lebih lama.
Darsana pun mengklaim, rindik klasik dengan menggunakan tiga panggul ini adalah satu-satunya jenis rindik yang ada di Buleleng. “Ini merupakan ciri khas desa kami, Desa Lemukih. Di Buleleng, cuma ada satu-satunya di desa kami. Dari teknik saja sudah beda. Perlu teknik khusus untuk bisa pegang panggul saja, dua panggul sekaligus di tangan kanan,” ungkapnya.
Secara harmoni, beberapa rerindikan mengalun lembut di telinga penonton yang mendengarkan di Kalangan Ratna Kanda, kemarin. Adapun rerindikan yang ditampilkan antara lain, Rerindikan Giri Suara Ulangun, Werdhi Gita Samrama, Tri Hita Karana, Yadnya Murni, serta tabuh kreasi Temu Laras Wenu Winardi dan Kerta Masa.
Darsana menambahkan, meski mempunyai kekhawatiran akan punahnya kesenian ini, namun regenerasi kesenian rindik klasik tersebut kini mulai menggeliat. Banyak potensi anak-anak yang memiliki bakat ngerindik, sudah mulai terjaring untuk ikut melestarikan kesenian ini. Hanya saja, memang memerlukan waktu untuk pembinaannya. “Selama masih bisa dan semasih antusias anak-anak yang memiliki minat tumbuh untuk ikut ngerindik, kami akan terus lanjut,” imbuhnya.
Suastana dan Darsana pun berharap, ada perhatian lebih dari pemerintah untuk terus menggali kebudayaan yang langka sebelum nantinya kebudayaan-kebudayaan langka tersebut punah. Bahkan mereka mengungkap, ini merupakan kali pertama bagi kesenian rindik klasik mereka bisa pentas di ajang PKB, setelah 38 tahun diselenggarakan. “Ya, kami juga berharap ada pembinaan dari pemerintah, sehingga kesenian-kesenian yang langka bisa tetap lestari,” harapnya. 7 i
1
2
Komentar