Opium, Senjata Dokter Anestesi Bagaikan Pisau Bermata Dua
Di saat penyalahgunaan narkotika marak di kalangan publik figur, profesi dokter anestesi hampir setiap hari berkecimpung untuk menggunakan narkotika.
DENPASAR, NusaBali.com
Sebanyak 60 dokter anestesi dari Bali dan Indonesia Timur Workshop Penggunaan Klinik Remifentanil di RSUD Bali Mandara Denpasar, Selasa (30/7/2019). “Workshop ini membahas jenis obat ‘narkotika baru’, yakni, remifentanil yang sebenarnya sudah ada dari 20 tahun lalu,” kata Direktur RSUD Bali Mandara, dr Gede Bagus Darmayasa M Repro.
Obat yang merupakan turunan dari Opium tersebut dibahas sebagai sebuah pilihan obat, karena sifatnya yang cepat mulai kerjanya namun cepat pula eliminasinya (rapid onset - rapi offset). “Opiat memang menjadi salah satu senjata dokter anestesi untuk mengatasi nyeri akut maupun nyeri kronik. Onset yang cepat dan offset yang cepat pula adalah salah satu yang ingin dicari dari penggunaan obat Opiat,” kata Bagus Darmayasa.
Beberapa pembicara nasional pun dihadirkan, antara lain, Profesor Andi Husni Tanra, Sp.An, MD, PhD, KMN dari Makassar; Profesor Made Wiryana, Sp.An, KIC, KAO, dan Dr. dr.Sjafri, Sp. An, KIC, KAKV, serta Dr.dr.Putu Pramana Suarjaya, Sp.An, KNA, KMN. Para pakar ini membagikan pengalamannya terhadap penggunaan klinik Penanganan Nyeri multimodal.
Namun dalam workshop, terungkap juga bahwa di era ‘Kendali Mutu dan Kendali Biaya’, ada sebuah PR besar dari setiap provider obat atau farmasi. “Memang, jika bicara ‘Kendali Biaya’ itu tidak bisa dihitung direct cost saja, tapi harus mempertimbangkan penyerta-penyertanya yang dari paling gampang tentang length of stay di rumah sakit atau efek samping yang ditimbulkan sehingga memerlukan treatment tambahan,” kata dokter yang hobi melukis ini.
Di sisi lain, Opiat atau narkotika disebut sebagai pisau bermata dua. “Ya, karena jika sedikit saja ada kesalahan dosis, akan fatal akibatnya. Terlebih lagi, jika bukan personal profesional yang mengerjakan,” imbuh Bagus Darmayasa.
Mantan Direktur Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Pemprov Bali di Bangli ini pun menekankan bahwa Opiat adalah anugerah dari Tuhan. “Terutama untuk penanganan nyeri sedang dan berat. Tapi tentu saja tetap menuntut perilaku bertanggung jawab dan sesuai indikasi untuk aplikasinya,” pungkas Bagus Darmayasa.*red
Obat yang merupakan turunan dari Opium tersebut dibahas sebagai sebuah pilihan obat, karena sifatnya yang cepat mulai kerjanya namun cepat pula eliminasinya (rapid onset - rapi offset). “Opiat memang menjadi salah satu senjata dokter anestesi untuk mengatasi nyeri akut maupun nyeri kronik. Onset yang cepat dan offset yang cepat pula adalah salah satu yang ingin dicari dari penggunaan obat Opiat,” kata Bagus Darmayasa.
Beberapa pembicara nasional pun dihadirkan, antara lain, Profesor Andi Husni Tanra, Sp.An, MD, PhD, KMN dari Makassar; Profesor Made Wiryana, Sp.An, KIC, KAO, dan Dr. dr.Sjafri, Sp. An, KIC, KAKV, serta Dr.dr.Putu Pramana Suarjaya, Sp.An, KNA, KMN. Para pakar ini membagikan pengalamannya terhadap penggunaan klinik Penanganan Nyeri multimodal.
Namun dalam workshop, terungkap juga bahwa di era ‘Kendali Mutu dan Kendali Biaya’, ada sebuah PR besar dari setiap provider obat atau farmasi. “Memang, jika bicara ‘Kendali Biaya’ itu tidak bisa dihitung direct cost saja, tapi harus mempertimbangkan penyerta-penyertanya yang dari paling gampang tentang length of stay di rumah sakit atau efek samping yang ditimbulkan sehingga memerlukan treatment tambahan,” kata dokter yang hobi melukis ini.
Di sisi lain, Opiat atau narkotika disebut sebagai pisau bermata dua. “Ya, karena jika sedikit saja ada kesalahan dosis, akan fatal akibatnya. Terlebih lagi, jika bukan personal profesional yang mengerjakan,” imbuh Bagus Darmayasa.
Mantan Direktur Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Pemprov Bali di Bangli ini pun menekankan bahwa Opiat adalah anugerah dari Tuhan. “Terutama untuk penanganan nyeri sedang dan berat. Tapi tentu saja tetap menuntut perilaku bertanggung jawab dan sesuai indikasi untuk aplikasinya,” pungkas Bagus Darmayasa.*red
Komentar