Gotong Royong Petani Bali Lenyap
Dulu, sebelum ada jasa tukang pula (buruh penanam padi), setiap petani yang akan bertanam padi pasti minta tolong untuk bertanam padi kepada petani lain atau ngoopin.
TABANAN, NusaBali
MODERNITAS terus berkelindan dengan memanfaatkan teknologi modern nan canggih. Peri kehidupan manusia pun makin terukur secara efisien dan efektif. Tak terkecuali dalam bercocok tanam padi di Bali. Subak sebagai sebuah organisasi tradisional pertanian di Bali yang diakui dunia, masih ada. Namun pelbagai jenis kerja tradisional sebagai penopang kearifan lokal bersubak makin hilang.
Di Bali, kini tak hanya kerja matekap (membajak sawah secara tradisional) dengan tenaga sapi/kerbau telah hilang, tradisi kerja penopang persubakan pun lenyap. Nguun (sekaa tanam padi) juga tinggal kenangan. Di Subak Pangsut Banjar Kuning, Desa Tamanbali, Kecamatan Bangli, misalnya, hampir sebagian besar petani mendatangkan tukang pula (buruh tanam padi, Red) dari luar banjar atau desa. Kondisi ini sudah terjadi kurang lebih 15 tahun lalu. Para petani subak ini tak lagi mampu mempertahankan tradisi saling oopin atau kerja dengan bergotong royong.
Dulu, sebelum ada jasa tukang pula (buruh penanam padi), setiap petani yang akan bertanam padi pasti minta tolong untuk bertanam padi kepada petani lain atau ngoopin. Begitu juga petani yang sudah sempat ditolong akan meluangkan waktu untuk menolong petani yang sempat diminta bantuan sebelumnya. Sehingga dengan cara saling tolong ini petani tak akan mengeluarkan biaya untuk tanam padi. Petani yang minta bantuan oopan hanya mengeluarkan biaya konsumsi. Antara lain, untuk minum kopi dan makan siang.
Salah satu petani di subak setempat, Ngakan Made Setiawan mengatakan, kini tidak ada lagi petani di dseanya yang mempertahankan tradisi nguun atau ngoopin. Karena merasa tidak enak meminta bantuan ke petani lain. Sebab sebelumnya saat petani lain sedang proses tanam padi tidak sempat membantu. "Saya tak pernah membantu petani lain, jika tiba-tiba meminta bantuan, tentu jadi tidak enak," ujarnya.
Maka untuk lebih praktis, dia sendiri memanggil tukang pula (juru tanam padi) yang sudah menjadi langganan setiap musim tanam. Meski harus mengeluarkan biaya, dia tidak mempermasalahkan yang penting lahan tertanam padi. Ongkos tanam padi berkisar Rp 15.00 - Rp 16.000/are. "Padahal saya hanya menggarap sawah orang lain, Ya, tidak masalah keluarkan biaya. Mau bagaimana lagi, kalau menanam padi sendiri memakan waktu lama," terangnya.
Menurut Setiawan, di Subak Pangsut sudah lama para petani tidak menjalankan tradisi nguun. Ada sekitar 10 – 15 tahun lebih. Dibandingkan dulu, setiap musin tanam, petani rutin saling kasi tahu dan saling tolong setiap proses tanam padi. "Kalau dulu, saat masih ada tradisi nguun, petani menanam padi bergantian. Misal, sekarang di sawah milik petani A, besok di petani B," akunya.
Hal serupa juga disampaikan petani, Ngakan Putu Purwa. Dia tak gunakan tradisi nguun karena seluruh petani sibuk. Selain itu ada rasa tidak enak meminta bantuan karena sebelumnya tidak pernah membantu. "Lagi pula petani sekarang ingin berbarengan selesai garap sawah, jadi tidak bisa jalankan tradisi nguun tersebut," jelasnya.
Diakui Purwa, sebenarnya memanggil jasa tukang pula tersebut di petani rugi besar. Karena harus keluarkan biaya. Sebab upah tanam padi saat ini sudah mahal. Seluas 1 are saja upah tanam padi sebesar Rp 15.000. Jika punya lahan 20 are hanya dapat panen sekitar 30 kampil. Belum lagi biaya membasmi serangga, dan lain-lain. "Yen dadi orang gae petanine ngemedin (kalau bisa dibilang pekerjaan petani ini membosankan). Untung ne sing amongken (untungnya tidak seberapa)," bebernya.
Petani lain Ngakan Made Mangku Alit juga mengaku hal sama. Dia memakai jasa tukang pula tidak ada orang yang diminta bantuan nguun. Sebab sudah tidak ada lagi petani yang nguun. "Men nyen orain, mekejang sing ade nguun. (siapa yang diminta bantuan, sudah tidak ada lagi tradisi nguun).Disamping itu tidak enak juga meminta bantuan karena tidak sempat bantu," akunya.
Oleh karena itu agar lebih cepat, dia sendiri memanggil jasa tukang pula. Meskipun harus keluarkan biaya dan tidak mendapatkan untung seberapa. Sebab dia sendiri dalam menggarap sawah seluruhnya memakai tenag lain. Baik jasa ntraktor (bajak sawah) dan tanam padi. "Saya garap sawah orang lain, kalau dibilang rugi, rugi sekali. Gratisnya ya dapat rumput pakai pakan sapi," akunya.
Meski di Subak Pangsut sebagian besar petani tak gunakan tradisi nguun dan memilih panggil tukang pula, ada beberapa petani yang tanam padi seorang diri. Salah satunya Ngakan Made Nikan saat tanam padi dikerjakan bersama sang istri, Desak Made Renes. "Uma tiyang ten linggah, adeng-adengin tiyang (sawah saya tak banyak, saya tanam padi pelan-pelan saja)," ujarnya.
