Imperialisme Budaya
Imperialisme berasal dari kata ‘imperator’ yang
artinya memerintah atau menguasai. Tujuannya sangat beragam.
Imperialisme politik bertujuan untuk menguasai seluruh kehidupan
politik.
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Imperialisme ekonomi mengarah pada upaya menguasai seluruh kehidupan ekonomi. Sedangkan, imperialisme militer merupakan suatu upaya untuk menguasai daerah dari negara lain yang dianggap strategis dengan menggunakan kekuatan senjata. Jenis yang lain adalah imperialisme kebudayaan.Imperialisme kebudayaan dapat berwujud jamak, yaitu kebijakan, sikap, dan aksi yang menguatkan hegemoni kultural.
Pada kesempatan ini akan dibahas imperialisme kebudayaan, khususnya dalam konteks sekolah.Saat ini, Pemerintah Indonesia menetapkan anak usia dini sebagai masa emas (golden age). Ekpansi PAUD merambah ke seluruh negeri, bahkan dicanangkan satu desa satu PAUD. Gagasan ini direspons cepat dan masif, satu RT/RW satu PAUD. Di Bali, respons serupa terjadi, satu banjar satu PAUD. Gerakan satu desa satu PAUD dapat dianggap sebagai imperialisme budaya dalam bentuk kebijakan. Akibatnya, pergeseran tata pikir, rasa, dan perilaku terjadi di kalangan masyarakat.
Anak-anak umur 0–6 tahun harus mengikuti program Taman Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (KB), PAUD Sejenis (SPS) atau Taman Kanak-kanak (TK). Ekstensivitas tidak dibarengi dengan kualitas. Artinya, kualitas masukan, baik itu masukan dasar, instrumental maupun environmental masih terbatas. Misalnya, anak-anak yang mengikuti program PAUD masih sangat bervariasi. Biasanya, anak-anak dari golongan orang kaya atau menengah yang mampu mengikuti program tersebut. Sedangkan, mereka yang miskin tidak mampu mengikuti program ini. Kalau ada orang miskin yang mengikuti program PAUD, kebanyakan mereka hanya mampu ke lembaga yang serba kekurangan.
Pendidik PAUD di lembaga yang tidak terakreditasi biasanya minim kualifikasi apalagi kompetensi. Mereka itu hanya terdiri dari lulusan SMP atau SMA/SMK. Kompetensinya cenderung kurang memadai. Akibatnya, kemampuan pendidik dalam mengarahkan anak untuk mencapai lingkup perkembangan tidak tercapai. Pendidik PAUD yang kurang memahami filosofi perkembangan moral dan kognitif anak sering mendominasi. Anak-anak sejak kecil diajar untuk selalu menurut perintah pendidik. Pendidik lah yang paling baik dan benar. Asumsi pendidik bahwa anak adalah insan lemah dan kertas putih. Kekuasaan sepenuhnya ada pada pendidik.
Program holistik integratif tidak sepenuhnya terwujud. Keseragaman sering didorong pada perkembangan anak usia dini. Bermain kreatif dan kritis tidak terselenggara dalam kegiatan anak usia dini. Klise kultural sering dipaksakan pada anak usia dini. Misalnya, pendidik merasa senang kalau anak putri melakukan hal sesuai dengan harapan budaya. Anak putri harus memilih mainan, seperti boneka Barbie. Kalau seorang anak putri memilih mainan berupa truk berwarna kusam, pendidiknya gelisah. Harapannya, anak putri itu memilih mainan sesuai harapan budaya. Tidak muncul kreativitas pendidik untuk melakukan dialog kritis dengan anak. Misalnya, pendidik bisa bertanya, kenapa pilih truk bukan boneka? Kenapa warna truk dipilih yang kusam, bukan yang cerah? Seandainya, jawaban anak,: “Saya lebih senang yang dekil. Kenapa truk ini begini kotor, apa ia sering digunakan tetapi jarang dibersihkan?” Seharusnya, pendidik bersyukur anak ini berpikir kreatif tentang apa yang ada di balik truk yang kotor tersebut. Bukannya pendidik serta merta mendorong anak agar membuat pilihan sesuai klise budaya. Seharusnya, pendidik lebih telaten dan sistematis mengembangkan anak untuk mencapai tingkat perkembangan mereka secara holistik integratif.
Kreativitas dan kesabaran pendidik untuk mengembangkan anak untuk berpikir cerdas, kritis, dan kreatif sangat jarang ditemukan. Pendidik ingin lancar mengajar walau dipaksa. Akibatnya, peserta didik yang dilahirkan adalah anak yang hafal menyebut tetapi tak paham makna, cepat meniru tetapi tak mampu mencipta, cepat menjawab tetapi keakuratan jawaban rendah, cepat menyimak tetapi cepat melupakan, dan sebagainya. Dominasi guru tak mampu sering terjadi di ruang pembelajaran anak usia dini. Sehingga, proses pembelajaran yang mendidik tidak pernah tercipta secara optimal dikarenakan keterbatasan pendidik, sarana prasarana dan ketersediaan alat untuk mengevaluasi proses dan hasil pembelajarannya. Simpulannya, imperialisme kebudayaan oleh pendidik pada anak usia dini berakibat menguatkan hegemoni kultural pendidik. Dan, akibatnya apabila pendidik
tidak ada, maka anak akan bersorak gembira bahwa hari ini bebas tidak belajar. 7
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Imperialisme ekonomi mengarah pada upaya menguasai seluruh kehidupan ekonomi. Sedangkan, imperialisme militer merupakan suatu upaya untuk menguasai daerah dari negara lain yang dianggap strategis dengan menggunakan kekuatan senjata. Jenis yang lain adalah imperialisme kebudayaan.Imperialisme kebudayaan dapat berwujud jamak, yaitu kebijakan, sikap, dan aksi yang menguatkan hegemoni kultural.
