MUTIARA WEDA: Kaya atau Religius?
Anugerahkanlah kekayaan yang berlimpah kepada kami.
Mahas ca rayo revatas krdhi ah
(Rg Veda, X.22.15)
BANYAK orang berpandangan bahwa mereka yang tekun dalam ajaran agama lebih baik hidupnya sederhana. Kata sederhana di sini sering diterjemahkan dengan ‘miskin’. Artinya, kalau mau hidup dalam jalur religius, orang harus bersedia hidup miskin. Mereka berprinsip bahwa tidaklah mungkin kaki harus berada dalam pijakan yang saling bertentangan. Jika kaya, maka sulit menjadi religius. Begitu sebaliknya, kalau mau religius, kekayaan adalah pantangan. Diyakini bahwa kekayaan merupakan perusak keimanan yang paling efektif. Jika berada dalam jalur Tuhan maka menghindari kekayaan materi adalah kemutlakan, demikian juga jika orang berada dalam jalur materi, kehidupan religius adalah jauh panggang dari api.
Jika demikian halnya, lalu apakah teks di atas bukan termasuk teks religius? Teks di atas tercantum di dalam Rg Veda, Veda yang paling tua. Jika kekayaan bertentangan dengan kehidupan yang religius, lalu mengapa mantra di atas seperti itu? Apakah mantra di atas bukan untuk orang yang religius? Apakah Rg Veda memberikan ruang kepada mereka tidak religius juga berdoa kepada Tuhan, dan karenanya berdoa agar Tuhan menganugerahkan kekayaan? Walaupun mereka bukan tergolong religius, tetapi Rg Veda memberikan porsi juga kepadanya agar tetap bisa berdoa. Apakah seperti itu? Bagaimana dikotomi ini terjadi?
Sepertinya, proses perkembangan penganut Hindu Dharma menempuh sejarah yang sangat panjang. Ada masanya bahwa kekayaan itu menjadi bagian dari kehidupan mereka, dan ada masanya pula bahwa kekayaan materi tersebut merupakan sebuah gangguan dalam hal pendakian spiritual. Teks yang kita warisi juga bervariasi dan ditulis dalam kurun waktu yang berbeda, sehingga corak dan warna isinya bisa berbeda disesuaikan dengan kondisi di mana dan kapan teks itu ditulis. Kita yang membaca teks tersebut tentu harus bijaksana dan tidak terjebak di dalam kebingungan. Saat ini cara berpikir kita mengangkut keyakinan (keimanan) sangat dipengaruhi oleh cara-cara monotheis yang linier dengan batas-batas yang tegas dan kaku. Jika cara berpikir ini diaplikasikan di dalam membaca literatur Hindu yang beragam, tentu akan kebingungan dan bisa berkesimpulan bahwa teks-teks tersebut tidak konsisten.
Namun, keunikan teks-teks ini justru terletak pada keberagamannya itu. Karena beragam, tentu pemeluknya diajak secara terus-menerus untuk berpikir, menganalisis, mensintesis, mempertimbangkan, dan membuat kesimpulan-kesimpulan baru atas teks tersebut dan kemudian mengkontekskannya dalam kehidupan sekarang. Hal ini sangat baik karena mampu melatih kecerdasan seseorang. Kesadaran mereka akan secara terus-menerus diuji sehingga sangat terasah. Apa yang disebutkan teks mengenai kebenaran di dalamnya itu akan menjadi kenyataan dan bukti diri. Jika kesadaran ini telah mekar dan berkembang, maka hal-hal yang bertentangan di dalamnya tidak lagi bersifat merusak keyakinan, melainkan menjadi obat yang sangat efektif dalam hidup. Kecerdasan akan mampu mensintesanya secara tepat.
Seperti misalnya teks di atas, jika kita masih berpikiran bahwa kehidupan religius mesti harus meninggalkan materi, sebagaimana beberapa teks katakan, tentu teks di atas membingungkan. Tetapi, jika masalah boleh dan tidak boleh, kanan dan kiri, baik dan buruk telah harmoni, maka teks di atas bukanlah sesuatu yang bertentangan, melainkan sebuah penggambaran yang ikut meramaikan satu lukisan kosmik yang indah. Apapun ajaran itu tidak akan menjadi pertentangan, melainkan sebuah mozaik yang indah. Menjadi kaya bukan berarti harus melepaskan kehidupan religius, melainkan, ketika pemikiran holistik telah kita miliki, kekayaan tersebut tidak lagi menjadi penghalang, melainkan bisa dijadikan sebagai alat bantu untuk kehidupan religius. Oleh karena itu, yang mana pun itu, baik yang kaya maupun yang sederhana, baik yang memikirkan uang maupun memikirkan kelepasan pada prinsipnya adalah satu kesatuan dalam pikiran seseorang yang harus diberikan ruang untuk eksis. Karena eksistensinya itulah kesadaran orang akan bisa dikembangkan. Seperti konsep Purusa dan Prakrti itulah sepadanannya. Hanya ketika jiwa yang ditumbuhkan di ladang yang subur, jiwa itu semakin berkembang dan akhirnya pada titik tertentu ia akan menyadari ketunggalannya dengan Yang Tertinggi. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
BANYAK orang berpandangan bahwa mereka yang tekun dalam ajaran agama lebih baik hidupnya sederhana. Kata sederhana di sini sering diterjemahkan dengan ‘miskin’. Artinya, kalau mau hidup dalam jalur religius, orang harus bersedia hidup miskin. Mereka berprinsip bahwa tidaklah mungkin kaki harus berada dalam pijakan yang saling bertentangan. Jika kaya, maka sulit menjadi religius. Begitu sebaliknya, kalau mau religius, kekayaan adalah pantangan. Diyakini bahwa kekayaan merupakan perusak keimanan yang paling efektif. Jika berada dalam jalur Tuhan maka menghindari kekayaan materi adalah kemutlakan, demikian juga jika orang berada dalam jalur materi, kehidupan religius adalah jauh panggang dari api.
