Koalisi Masyarakat Sipil Kecewa
Keppres Pansel KPK Dirahasiakan
JAKARTA, NusaBali
Koalisi aktivis penggiat anti korupsi seperti LBH Jakarta, ICW, YLBHI dan Pusako FH Unand mempermasalahakan tertutupnya akses informasi Pansel KPK yang dibentuk pemerintah. Koalisi menganggap tidak adanya akses ke pansel KPK menjadikan banyak nama bermasalah lolos sebagai calon.
Koalisi ini menganggap pemerintah terkesan arogan karena menolak pengajuan permohonan informasi publik ke Sekretariat negara (Setneg).
"Penolakan ini sebetulnya membuktikan juga bahwa rezim Jokowi memang tertutup. Hanya aturan perundang-undangan, itu tertutup," kata Kepala Advokasi LBH Jakarta Nelson Simamora di kantornya, Jakarta, seperti dilansir vivanews Minggu (28/7).
Nelson menjelaskan permohonan tersebut disampaikan ke Sekneg pada tanggal 10 Juli 2019. Dalam surat tersebut koalisi meminta salinan Keppres nomor 54/P tahun 2019. Melalui surat dengan nomor B123/Kemensekneg/Hunas/HM.00.00/07/2019 pejabat pengelola informasi dan dokumentasi, Kemensetneg justru menolak permintaan tersebut.
"Kita ke Setneg, jawabannya seperti ini. Kemudian alasannya permohonan informasi publik. Kepres itu, 'bersama ini permohonan saudara tidak bisa kami penuhi, kepres tersebut disampaikan kepada yang bersangkutan', ini bahasanya muter-muter, intinya tidak dikasih," terangnya.
Nelson mengatakan keppres tersebut harusnya bisa diakses oleh publik. Namun dalam konteks ini, pemerintah justru menutupi hal tersebut.
"Kita LBH, kalau kita ke DPR, itu dikasih langsung, ke KPK, itu kita dikasih hard copy-nya. Undang-undang dan lalu naskah akademiknya. Dikasih dua duanya. Kalau kita ke DPR," katanya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, meminta agar isu konflik internal KPK diharapkan menjadi catatan khusus pansel dalam memilih calon pimpinan KPK jilid V. Rekam jejak para peserta harus ditelusuri secara rinci, khususnya kandidat dari Polri.
Kabar mengenai kubu-kubuan di internal KPK bukan rahasia umum. Dia yakin, pansel mengetahui banyak soal konflik internal tersebut. Dia berharap pansel bekerja profesional dalam menyaring para calon. Terpenting, pansel tidak terlibat dalam konflik kepentingan. *
Koalisi ini menganggap pemerintah terkesan arogan karena menolak pengajuan permohonan informasi publik ke Sekretariat negara (Setneg).
"Penolakan ini sebetulnya membuktikan juga bahwa rezim Jokowi memang tertutup. Hanya aturan perundang-undangan, itu tertutup," kata Kepala Advokasi LBH Jakarta Nelson Simamora di kantornya, Jakarta, seperti dilansir vivanews Minggu (28/7).
Nelson menjelaskan permohonan tersebut disampaikan ke Sekneg pada tanggal 10 Juli 2019. Dalam surat tersebut koalisi meminta salinan Keppres nomor 54/P tahun 2019. Melalui surat dengan nomor B123/Kemensekneg/Hunas/HM.00.00/07/2019 pejabat pengelola informasi dan dokumentasi, Kemensetneg justru menolak permintaan tersebut.
"Kita ke Setneg, jawabannya seperti ini. Kemudian alasannya permohonan informasi publik. Kepres itu, 'bersama ini permohonan saudara tidak bisa kami penuhi, kepres tersebut disampaikan kepada yang bersangkutan', ini bahasanya muter-muter, intinya tidak dikasih," terangnya.
Nelson mengatakan keppres tersebut harusnya bisa diakses oleh publik. Namun dalam konteks ini, pemerintah justru menutupi hal tersebut.
"Kita LBH, kalau kita ke DPR, itu dikasih langsung, ke KPK, itu kita dikasih hard copy-nya. Undang-undang dan lalu naskah akademiknya. Dikasih dua duanya. Kalau kita ke DPR," katanya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, meminta agar isu konflik internal KPK diharapkan menjadi catatan khusus pansel dalam memilih calon pimpinan KPK jilid V. Rekam jejak para peserta harus ditelusuri secara rinci, khususnya kandidat dari Polri.
Kabar mengenai kubu-kubuan di internal KPK bukan rahasia umum. Dia yakin, pansel mengetahui banyak soal konflik internal tersebut. Dia berharap pansel bekerja profesional dalam menyaring para calon. Terpenting, pansel tidak terlibat dalam konflik kepentingan. *
1
Komentar