Tidak Boleh Pegang HP, Jauh dari Orang Terdekat
Dua Pekan Diklat Paskibraka Provinsi Bali
DENPASAR, NusaBali
Tidak terasa sudah hampir dua pekan calon anggota paskibraka tingkat Provinsi Bali dikarantina selama menjalani pendidikan dan pelatihan (diklat). Mereka disiapkan untuk menunaikan tugas saat HUT ke-74 RI di Lapangan Puputan Margarana, Niti Mandala Denpasar, 17 Agustus mendatang. Selama hampir dua pekan pula, para calon anggota paskirabaka menjalani latihan cukup ekstra, jauh dari jangkauan HP dan kebersamaan bersama keluarga. Seperti apa cerita dan pengalaman mereka?
NusaBali mencoba menemui beberapa anggota paskibraka usai latihan lapangan, Minggu (11/8) malam. Dua di antaranya adalah Putu Trisna Swandewi, 16, teruni asal Banjar Munggu, Desa/Kecamatan Mengwi, Badung, dan I Putu Windu Pujawan, 16, teruna asal Banjar/Desa Daup, Kintamani, Bangli. Keduanya diplot menduduki posisi strategis, yakni Trisna sebagai pembawa baki, dan Windu sebagai pengibar bendera.
Menjalani karantina sebenarnya sudah pernah dialami oleh Putu Trisna Swandewi saat ikut Porjar Bali cabang olahraga basket. Selama seminggu, memang saat itu jauh dari keluarga, namun masih diberikan kesempatan untuk bermain HP. Bagi teruni kelahiran 11 April 2003, karantina selama tiga minggu ini benar-benar tanpa HP. Meski sebagai generasi milenial yang tak bisa lepas dari HP dan teknologi, namun Trisna mengaku tidak ketergantungan berselancar di media sosial.
“Sebenarnya saya jarang-jarang main HP, tidak sampai 5 jam sehari. Memang sih ada perbedaan. Rasanya agak beda pas nggak pegang HP sudah hampir dua minggu. Tapi positifnya, bagus buat mata jadi sehat,” ujar pelajar kelas XI IPA2 di SMAN 1 Mengwi ini, sembari mengaku tidak sedang memiliki tambatan hati.
Ada beberapa kebiasaan baik yang didapatnya selama masa karantina. Pertama, Trisna jadi menjadi lebih disiplin dan tepat waktu. Kedua, dia dididik untuk selalu kompak dan menjalin kebersamaan dengan yang lain. “Biasanya saya kadang-kadang ngaret, tapi sekarang dididik tepat waktu. Sekarang makan juga teratur, dan disuruh jaga pola makan. Tidak boleh makan pedas, minum es, dan dilarang tidur terlalu malam,” tuturnya.
Disinggung mengenai latihan fisik setiap hari, menurut bungsu dari tiga bersaudara pasangan I Ketut Suparta dan Ni Luh Gede Ekawati ini pada awal-awal latihan mengaku lumayan berat menjalaninya di Lapangan Puputan Margarana, Niti Mandala Denpasar. Namun untungnya, dia sempat menjalani latihan serupa selama pelatihan di masing-masing kabupaten/kota. Sehingga fisiknya tidak kaget menerima latihan fisik seperti itu.
Pada latihan di lapangan hari ketiga, Trisna ditunjuk menjadi pembawa baki bersama dua orang lainnya. Posisi ini memang dimimpikannya sejak awal. Menurutnya, ada kebanggaan tersendiri mendapat posisi sebagus itu. “Dapat posisi bagus, ya latihannya juga lumayan lebih ekstra. Saya menyemangati diri, jangan menyerah, jalani saja,” imbuh Trisna yang bercita-cita menjadi polwan ini.
