RUU PKS Bisa 'Tabrakan' dengan RKUHP
Anggota Komisi III DPR RI dari fraksi Nasdem Taufiqulhadi berpendapat, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) jika dilanjutkan berpotensi bertabrakan dengan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sehingga akan terjadi over kriminalisasi.
JAKARTA, NusaBali
“Masalah kekerasan dan kejahatan seksual itu sudah diatur dalam RKUHP yang akan disahkan oleh Komisi III DPR RI, karenanya kalau RUU PKS itu dilanjutkan bisa tabrakan dan berpotensi over kriminalisasi. Baik bagi korban maupun pelaku,” ujar Taufiqulhadi di Kompleks Parlemen, Selasa (30/7).
Selain itu, lanjut Taufiqulhadi, apapun yang mengarah kepada kekerasan seksual semua bisa dikriminalisasi. Sedangkan RKUHP lebih pada perlindungan bagi korban maupun pelaku dari amukan massa. Oleh karenanya, yang dimaksud kekerasan seksual dalam RUU PKS itu definisinya harus jelas agar tak terjadi multitafsir.
“Jadi, wajar kalau pihak kepolisian menolak RUU PKS ini karena definisi kekerasan seksual belum clear dan pidananya sudah diatur di RKUHP. Saya harap RUU PKS tunggu RKUHP disahkan. Atau sebagian pasal-pasal RUU PKS itu bisa dimasukkan secara simultan ke dalam RKUHP sebelum disahkan,” papar Taufiqulhadi.
Sementara anggota Komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka menuturkan, yang terpenting bagaimana solusi dari korban pelecehan seksual seperti kasus Baiq Nuril itu, ada jalan keadilannya secara hukum. "Karena RUU PKS ini lahir akibat tak diatur dalam RKUHP sehingga korban sulit mencari keadilan hukum,” katanya.
Dengan kata lain, lanjut Diah, RUU PKS ini ada karena KUHP tidak mengatur sanksi pidana kekerasan dan pelecehan seksual tersebut. Apalagi pelecehan dan kejahatan seksual itu kini bisa dilakukan melalui media sosial (medsos).
“Pada prinsipnya kasus itu harus ada sanksi hukumnya. Kalau tidak, pelaku tidak akan pernah takut berbuat karena tak ada sanksi hukum pidananya. Kalaupun pasal-pasalnya masuk ke RKUHP juga tak masalah, sepanjang ada keadilan hukum bagi korban,” ucap Diah. *k22
Selain itu, lanjut Taufiqulhadi, apapun yang mengarah kepada kekerasan seksual semua bisa dikriminalisasi. Sedangkan RKUHP lebih pada perlindungan bagi korban maupun pelaku dari amukan massa. Oleh karenanya, yang dimaksud kekerasan seksual dalam RUU PKS itu definisinya harus jelas agar tak terjadi multitafsir.
“Jadi, wajar kalau pihak kepolisian menolak RUU PKS ini karena definisi kekerasan seksual belum clear dan pidananya sudah diatur di RKUHP. Saya harap RUU PKS tunggu RKUHP disahkan. Atau sebagian pasal-pasal RUU PKS itu bisa dimasukkan secara simultan ke dalam RKUHP sebelum disahkan,” papar Taufiqulhadi.
Sementara anggota Komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka menuturkan, yang terpenting bagaimana solusi dari korban pelecehan seksual seperti kasus Baiq Nuril itu, ada jalan keadilannya secara hukum. "Karena RUU PKS ini lahir akibat tak diatur dalam RKUHP sehingga korban sulit mencari keadilan hukum,” katanya.
Dengan kata lain, lanjut Diah, RUU PKS ini ada karena KUHP tidak mengatur sanksi pidana kekerasan dan pelecehan seksual tersebut. Apalagi pelecehan dan kejahatan seksual itu kini bisa dilakukan melalui media sosial (medsos).
“Pada prinsipnya kasus itu harus ada sanksi hukumnya. Kalau tidak, pelaku tidak akan pernah takut berbuat karena tak ada sanksi hukum pidananya. Kalaupun pasal-pasalnya masuk ke RKUHP juga tak masalah, sepanjang ada keadilan hukum bagi korban,” ucap Diah. *k22
Komentar