Joged Pingit Tanpa Pangibing
Jika biasanya joged merupakan tari pergaulan, tidak demikian dengan joged yang satu ini.
DENPASAR, NusaBali
Joged Pingit asal Desa Pakraman Penyabangan, Kecamatan Payangan, Gianyar merupakan salah satu kesenian sakral yang turut dipentaskan dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-38 di Kalangan Angsoka Taman Budaya Bali, Jumat (23/6).
Sebelum menarikan joged pingit, terlebih dahulu diawali dengan melakukan prosesi mendak gelungan joged, guna memohon restu kepada Ida Ratu Dalem Pingit. Dalam prosesi tersebut, gelung joged serta pakaian joged yang asli juga dihadirkan. Namun yang dipakai oleh penari untuk pentas adalah gelungan duplikat.
Bendesa Adat Penyabangan, I Made Witarjana menuturkan, pada awalnya kesenian joged di Desa Pakraman Penyabangan merupakan tari pergaulan sejak tahun 1960-an. Zaman itu, sekaa joged ini ngelawang dari banjar ke banjar untuk menghibur masyarakat. Namun sekitar tahun 1965, ketika ngelawang joged di Banjar Semaon, Desa Puhu, Payangan, Gianyar, kesenian joged tersebut ada yang mintonin atau ada yang menjahili secara niskala, hingga membuat penari dan semua penabuh kaku tidak mampu bergerak.
"Nah, konon dari cerita orang tua, tak lama setelah itu muncul mukjizat cahaya yang menancap di gelungan joged itu dan akhirnya penari dan penabuh bisa bergerak seperti semula. Sejak saat itu, kesenian joged menjadi kesenian yang disakralkan di desa kami," ungkapnya.
Sejumlah sarana tarian, seperti pakaian, pegelungan, termasuk alat tabuh pun langsung disakralkan. Sejak saat itu pula, setiap kali pentas, sekaa selalu melakukan prosesi mendak yang melibatkan pemangku di desa setempat. Dalam prosesi mendak, perangkat joged yang disucikan, dibawa serta dengan harapan turut memberi taksu selama pementasan berlangsung. Perangkat hanya dihadirkan. Tak pernah digunakan lagi, karena sudah usang. Sarana untuk penari joged itu kini disucikan dan disimpan di Pura Dalem Pingit, Desa Pakraman Penyabangan.
Ditambahkan koordinator pementasan, Made Darmaja, Desa Pakraman Penyabangan sampai saat ini tetap melakukan regenerasi penari terhadap kesenian joged pingit ini. Penari yang sudah remaja dan dewasa, dilibatkan dalam pementasan-pementasan yang bersifat hiburan. Sementara anak-anak yang belum menek kelih (belum menstruasi) dilibatkan ketika tari harus ditampilkan pada upacara-upacara tertentu, seperti piodalan di Pura Kahyangan Tiga desa Pakraman Penyabangan.
Darmaja mengungkapkan, meski tergolong sakral, bukan berarti joged ini tidak boleh melibatkan pangibing, hanya saja tergantung cerita yang dibawakan. Sebab, joged ini sangat berbeda dengan joged pada umumnya. Joged ini lebih mengedepankan cerita ketimbang pangibingan. "Penari boleh saja didekati pangibing, tergantung cerita yang dibawakan. Misalnya saja, cerita pepapangan itu bisa ada pangibing. Tapi kalau cerita penyalonarangan jelas tidak bisa diibingi. Meski boleh, tapi pengibing tetap harus santun. Saling menari, bukan saling mendekat. Karena joged ini lebih mengedepankan cerita, bukan pangibingan," imbuhnya. 7 i
Joged Pingit asal Desa Pakraman Penyabangan, Kecamatan Payangan, Gianyar merupakan salah satu kesenian sakral yang turut dipentaskan dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-38 di Kalangan Angsoka Taman Budaya Bali, Jumat (23/6).
Sebelum menarikan joged pingit, terlebih dahulu diawali dengan melakukan prosesi mendak gelungan joged, guna memohon restu kepada Ida Ratu Dalem Pingit. Dalam prosesi tersebut, gelung joged serta pakaian joged yang asli juga dihadirkan. Namun yang dipakai oleh penari untuk pentas adalah gelungan duplikat.
Bendesa Adat Penyabangan, I Made Witarjana menuturkan, pada awalnya kesenian joged di Desa Pakraman Penyabangan merupakan tari pergaulan sejak tahun 1960-an. Zaman itu, sekaa joged ini ngelawang dari banjar ke banjar untuk menghibur masyarakat. Namun sekitar tahun 1965, ketika ngelawang joged di Banjar Semaon, Desa Puhu, Payangan, Gianyar, kesenian joged tersebut ada yang mintonin atau ada yang menjahili secara niskala, hingga membuat penari dan semua penabuh kaku tidak mampu bergerak.
"Nah, konon dari cerita orang tua, tak lama setelah itu muncul mukjizat cahaya yang menancap di gelungan joged itu dan akhirnya penari dan penabuh bisa bergerak seperti semula. Sejak saat itu, kesenian joged menjadi kesenian yang disakralkan di desa kami," ungkapnya.
Sejumlah sarana tarian, seperti pakaian, pegelungan, termasuk alat tabuh pun langsung disakralkan. Sejak saat itu pula, setiap kali pentas, sekaa selalu melakukan prosesi mendak yang melibatkan pemangku di desa setempat. Dalam prosesi mendak, perangkat joged yang disucikan, dibawa serta dengan harapan turut memberi taksu selama pementasan berlangsung. Perangkat hanya dihadirkan. Tak pernah digunakan lagi, karena sudah usang. Sarana untuk penari joged itu kini disucikan dan disimpan di Pura Dalem Pingit, Desa Pakraman Penyabangan.
Ditambahkan koordinator pementasan, Made Darmaja, Desa Pakraman Penyabangan sampai saat ini tetap melakukan regenerasi penari terhadap kesenian joged pingit ini. Penari yang sudah remaja dan dewasa, dilibatkan dalam pementasan-pementasan yang bersifat hiburan. Sementara anak-anak yang belum menek kelih (belum menstruasi) dilibatkan ketika tari harus ditampilkan pada upacara-upacara tertentu, seperti piodalan di Pura Kahyangan Tiga desa Pakraman Penyabangan.
Darmaja mengungkapkan, meski tergolong sakral, bukan berarti joged ini tidak boleh melibatkan pangibing, hanya saja tergantung cerita yang dibawakan. Sebab, joged ini sangat berbeda dengan joged pada umumnya. Joged ini lebih mengedepankan cerita ketimbang pangibingan. "Penari boleh saja didekati pangibing, tergantung cerita yang dibawakan. Misalnya saja, cerita pepapangan itu bisa ada pangibing. Tapi kalau cerita penyalonarangan jelas tidak bisa diibingi. Meski boleh, tapi pengibing tetap harus santun. Saling menari, bukan saling mendekat. Karena joged ini lebih mengedepankan cerita, bukan pangibingan," imbuhnya. 7 i
1
Komentar