Jika demikian halnya, lalu apakah teks di atas bukan termasuk teks religius? Teks di atas tercantum di dalam Rg Veda, Veda yang paling tua. Jika kekayaan bertentangan dengan kehidupan yang religius, lalu mengapa mantra di atas seperti itu? Apakah mantra di atas bukan untuk orang yang religius? Apakah Rg Veda memberikan ruang kepada mereka tidak religius juga berdoa kepada Tuhan, dan karenanya berdoa agar Tuhan menganugerahkan kekayaan? Walaupun mereka bukan tergolong religius, tetapi Rg Veda memberikan porsi juga kepadanya agar tetap bisa berdoa. Apakah seperti itu? Bagaimana dikotomi ini terjadi?
Sepertinya, proses perkembangan penganut Hindu Dharma menempuh sejarah yang sangat panjang. Ada masanya bahwa kekayaan itu menjadi bagian dari kehidupan mereka, dan ada masanya pula bahwa kekayaan materi tersebut merupakan sebuah gangguan dalam hal pendakian spiritual. Teks yang kita warisi juga bervariasi dan ditulis dalam kurun waktu yang berbeda, sehingga corak dan warna isinya bisa berbeda disesuaikan dengan kondisi di mana dan kapan teks itu ditulis. Kita yang membaca teks tersebut tentu harus bijaksana dan tidak terjebak di dalam kebingungan. Saat ini cara berpikir kita mengangkut keyakinan (keimanan) sangat dipengaruhi oleh cara-cara monotheis yang linier dengan batas-batas yang tegas dan kaku. Jika cara berpikir ini diaplikasikan di dalam membaca literatur Hindu yang beragam, tentu akan kebingungan dan bisa berkesimpulan bahwa teks-teks tersebut tidak konsisten.
Namun, keunikan teks-teks ini justru terletak pada keberagamannya itu. Karena beragam, tentu pemeluknya diajak secara terus-menerus untuk berpikir, menganalisis, mensintesis, mempertimbangkan, dan membuat kesimpulan-kesimpulan baru atas teks tersebut dan kemudian mengkontekskannya dalam kehidupan sekarang. Hal ini sangat baik karena mampu melatih kecerdasan seseorang. Kesadaran mereka akan secara terus-menerus diuji sehingga sangat terasah. Apa yang disebutkan teks mengenai kebenaran di dalamnya itu akan menjadi kenyataan dan bukti diri. Jika kesadaran ini telah mekar dan berkembang, maka hal-hal yang bertentangan di dalamnya tidak lagi bersifat merusak keyakinan, melainkan menjadi obat yang sangat efektif dalam hidup. Kecerdasan akan mampu mensintesanya secara tepat.
Seperti misalnya teks di atas, jika kita masih berpikiran bahwa kehidupan religius mesti harus meninggalkan materi, sebagaimana beberapa teks katakan, tentu teks di atas membingungkan. Tetapi, jika masalah boleh dan tidak boleh, kanan dan kiri, baik dan buruk telah harmoni, maka teks di atas bukanlah sesuatu yang bertentangan, melainkan sebuah penggambaran yang ikut meramaikan satu lukisan kosmik yang indah. Apapun ajaran itu tidak akan menjadi pertentangan, melainkan sebuah mozaik yang indah. Menjadi kaya bukan berarti harus melepaskan kehidupan religius, melainkan, ketika pemikiran holistik telah kita miliki, kekayaan tersebut tidak lagi menjadi penghalang, melainkan bisa dijadikan sebagai alat bantu untuk kehidupan religius. Oleh karena itu, yang mana pun itu, baik yang kaya maupun yang sederhana, baik yang memikirkan uang maupun memikirkan kelepasan pada prinsipnya adalah satu kesatuan dalam pikiran seseorang yang harus diberikan ruang untuk eksis. Karena eksistensinya itulah kesadaran orang akan bisa dikembangkan. Seperti konsep Purusa dan Prakrti itulah sepadanannya. Hanya ketika jiwa yang ditumbuhkan di ladang yang subur, jiwa itu semakin berkembang dan akhirnya pada titik tertentu ia akan menyadari ketunggalannya dengan Yang Tertinggi. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar