Desa Adat Cempaga Gelar Tradisi Pementasan Tari Wali
Simbol Kemenangan Dharma Melawan Adharma
SINGARAJA, NusaBali
Desa Adat Cempaga, Desa Cempaga, Kecamatan Banjar Buleleng, kembali mementaskan sejumlah Tari Wali di Pura Puseh, Redite Umanis Langkir, Minggu (4/8) bertepatan dengan Umanis Kuningan. Tradisi unik yang tak pernah absen enam bulan sekali ini merupakan perayaan kemenangan dharma melawan adharma.
Ratusan krama desa adat Cempaga pun nampak memadati Pura Puseh sejak Minggu pagi. Pementasan Tari Wali itu dilaksanakan sehari semalam penuh dan baru akan berakhir pada Soma Paing Langkir, Senin (5/8) hari ini. Menurut Bendesa Adat Cempaga, I Nyoman Dira ditemui siang kemarin, tradisi pementasan sejumlah tari wali khas Baliaga ini sudah berlangsung turun-temurun. Dirinya pun mengaku tak mengetahui pasti tahun berapa pertamakali dipentaskan.
Sejumlah penari Wali dari semua kalangan juga siap menunggu gilirannya. Tarian Wali khas Baliaga ini pun terlihat sangat sederhana. Tak hanya dari gerakan dan iringan gambelannya, tetapi juga riasan dan tata busana yang dikenakan penarinya. Pakaian dengan dasar warna putih mendominasi dan diberikan nuansa ceria dari paduan warna-warni helaian kain prada yang menempel di setiap bagian.
Gelungan yang dipakai penari baris juga sangat khas, ada ekor menjuntai di belakang gelungan dari hiasan bunga. Dalam pementasannya sehari semalam, diisi dengan Tari Baris Jangkang, Baris Jojor, Baris Dadap, Tari Pendet dan akan ditutup dengan Tari Rejang. “Kalau sumber tertulis tidak ada, kami hanya menerima cerita tetua kami atas tradisi ini merrupakan perayaan Dharma melawan Adharma yang dirayakan sehari setelah Kuningan,” jelas Bendesa Dira.
Kemenangan dharma melawan adharma pun diwujudkan dalam simbol pasukan saat berperang. Simbolis itu pun dituangkan dalam kesenian berupa Tari Baris Jangkang, yang ditarikan oleh anak yang sudah tanggal gigi. Selanjutnya pementasan dilanjutkan dengan Tari Baris Jojor dan baris Dadap simbol perwira tinggi.
“Dalam pementasan tari baris ini juga diikuti dengan taksu banyol (topeng,red) sebagai pelengkap upacara, karena banyak warga di sini yang naur sot,” imbuh Bendesa Dira.
Pementasan memasuki sore hari akan dilanjutkan dengan tari pendet. Tari Wali Satu ini boleh ditarikan oleh anak perempuan atau laki-laki. Tarian Pendet ini menyimbolkan Ida Bhatara yang berstana di Pura Puseh bersenang-senang setelah memenangkan pertempuran darma melawan adharma.
Pementasan terakhir sebagai penutup adalah Tari Rejang. Seperti Tari Rejang pada khususnya, adalah tarian menuntun Ida Bhatara-Bhatari yang berstana di pura. Seluruh rangkaian upacara ini pun disebut Dira baru akan berakhir setelah salah satu penari rejang mengalami kerauhan (trance,red). Dira juga menjelaskan jika urutan pementasan Tari Wali tak boleh berubah.
Pelaksanaan tradisi yang sudah dilaksanakan turun-temurun ini disebut tak pernah tidak dilaksanakan dan sangat pingit. Pihak desa juga disebutnya pernah mengalami kesialan saat berupaya mementaskan Tari Wali ini di luar upacara keagamaan. “Kami sudah pengalaman tiga kali mau mementaskan tarian ini di luar pura, tapi rasanya Ida tidak berkenan langsung ada angin selaung. Karena Tari Wali harus ada ritual dan upacaranya,” jelas dia. *k23
Ratusan krama desa adat Cempaga pun nampak memadati Pura Puseh sejak Minggu pagi. Pementasan Tari Wali itu dilaksanakan sehari semalam penuh dan baru akan berakhir pada Soma Paing Langkir, Senin (5/8) hari ini. Menurut Bendesa Adat Cempaga, I Nyoman Dira ditemui siang kemarin, tradisi pementasan sejumlah tari wali khas Baliaga ini sudah berlangsung turun-temurun. Dirinya pun mengaku tak mengetahui pasti tahun berapa pertamakali dipentaskan.
Sejumlah penari Wali dari semua kalangan juga siap menunggu gilirannya. Tarian Wali khas Baliaga ini pun terlihat sangat sederhana. Tak hanya dari gerakan dan iringan gambelannya, tetapi juga riasan dan tata busana yang dikenakan penarinya. Pakaian dengan dasar warna putih mendominasi dan diberikan nuansa ceria dari paduan warna-warni helaian kain prada yang menempel di setiap bagian.
Gelungan yang dipakai penari baris juga sangat khas, ada ekor menjuntai di belakang gelungan dari hiasan bunga. Dalam pementasannya sehari semalam, diisi dengan Tari Baris Jangkang, Baris Jojor, Baris Dadap, Tari Pendet dan akan ditutup dengan Tari Rejang. “Kalau sumber tertulis tidak ada, kami hanya menerima cerita tetua kami atas tradisi ini merrupakan perayaan Dharma melawan Adharma yang dirayakan sehari setelah Kuningan,” jelas Bendesa Dira.
Kemenangan dharma melawan adharma pun diwujudkan dalam simbol pasukan saat berperang. Simbolis itu pun dituangkan dalam kesenian berupa Tari Baris Jangkang, yang ditarikan oleh anak yang sudah tanggal gigi. Selanjutnya pementasan dilanjutkan dengan Tari Baris Jojor dan baris Dadap simbol perwira tinggi.
“Dalam pementasan tari baris ini juga diikuti dengan taksu banyol (topeng,red) sebagai pelengkap upacara, karena banyak warga di sini yang naur sot,” imbuh Bendesa Dira.
Pementasan memasuki sore hari akan dilanjutkan dengan tari pendet. Tari Wali Satu ini boleh ditarikan oleh anak perempuan atau laki-laki. Tarian Pendet ini menyimbolkan Ida Bhatara yang berstana di Pura Puseh bersenang-senang setelah memenangkan pertempuran darma melawan adharma.
Pementasan terakhir sebagai penutup adalah Tari Rejang. Seperti Tari Rejang pada khususnya, adalah tarian menuntun Ida Bhatara-Bhatari yang berstana di pura. Seluruh rangkaian upacara ini pun disebut Dira baru akan berakhir setelah salah satu penari rejang mengalami kerauhan (trance,red). Dira juga menjelaskan jika urutan pementasan Tari Wali tak boleh berubah.
Pelaksanaan tradisi yang sudah dilaksanakan turun-temurun ini disebut tak pernah tidak dilaksanakan dan sangat pingit. Pihak desa juga disebutnya pernah mengalami kesialan saat berupaya mementaskan Tari Wali ini di luar upacara keagamaan. “Kami sudah pengalaman tiga kali mau mementaskan tarian ini di luar pura, tapi rasanya Ida tidak berkenan langsung ada angin selaung. Karena Tari Wali harus ada ritual dan upacaranya,” jelas dia. *k23
1
Komentar