Pertama Kali Atraksi Gebuk Seraya Libatkan 100 Penari
Tari Gebuk Seraya merupakan atraksi tradisional dari Desa Adat Seraya, yang biasa digelar untuk mengiringi ritual mohon hujan. Berdasarkan keyakinan masyarakat setempat, hujan akan turun apabila saat atraksi Gebuk Seraya mampu memercikan darah pesertanya.
Atraksi Tari Gebuk Seraya Meriahkan Peringatan HUT Kota Amlapura
AMLAPURA, NusaBali
Atraksi Tari Gebuk Seraya meriahkan puncak peringatan HUT ke-376 Kota Amlapura di Lapangan Tanah Aron Amlapura, Rabu (22/6). Berbeda dari biasanya, atraksi unik khas Desa Adat Seraya, Kecamatan Karangasem kali ini dilakukan secara massal, dengan menampilkan sekaligus 100 penari atau 50 pasangan. Mereka melakukan aksi berperang satu lawan satu, lengkap denngan senjata pecut (tongkat dari roran) dan tameng.
Seperti biasa, para penari Tari Gebuk Seraya yang semuanya laki-laki, hanya me-ngenakan kain poleng tanpa busana atas. Para penarinya dari tiga kelompok usia: remaja, pemuda, dan orang tua. Mereka didominasi para penari telah berpengalaman dari Desa Adat Seraya (mewilayahi Desa Seraya Barat, Desa Seraya Tengah, Desa Seraya Timur), seperti I Nyoman Pidada, I Wayan Wardana, I Gede Mudarsa, I Wa-yan Jaya, I Nyoman Tawan, I Nyoman Toya, I Kadek Cekek, dan I Wayan Berit.
Atraski Tari Gebuk Seraya secara massal yang ditampilkan di Lapangan Tanah Aron, Rabu kemarin, di bawah arahan Ni Nyoman Suradnyani (penata tari dari Sanggar Seni Puri Gede Karangasem) dan I Komang Nisma (penata tari dari Sanggar Seni Tri Datu, Banjar Bungkulan, Desa Seraya Barat), dengan dibantu dalang I Gede Suda.
Atraksi Tari Gebuk Seraya saat puncak peringatan HUT ke-376 Kota Amlapura kemarin hanya berdurasi selama 5 menit. Sebab, penampilannya satu paket dengan pragmentari. Sedangkan pragmentari itu sendiri berlangsung selama 15 menit, yang mengisahkan Raja Karangasem menggelar ritual khusus sehubungan terjadinya paceklik air memasuki musim kemarau. Ritual khusus untuk memohon hujan itu harus disertai atraksi Tari Gebuk Seraya.
Pantauan NusaBali, para penari Gebug Seraya berjumlah 100 orang tampil serentak berpasang-pasangan. Mereka langsung mencari posisi dan saling serang secara bergantian. Mereka saling serang menggunakan senjata tongkat, sambil melindungi diri dengan tamenag. Tidak ada yang terluka dalam atrasi perang-perangan Tari Gebug Seraya tersebut. Juga, tidak ada dendam satu sama lain akibat terkena serangan. Semua penari melakoninya dengan penuh sukacita.
Menurut penata tari dari Sanggar Seni Puri Gede Karangasem, Ni Nyoman Surad-nyani, pementasan pragmentari disertai atraksi Gebug Seraya dalam peringatan HUT Kota Amlapura kemarin sebagai bagian upaya melestarikan tarian tradisional Karangasem yang berkaitan dengan Kerajaan Karangasem. “Mengingat momennya adalah HUT Kota Amlapura, maka ditampilkan salah satu adegan kisah Kerajaan Karangasem dalam ritual mohon hujan, yang di dalamnya ada Tarian Gebug Seraya,” jelas Suradnyani kepada NusaBali.
Paparan hampir senada juga disampaikan Komang Nisma, penata tari dari Sanggar Seni Tri Datu, Desa Seraya Barat. “Tarian Gebuk Seraya selama ini dipentaskan terkait ritual untuk mohon hujan. Biasanya dipentaskan di saat musim kemarau,” papar Komang Nisma.
Menurut Komang Nisma, pementasan Tari Gebuk Seraya bukanlah saling serang hingga benar-benar mengarah ke tubuh lawan. Sebab, yang lebih ditonjolkan adalah unsur seninya. Nisma mengatakan, ini buat pertama kali atraksi Tari Gebuk Seraya digelar secara massal dengan menampilkan 100 penari sekaligus. Selama ini, paling banyak hanya menampilkan 20 penari. Sebab, pihaknya hanya punya 20 senjata pecut dan 20 tameng.
