Selepas Hari Raya
Saat Galungan, spirit dharma turun ke bumi dan kembali saat Kuningan. Galungan dan Kuningan dirayakan dengan berbagai ritual dan terkesan sebagai pesta kemenangan dharma atas adharma.
Manakala menanti datangnya hari raya, perasaan suka cita menggunung. Setiap hari raya mengandung makna tersendiri. Di Bali, krama Hindu baru usai merayakan Galungan dan Kuningan. Sedangkan, masyarakat Muslim baru usai merayakan Idul Fitri. Antusiasme sangat kentara saat merayakannya dan biasanya ditingkahi dengan berbagai perilaku yang ceria dan damai. Saat Galungan, spirit dharma turun ke bumi dan kembali saat Kuningan. Galungan dan Kuningan dirayakan dengan berbagai ritual dan terkesan sebagai pesta kemenangan dharma atas adharma. Langgam pestanya amat melodramatik.
Namun selepas hari raya (after-fiesta), rasa suka cita berganti dengan berbagai suasana kelabu, keprihatinan, dan kesedihan. Duka nestapa menggeluti rasa, karena anggota keluarga ada dalam musibah. Rasa enggan untuk kembali ke tugas dan kewajiban muncul, walau masa liburan habis tenggatnya. Saat hari raya, umat berbondong ke tempat-tempat suci bersembahyang. Kala itu, kerabat saling bertemu dan bermaafan satu sama lainnya. Ritual sosial berlangsung jujur dan diskursus kultural berinteraksi otentik. Namun selepasnya, kehidupan kembali ke warna asalinya—penuh intrik, sarat muatan iri dan dengki, atau tak jenuh dengan lemak jahat kesirikan.
Selepas hari raya, ketimpangan pendapatan menampakkan warna aslinya. Ketimpangan demikian seakan tersembunyi saat hari raya. Pertumbuhan ekonomi Bali memang mengesankan. Namun, bila dikaji secara cermat, masih banyak krama Bali tertatih kesejahteraannya. Krama tamiu (baca: penduduk pendatang) semakin berjaya di berbagai ranah, sedangkan krama tuwed (baca: penduduk asli) semakin terpinggirkan. Tanah leluhur semakin menyempit atau bahkan hilang, karena tererosi oleh harga tanah yang tinggi. Para pemilik modal memiliki kenekatan untuk membeli tanah-tanah leluhur dengan harga em-em-an. Krama tuwed melayani tetamu dengan baik, ramah, dan toleran. Mereka menyediakan berbagai fasilitas kenyamanan dan kuliner yang enak-enak. Tetapi dengan sesama krama tuwed, mereka berseteru, saling mengirikan atau bahkan menafikan secara sistematis. Krama Bali sering terlibat dalam configere, saling memukul atau berkonflik. Secara sosiologis, krama Bali sering terlibat dalam usaha menyingkirkan krama sendiri. Ada istilah yang agak miris, yaitu, ‘kalau ayam bukan ras mereka akur-akur saja, tetapi kalau ayam kampung pasti saling mencederai’.
Konflik antarkrama tuwed diyakini merupakan warisan masa lalu. Di masa silam, berbagai kelompok menengarai dirinya memiliki akses istimewa terhadap kebenaran. Sehingga, kelompok yang tidak termasuk di dalamnya cenderung menuai konflik. Menurut Axel Michaels, seorang Indolog terpercaya, ayam bukan ras tidak senang mematuk temannya. Hal tersebut dikarenakan ayam bukan ras menganggap berkelompok sebagai sebuah tradisi untuk melakukan praktik-praktik asketik. Dampaknya, mereka akur-akur saja walau harus berdampingan dengan lainnya. Sedangkan, ayam kampung beranggapan bahwa individu selain dirinya adalah ancaman.
Kemungkinan hipotesis Michaels di atas berlaku pada konsepsi soroh di Bali. Soroh dimaknai sebagai paguyuban orang-orang dari garis keturunan tertentu. Mereka itu merupakan tunggal kawitan, satu garis keturunan. Pemaknaan sempit terhadap soroh adalah mereka berasal dari satu leluhur yang sama. Makna luasnya adalah mereka berasal dari Brahman. Pendapat pertama cenderung membedakan, sedangkan pandangan kedua cenderung saling menghormati sesama ciptaanNya.
Misalnya, Sri Kesari Warmadewa mempunyai keturunan bernama Airlangga. Selanjutnya, beliau melahirkan keturunan, antara lain Sirarya Kepakisan. Di Bali ada yang mengaku kawitannya Kesari Warmadewa, tetapi ada juga yang menganggap keturunan dari Arya Kepakisan. Arya Kepakisan memiliki keturunan, antara lain I Gusti Palengan diakui sebagai kawitan oleh soroh Peladung. Cicitnya yang bernama I Gusti Penyarikan Dauh Bale Agung diakui sebagai kawitan oleh soroh Arya Dauh. Contoh lainnya, Ida Dalem Sri Kresna Kepakisan tidak digunakan sebagai nama kawitan oleh keturunan beliau. Mereka memilih menggunakan nama putra-putra beliau, antara lain: Dalem Samprangan, Dalem Tarukan, dan Dalem Sagening. Demikian banyaknya ragam versi kawitan. Perbedaan dan keragaman ini potensial mengandung unsur konflik. Masih banyak sumber konflik yang laten maupun manisfes mengintip pakraman Bali.
Komentar