Lain lagi dengan cerita I Putu Windu Pujawan yang berhasil meraih posisi sebagai pengibar bendera. Pelajar kelas XI IPA 1 SMAN 1 Bangli ini sejak awal sudah mempersiapkan diri sebelum masuk diklat. Soal baris berbaris dan latihan fisik, baginya tidak terlalu berat. Justru yang sulit baginya adalah menyesuaikan diri dengan teman-temannya di grup paskibraka, terutama kerja tim. “Kami harus menyesuaikan segalanya. Dari kekompakan, kebersamaan, karena kami kerja satu tim. Harus bisa sehati semuanya,” tutur teruna asal Banjar/Desa Daup, Kintamani, Bangli ini.
Termasuk dia juga harus menyesuaikan komunikasi dengan teman-teman baru. Kata dia, ada beberapa perbedaan kalimat atau bahasa yang sulit dia mengerti. “Masing-masing daerah itu kan ada bahasa yang berbeda-beda. Kadang-kadang saya juga bingung kalau teman-teman menyebutkan bahasa yang berbeda dengan daerah saya. Alhasil, ada beberapa bagian yang kami harus berbicara bahasa Indonesia,” kata putra pertama dari dua bersaudara pasangan I Wayan Karmawan dan Ni Nyoman Sukasih ini.
Selama menjalani diklat yang sudah hampir dua pekan, konon cukup banyak mengubah kebiasaan buruk Windu. Bangung jadi semakin pagi, makan semakin teratur serta asupan gizinya semakin baik. Biasanya, dia hanya kadang-kadang saja sarapan. “Serta memanajemen waktu. Jadi lebih terencana dan terjadwal, karena dibiasakan seperti itu,” imbuh Windu yang bercita-cita masuk Akpol ini.
Lalu selama dua pekan hidup tanpa HP? Windu mengaku sama seperti Trisna, tidak terlalu ketergantungan dengan HP dan media sosial. Biasanya hanya digunakannya sebatas komunikasi. Sebenarnya Windu memiliki sedikit kekhawatiran, mengingat dia saat ini memiliki seseorang yang spesial, yang sudah tidak dihubunginya selama dua pekan. Meski demikian, tidak mematahkan semangatnya untuk menyelesaikan impiannya, yakni berseragam paskibraka mengibarkan bendera pusaka. “Sekarang memang masih (ada status), kalau pulangnya nanti tidak tahu,” kata Windu sambil tersenyum tipis. *ind
NusaBali mencoba menemui beberapa anggota paskibraka usai latihan lapangan, Minggu (11/8) malam. Dua di antaranya adalah Putu Trisna Swandewi, 16, teruni asal Banjar Munggu, Desa/Kecamatan Mengwi, Badung, dan I Putu Windu Pujawan, 16, teruna asal Banjar/Desa Daup, Kintamani, Bangli. Keduanya diplot menduduki posisi strategis, yakni Trisna sebagai pembawa baki, dan Windu sebagai pengibar bendera.
Menjalani karantina sebenarnya sudah pernah dialami oleh Putu Trisna Swandewi saat ikut Porjar Bali cabang olahraga basket. Selama seminggu, memang saat itu jauh dari keluarga, namun masih diberikan kesempatan untuk bermain HP. Bagi teruni kelahiran 11 April 2003, karantina selama tiga minggu ini benar-benar tanpa HP. Meski sebagai generasi milenial yang tak bisa lepas dari HP dan teknologi, namun Trisna mengaku tidak ketergantungan berselancar di media sosial.
“Sebenarnya saya jarang-jarang main HP, tidak sampai 5 jam sehari. Memang sih ada perbedaan. Rasanya agak beda pas nggak pegang HP sudah hampir dua minggu. Tapi positifnya, bagus buat mata jadi sehat,” ujar pelajar kelas XI IPA2 di SMAN 1 Mengwi ini, sembari mengaku tidak sedang memiliki tambatan hati.