Karena kali ini momennya untuk perayaan HUT Kota Amlapura, kata Nisma, maka ditampilkan 100 penari. Walhasil, terjadi kekurangan senjata berupa 80 pecut dan 80 tameng. “Kami harus membuat lagi kekurangan 80 tameng dan 80 pecut tersebut dalam waktu sebulan. Sedangkan latihan untuk menjaga kekompakan 100 penari, dilakukan selama dua minggu,” jelas Nisma.
Tari Gebuk Seraya yang juga dikenal dengan nama Gebuk Ende merupakan tradisi budaya yang berasal dari Desa Adat Seraya, Kecamatan Karangasem. Sesuai namanya, Gebuk berarti memukul dengan sekuat tenaga menggunakan tongkat penyalin (rotan) sepanjang 1,5-2 meter. Sedangkan Ende berarti tameng yang digu-nakan untuk menangkis pukulan. Ende dalam hal ini sering disebut Seraya, sesuai desa asal tradisi tersebut.
Tari Gebuk Seraya ini mengandung unsur seni, seperti seni tari yang dipadukan de-ngan ketangkasan para penarinya memainkan tongkat atau pecut dan tameng. Saat atraksi Gebuk Seraya dilakukan, diiringi dengan gamelan untuk memacu semangat para peserta dalam memukul, menhindar, dan menangkis serangan lawan.
Tradisi Gebuk Seraya ini bukan hanya untuk memperlihatkan ketangkasan berperang, tapi ada nilai-nilai sakral yang dikeramatkan krama Desa Adat Seraya. Tarian Gebuk ini merupakan kesenian klasik yang digelar setahun sekali setiap musim kemarau, dengan tujuan untuk mengundang turunnya hujan.
Biasanya, sebelum Gebug Seraya berlangsung, lebih dulu diadakan ritual dengan banten atau sesaji, agar permohoanan terkabul. Setelah itu, pasangan pemain baik anak-anak, remaja, maupun dewasa yang mengenakan busana adat tanpa memakai baju, mulai saling serang menggunakan tongkat penyalin. Perang dipimpin oleh seorang Saya (wasit).
Berdasarkan keyakinan masyarakat setempat, hujan akan turun apabila saat atraksi Gebuk Seraya mampu memercikan darah pesertanya. Semakin banyak darah keluar, semakin cepat pula hujan turun. 7 k16
AMLAPURA, NusaBali
Atraksi Tari Gebuk Seraya meriahkan puncak peringatan HUT ke-376 Kota Amlapura di Lapangan Tanah Aron Amlapura, Rabu (22/6). Berbeda dari biasanya, atraksi unik khas Desa Adat Seraya, Kecamatan Karangasem kali ini dilakukan secara massal, dengan menampilkan sekaligus 100 penari atau 50 pasangan. Mereka melakukan aksi berperang satu lawan satu, lengkap denngan senjata pecut (tongkat dari roran) dan tameng.
Seperti biasa, para penari Tari Gebuk Seraya yang semuanya laki-laki, hanya me-ngenakan kain poleng tanpa busana atas. Para penarinya dari tiga kelompok usia: remaja, pemuda, dan orang tua. Mereka didominasi para penari telah berpengalaman dari Desa Adat Seraya (mewilayahi Desa Seraya Barat, Desa Seraya Tengah, Desa Seraya Timur), seperti I Nyoman Pidada, I Wayan Wardana, I Gede Mudarsa, I Wa-yan Jaya, I Nyoman Tawan, I Nyoman Toya, I Kadek Cekek, dan I Wayan Berit.
Atraski Tari Gebuk Seraya secara massal yang ditampilkan di Lapangan Tanah Aron, Rabu kemarin, di bawah arahan Ni Nyoman Suradnyani (penata tari dari Sanggar Seni Puri Gede Karangasem) dan I Komang Nisma (penata tari dari Sanggar Seni Tri Datu, Banjar Bungkulan, Desa Seraya Barat), dengan dibantu dalang I Gede Suda.
Atraksi Tari Gebuk Seraya saat puncak peringatan HUT ke-376 Kota Amlapura kemarin hanya berdurasi selama 5 menit. Sebab, penampilannya satu paket dengan pragmentari. Sedangkan pragmentari itu sendiri berlangsung selama 15 menit, yang mengisahkan Raja Karangasem menggelar ritual khusus sehubungan terjadinya paceklik air memasuki musim kemarau. Ritual khusus untuk memohon hujan itu harus disertai atraksi Tari Gebuk Seraya.
Pantauan NusaBali, para penari Gebug Seraya berjumlah 100 orang tampil serentak berpasang-pasangan. Mereka langsung mencari posisi dan saling serang secara bergantian. Mereka saling serang menggunakan senjata tongkat, sambil melindungi diri dengan tamenag. Tidak ada yang terluka dalam atrasi perang-perangan Tari Gebug Seraya tersebut. Juga, tidak ada dendam satu sama lain akibat terkena serangan. Semua penari melakoninya dengan penuh sukacita.
Menurut penata tari dari Sanggar Seni Puri Gede Karangasem, Ni Nyoman Surad-nyani, pementasan pragmentari disertai atraksi Gebug Seraya dalam peringatan HUT Kota Amlapura kemarin sebagai bagian upaya melestarikan tarian tradisional Karangasem yang berkaitan dengan Kerajaan Karangasem. “Mengingat momennya adalah HUT Kota Amlapura, maka ditampilkan salah satu adegan kisah Kerajaan Karangasem dalam ritual mohon hujan, yang di dalamnya ada Tarian Gebug Seraya,” jelas Suradnyani kepada NusaBali.
Paparan hampir senada juga disampaikan Komang Nisma, penata tari dari Sanggar Seni Tri Datu, Desa Seraya Barat. “Tarian Gebuk Seraya selama ini dipentaskan terkait ritual untuk mohon hujan. Biasanya dipentaskan di saat musim kemarau,” papar Komang Nisma.
Menurut Komang Nisma, pementasan Tari Gebuk Seraya bukanlah saling serang hingga benar-benar mengarah ke tubuh lawan. Sebab, yang lebih ditonjolkan adalah unsur seninya. Nisma mengatakan, ini buat pertama kali atraksi Tari Gebuk Seraya digelar secara massal dengan menampilkan 100 penari sekaligus. Selama ini, paling banyak hanya menampilkan 20 penari. Sebab, pihaknya hanya punya 20 senjata pecut dan 20 tameng.
Karena kali ini momennya untuk perayaan HUT Kota Amlapura, kata Nisma, maka ditampilkan 100 penari. Walhasil, terjadi kekurangan senjata berupa 80 pecut dan 80 tameng. “Kami harus membuat lagi kekurangan 80 tameng dan 80 pecut tersebut dalam waktu sebulan. Sedangkan latihan untuk menjaga kekompakan 100 penari, dilakukan selama dua minggu,” jelas Nisma.
Tari Gebuk Seraya yang juga dikenal dengan nama Gebuk Ende merupakan tradisi budaya yang berasal dari Desa Adat Seraya, Kecamatan Karangasem. Sesuai namanya, Gebuk berarti memukul dengan sekuat tenaga menggunakan tongkat penyalin (rotan) sepanjang 1,5-2 meter. Sedangkan Ende berarti tameng yang digu-nakan untuk menangkis pukulan. Ende dalam hal ini sering disebut Seraya, sesuai desa asal tradisi tersebut.
Tari Gebuk Seraya ini mengandung unsur seni, seperti seni tari yang dipadukan de-ngan ketangkasan para penarinya memainkan tongkat atau pecut dan tameng. Saat atraksi Gebuk Seraya dilakukan, diiringi dengan gamelan untuk memacu semangat para peserta dalam memukul, menhindar, dan menangkis serangan lawan.
Tradisi Gebuk Seraya ini bukan hanya untuk memperlihatkan ketangkasan berperang, tapi ada nilai-nilai sakral yang dikeramatkan krama Desa Adat Seraya. Tarian Gebuk ini merupakan kesenian klasik yang digelar setahun sekali setiap musim kemarau, dengan tujuan untuk mengundang turunnya hujan.
Biasanya, sebelum Gebug Seraya berlangsung, lebih dulu diadakan ritual dengan banten atau sesaji, agar permohoanan terkabul. Setelah itu, pasangan pemain baik anak-anak, remaja, maupun dewasa yang mengenakan busana adat tanpa memakai baju, mulai saling serang menggunakan tongkat penyalin. Perang dipimpin oleh seorang Saya (wasit).
Berdasarkan keyakinan masyarakat setempat, hujan akan turun apabila saat atraksi Gebuk Seraya mampu memercikan darah pesertanya. Semakin banyak darah keluar, semakin cepat pula hujan turun. 7 k16
1
Komentar