Pada kesempatan ini akan dibahas imperialisme kebudayaan, khususnya dalam konteks sekolah.Saat ini, Pemerintah Indonesia menetapkan anak usia dini sebagai masa emas (golden age). Ekpansi PAUD merambah ke seluruh negeri, bahkan dicanangkan satu desa satu PAUD. Gagasan ini direspons cepat dan masif, satu RT/RW satu PAUD. Di Bali, respons serupa terjadi, satu banjar satu PAUD. Gerakan satu desa satu PAUD dapat dianggap sebagai imperialisme budaya dalam bentuk kebijakan. Akibatnya, pergeseran tata pikir, rasa, dan perilaku terjadi di kalangan masyarakat.
Anak-anak umur 0–6 tahun harus mengikuti program Taman Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (KB), PAUD Sejenis (SPS) atau Taman Kanak-kanak (TK). Ekstensivitas tidak dibarengi dengan kualitas. Artinya, kualitas masukan, baik itu masukan dasar, instrumental maupun environmental masih terbatas. Misalnya, anak-anak yang mengikuti program PAUD masih sangat bervariasi. Biasanya, anak-anak dari golongan orang kaya atau menengah yang mampu mengikuti program tersebut. Sedangkan, mereka yang miskin tidak mampu mengikuti program ini. Kalau ada orang miskin yang mengikuti program PAUD, kebanyakan mereka hanya mampu ke lembaga yang serba kekurangan.
Pendidik PAUD di lembaga yang tidak terakreditasi biasanya minim kualifikasi apalagi kompetensi. Mereka itu hanya terdiri dari lulusan SMP atau SMA/SMK. Kompetensinya cenderung kurang memadai. Akibatnya, kemampuan pendidik dalam mengarahkan anak untuk mencapai lingkup perkembangan tidak tercapai. Pendidik PAUD yang kurang memahami filosofi perkembangan moral dan kognitif anak sering mendominasi. Anak-anak sejak kecil diajar untuk selalu menurut perintah pendidik. Pendidik lah yang paling baik dan benar. Asumsi pendidik bahwa anak adalah insan lemah dan kertas putih. Kekuasaan sepenuhnya ada pada pendidik.
Program holistik integratif tidak sepenuhnya terwujud. Keseragaman sering didorong pada perkembangan anak usia dini. Bermain kreatif dan kritis tidak terselenggara dalam kegiatan anak usia dini. Klise kultural sering dipaksakan pada anak usia dini. Misalnya, pendidik merasa senang kalau anak putri melakukan hal sesuai dengan harapan budaya. Anak putri harus memilih mainan, seperti boneka Barbie. Kalau seorang anak putri memilih mainan berupa truk berwarna kusam, pendidiknya gelisah. Harapannya, anak putri itu memilih mainan sesuai harapan budaya. Tidak muncul kreativitas pendidik untuk melakukan dialog kritis dengan anak. Misalnya, pendidik bisa bertanya, kenapa pilih truk bukan boneka? Kenapa warna truk dipilih yang kusam, bukan yang cerah? Seandainya, jawaban anak,: “Saya lebih senang yang dekil. Kenapa truk ini begini kotor, apa ia sering digunakan tetapi jarang dibersihkan?” Seharusnya, pendidik bersyukur anak ini berpikir kreatif tentang apa yang ada di balik truk yang kotor tersebut. Bukannya pendidik serta merta mendorong anak agar membuat pilihan sesuai klise budaya. Seharusnya, pendidik lebih telaten dan sistematis mengembangkan anak untuk mencapai tingkat perkembangan mereka secara holistik integratif.
Kreativitas dan kesabaran pendidik untuk mengembangkan anak untuk berpikir cerdas, kritis, dan kreatif sangat jarang ditemukan. Pendidik ingin lancar mengajar walau dipaksa. Akibatnya, peserta didik yang dilahirkan adalah anak yang hafal menyebut tetapi tak paham makna, cepat meniru tetapi tak mampu mencipta, cepat menjawab tetapi keakuratan jawaban rendah, cepat menyimak tetapi cepat melupakan, dan sebagainya. Dominasi guru tak mampu sering terjadi di ruang pembelajaran anak usia dini. Sehingga, proses pembelajaran yang mendidik tidak pernah tercipta secara optimal dikarenakan keterbatasan pendidik, sarana prasarana dan ketersediaan alat untuk mengevaluasi proses dan hasil pembelajarannya. Simpulannya, imperialisme kebudayaan oleh pendidik pada anak usia dini berakibat menguatkan hegemoni kultural pendidik. Dan, akibatnya apabila pendidik
tidak ada, maka anak akan bersorak gembira bahwa hari ini bebas tidak belajar. 7
1
Komentar