Ada beberapa kebiasaan baik yang didapatnya selama masa karantina. Pertama, Trisna jadi menjadi lebih disiplin dan tepat waktu. Kedua, dia dididik untuk selalu kompak dan menjalin kebersamaan dengan yang lain. “Biasanya saya kadang-kadang ngaret, tapi sekarang dididik tepat waktu. Sekarang makan juga teratur, dan disuruh jaga pola makan. Tidak boleh makan pedas, minum es, dan dilarang tidur terlalu malam,” tuturnya.
Disinggung mengenai latihan fisik setiap hari, menurut bungsu dari tiga bersaudara pasangan I Ketut Suparta dan Ni Luh Gede Ekawati ini pada awal-awal latihan mengaku lumayan berat menjalaninya di Lapangan Puputan Margarana, Niti Mandala Denpasar. Namun untungnya, dia sempat menjalani latihan serupa selama pelatihan di masing-masing kabupaten/kota. Sehingga fisiknya tidak kaget menerima latihan fisik seperti itu.
Pada latihan di lapangan hari ketiga, Trisna ditunjuk menjadi pembawa baki bersama dua orang lainnya. Posisi ini memang dimimpikannya sejak awal. Menurutnya, ada kebanggaan tersendiri mendapat posisi sebagus itu. “Dapat posisi bagus, ya latihannya juga lumayan lebih ekstra. Saya menyemangati diri, jangan menyerah, jalani saja,” imbuh Trisna yang bercita-cita menjadi polwan ini.
Lain lagi dengan cerita I Putu Windu Pujawan yang berhasil meraih posisi sebagai pengibar bendera. Pelajar kelas XI IPA 1 SMAN 1 Bangli ini sejak awal sudah mempersiapkan diri sebelum masuk diklat. Soal baris berbaris dan latihan fisik, baginya tidak terlalu berat. Justru yang sulit baginya adalah menyesuaikan diri dengan teman-temannya di grup paskibraka, terutama kerja tim. “Kami harus menyesuaikan segalanya. Dari kekompakan, kebersamaan, karena kami kerja satu tim. Harus bisa sehati semuanya,” tutur teruna asal Banjar/Desa Daup, Kintamani, Bangli ini.
Termasuk dia juga harus menyesuaikan komunikasi dengan teman-teman baru. Kata dia, ada beberapa perbedaan kalimat atau bahasa yang sulit dia mengerti. “Masing-masing daerah itu kan ada bahasa yang berbeda-beda. Kadang-kadang saya juga bingung kalau teman-teman menyebutkan bahasa yang berbeda dengan daerah saya. Alhasil, ada beberapa bagian yang kami harus berbicara bahasa Indonesia,” kata putra pertama dari dua bersaudara pasangan I Wayan Karmawan dan Ni Nyoman Sukasih ini.
Selama menjalani diklat yang sudah hampir dua pekan, konon cukup banyak mengubah kebiasaan buruk Windu. Bangung jadi semakin pagi, makan semakin teratur serta asupan gizinya semakin baik. Biasanya, dia hanya kadang-kadang saja sarapan. “Serta memanajemen waktu. Jadi lebih terencana dan terjadwal, karena dibiasakan seperti itu,” imbuh Windu yang bercita-cita masuk Akpol ini.
Lalu selama dua pekan hidup tanpa HP? Windu mengaku sama seperti Trisna, tidak terlalu ketergantungan dengan HP dan media sosial. Biasanya hanya digunakannya sebatas komunikasi. Sebenarnya Windu memiliki sedikit kekhawatiran, mengingat dia saat ini memiliki seseorang yang spesial, yang sudah tidak dihubunginya selama dua pekan. Meski demikian, tidak mematahkan semangatnya untuk menyelesaikan impiannya, yakni berseragam paskibraka mengibarkan bendera pusaka. “Sekarang memang masih (ada status), kalau pulangnya nanti tidak tahu,” kata Windu sambil tersenyum tipis. *ind
Komentar