Ngakan Nikan yang merupakan salah satu petani sudah usur ini mengaku kalau panggil jasa tukang pula harus keluarkan banyak biaya. Lagi pula untung petani didapat tidak seberapa. "Ada cucu yang bantu saya juga, kalau semua makai jasa, pasti rugi," ujarnya.*des
Di Bali, kini tak hanya kerja matekap (membajak sawah secara tradisional) dengan tenaga sapi/kerbau telah hilang, tradisi kerja penopang persubakan pun lenyap. Nguun (sekaa tanam padi) juga tinggal kenangan. Di Subak Pangsut Banjar Kuning, Desa Tamanbali, Kecamatan Bangli, misalnya, hampir sebagian besar petani mendatangkan tukang pula (buruh tanam padi, Red) dari luar banjar atau desa. Kondisi ini sudah terjadi kurang lebih 15 tahun lalu. Para petani subak ini tak lagi mampu mempertahankan tradisi saling oopin atau kerja dengan bergotong royong.
Dulu, sebelum ada jasa tukang pula (buruh penanam padi), setiap petani yang akan bertanam padi pasti minta tolong untuk bertanam padi kepada petani lain atau ngoopin. Begitu juga petani yang sudah sempat ditolong akan meluangkan waktu untuk menolong petani yang sempat diminta bantuan sebelumnya. Sehingga dengan cara saling tolong ini petani tak akan mengeluarkan biaya untuk tanam padi. Petani yang minta bantuan oopan hanya mengeluarkan biaya konsumsi. Antara lain, untuk minum kopi dan makan siang.
Salah satu petani di subak setempat, Ngakan Made Setiawan mengatakan, kini tidak ada lagi petani di dseanya yang mempertahankan tradisi nguun atau ngoopin. Karena merasa tidak enak meminta bantuan ke petani lain. Sebab sebelumnya saat petani lain sedang proses tanam padi tidak sempat membantu. "Saya tak pernah membantu petani lain, jika tiba-tiba meminta bantuan, tentu jadi tidak enak," ujarnya.
Maka untuk lebih praktis, dia sendiri memanggil tukang pula (juru tanam padi) yang sudah menjadi langganan setiap musim tanam. Meski harus mengeluarkan biaya, dia tidak mempermasalahkan yang penting lahan tertanam padi. Ongkos tanam padi berkisar Rp 15.00 - Rp 16.000/are. "Padahal saya hanya menggarap sawah orang lain, Ya, tidak masalah keluarkan biaya. Mau bagaimana lagi, kalau menanam padi sendiri memakan waktu lama," terangnya.
Menurut Setiawan, di Subak Pangsut sudah lama para petani tidak menjalankan tradisi nguun. Ada sekitar 10 – 15 tahun lebih. Dibandingkan dulu, setiap musin tanam, petani rutin saling kasi tahu dan saling tolong setiap proses tanam padi. "Kalau dulu, saat masih ada tradisi nguun, petani menanam padi bergantian. Misal, sekarang di sawah milik petani A, besok di petani B," akunya.
Hal serupa juga disampaikan petani, Ngakan Putu Purwa. Dia tak gunakan tradisi nguun karena seluruh petani sibuk. Selain itu ada rasa tidak enak meminta bantuan karena sebelumnya tidak pernah membantu. "Lagi pula petani sekarang ingin berbarengan selesai garap sawah, jadi tidak bisa jalankan tradisi nguun tersebut," jelasnya.
Diakui Purwa, sebenarnya memanggil jasa tukang pula tersebut di petani rugi besar. Karena harus keluarkan biaya. Sebab upah tanam padi saat ini sudah mahal. Seluas 1 are saja upah tanam padi sebesar Rp 15.000. Jika punya lahan 20 are hanya dapat panen sekitar 30 kampil. Belum lagi biaya membasmi serangga, dan lain-lain. "Yen dadi orang gae petanine ngemedin (kalau bisa dibilang pekerjaan petani ini membosankan). Untung ne sing amongken (untungnya tidak seberapa)," bebernya.
Petani lain Ngakan Made Mangku Alit juga mengaku hal sama. Dia memakai jasa tukang pula tidak ada orang yang diminta bantuan nguun. Sebab sudah tidak ada lagi petani yang nguun. "Men nyen orain, mekejang sing ade nguun. (siapa yang diminta bantuan, sudah tidak ada lagi tradisi nguun).Disamping itu tidak enak juga meminta bantuan karena tidak sempat bantu," akunya.
Oleh karena itu agar lebih cepat, dia sendiri memanggil jasa tukang pula. Meskipun harus keluarkan biaya dan tidak mendapatkan untung seberapa. Sebab dia sendiri dalam menggarap sawah seluruhnya memakai tenag lain. Baik jasa ntraktor (bajak sawah) dan tanam padi. "Saya garap sawah orang lain, kalau dibilang rugi, rugi sekali. Gratisnya ya dapat rumput pakai pakan sapi," akunya.
Meski di Subak Pangsut sebagian besar petani tak gunakan tradisi nguun dan memilih panggil tukang pula, ada beberapa petani yang tanam padi seorang diri. Salah satunya Ngakan Made Nikan saat tanam padi dikerjakan bersama sang istri, Desak Made Renes. "Uma tiyang ten linggah, adeng-adengin tiyang (sawah saya tak banyak, saya tanam padi pelan-pelan saja)," ujarnya.
Ngakan Nikan yang merupakan salah satu petani sudah usur ini mengaku kalau panggil jasa tukang pula harus keluarkan banyak biaya. Lagi pula untung petani didapat tidak seberapa. "Ada cucu yang bantu saya juga, kalau semua makai jasa, pasti rugi," ujarnya.*des
Komentar