Krama Banjar Pande Tidak Lagi Ngejot Punjung
Sejak 6 tahun terakhir, krama Banjar Pande, Kelurahan Cempaga, Kecamatan/Kabupaten Bangli tidak lagi menjalankan tradisi ngejot punjung jelang Hari Raya Galungan.
BANGLI, NusaBali
Punjung diberikan kepada krama yang baru melangsungkan perkawinan dan pasangan yang baru memiliki anak pertama. Tradisi turun-temurun ini digantikan dengan magendu wirasa para prajuru adat ke masing-masing rumah pengantin baru ataupun pasangan yang baru memiliki anak.
Kelian Adat Banjar Pande I Wayan Nyepek mengatakan punjung berisi buah-buahan, tumpeng, kue, dan sampian pusung. “Ngejot banten punjung sebagai ajang magendu wirasa dan mempererat rasa persaudaraan antar krama,” ungkapnya, Kamis (25/7). Dijelaskan, tradisi ini sejak enam tahun lalu tidak dijalankan atas aspirasi krama istri (perempuan). Sebab para ibu rumah tangga ini cukup repot menyambut hari raya, apalagi jumlah punjung yang dibuat cukup banyak. “Wewidangan (wilayah) kami luas, jumlah krama juga banyak. Saat Galungan krama bisa ngejot di belasan tempat,” ungkap Wayan Nyepek yang juga Bendesa Adat Pande.
Atas aspirasi krama istri, prajuru minta petunjuk sulinggih, Ida Pedanda Putu Oka di Griya Dharma Kusuma Jati, Banjar Brahmana Bukit, Cempaga. Petunjuk sulinggih, ngejot punjung adalag penghormatan terhadap leluhur yang telah meninggal. Pertimbangan lainnya dari prajuru adalah kondisi ekonomi krama. Dulu, punjung yang masih sukla (belum dihaturkan) digunakan sarana banten oleh krama penerima. “Banten punjung yang diterima jumlahnya bisa mencapai puluhan. Usai natab, punjung dimakan karena tidak habis dikonsumsi jadi terbuang,” ujarnya.
Jumlah krama sebanyak 115 pangarep dan bale angkep 350 KK. Berdasarkan aspirasi itu, prajuru melakukan sosialisasi kepada krama saat paruman banjar. “Krama menyambut baik. Ngejot punjung digantikan dengan prajuru mengunjungi krama yang baru kawin atau baru dikaruniai anak,” tegas Wayan Nyepek. *esa
Punjung diberikan kepada krama yang baru melangsungkan perkawinan dan pasangan yang baru memiliki anak pertama. Tradisi turun-temurun ini digantikan dengan magendu wirasa para prajuru adat ke masing-masing rumah pengantin baru ataupun pasangan yang baru memiliki anak.
Kelian Adat Banjar Pande I Wayan Nyepek mengatakan punjung berisi buah-buahan, tumpeng, kue, dan sampian pusung. “Ngejot banten punjung sebagai ajang magendu wirasa dan mempererat rasa persaudaraan antar krama,” ungkapnya, Kamis (25/7). Dijelaskan, tradisi ini sejak enam tahun lalu tidak dijalankan atas aspirasi krama istri (perempuan). Sebab para ibu rumah tangga ini cukup repot menyambut hari raya, apalagi jumlah punjung yang dibuat cukup banyak. “Wewidangan (wilayah) kami luas, jumlah krama juga banyak. Saat Galungan krama bisa ngejot di belasan tempat,” ungkap Wayan Nyepek yang juga Bendesa Adat Pande.
Atas aspirasi krama istri, prajuru minta petunjuk sulinggih, Ida Pedanda Putu Oka di Griya Dharma Kusuma Jati, Banjar Brahmana Bukit, Cempaga. Petunjuk sulinggih, ngejot punjung adalag penghormatan terhadap leluhur yang telah meninggal. Pertimbangan lainnya dari prajuru adalah kondisi ekonomi krama. Dulu, punjung yang masih sukla (belum dihaturkan) digunakan sarana banten oleh krama penerima. “Banten punjung yang diterima jumlahnya bisa mencapai puluhan. Usai natab, punjung dimakan karena tidak habis dikonsumsi jadi terbuang,” ujarnya.
Jumlah krama sebanyak 115 pangarep dan bale angkep 350 KK. Berdasarkan aspirasi itu, prajuru melakukan sosialisasi kepada krama saat paruman banjar. “Krama menyambut baik. Ngejot punjung digantikan dengan prajuru mengunjungi krama yang baru kawin atau baru dikaruniai anak,” tegas Wayan Nyepek. *esa
1
Komentar