Dinas Pertanian Nilai Tujuh Penyuluh Swadaya
Dinas Pertanian Karangasem menilai 7 penyuluh pertanian swadaya untuk ditetapkan jadi tenaga penyuluh pertanian swadaya teladan 2019.
AMLAPURA, NusaBali
Penilaian ini yang ketiga kalinya sejak tahun 2017. Tujuannya memotivasi penyuluh pertanian swadaya untuk meningkatkan kinerjanya sebagai mitra kerja penyuluh pertanian PNS. Verifikasi administrasi digelar di Kantor Dinas Pertanian Karangasem, Lingkungan Jasri Kelod, Kelurahan Subagan, Kecamatan Karangasem, Jumat (23/8).
Kepala Dinas Pertanian Karangasem, I Wayan Supandi, mengatakan penyuluh pertanian swadaya memiliki keunggulan dibandingkan dengan penyuluh PNS. Sebab penyuluh pertanian swadaya hidup di tengah-tengah petani, sebagai pelaku petani, dan berusaha tani. Sehingga kalangan penyuluh pertanian swadaya lebih menjiwai tata cara mengolah lahan, bercocok tanam, dan mengomunikasikan dengan petani sekitarnya.
Di samping mengetahui perkembangan teknologi pertanian serta mengedukasi petani pentingnya mengoptimalkan penggunaan pupuk organik. “Intinya untuk memotivasi kinerja penyuluh pertanian swadaya agar lebih optimal bekerja. Selain untuk menyerap aspirasi petani,” jelasnya. Sebanyak tujuh penyuluh pertanian swadaya yang ikut lomba yakni I Ketut Budiarta dari Kecamatan Karangasem, I Nengah Sudarsana dari Kecamatan Manggis, I Nyoman Punduk dari Kecamatan Rendang, I Gusti Ngurah Suarjana dari Kecamatan Sidemen, I Ketut Semadiyasa dari Kecamatan Abang, I Wayan Suputra dari Kecamatan Selat, dan I Nyoman Rasni dari Kecamatan Bebandem.
Tim penilai juga pertanyakan pendampingan penyuluh pertanian swadaya kepada petani, dibuktikan dengan bukti fisik, banyaknya kelompok didampingi, masalah yang diinventaris selama ini, dan sebagainya. Penyuluh pertanian swadaya dari Banjar Tanah Lengis, Desa Ababi, Kecamatan Abang, I Ketut Semadiyasa mengatakan, banyak hal yang ditanyakan terkait kegiatan yang dilakukan selama ini. “Misalnya sejak kapan melakukan pendampingan, apa masalah didapatkan, apa solusi disodorkan kepada petani. Saya menjadi penyuluh pertanian swadaya sejak tahun 2012, melalui lembaga Bajatani (bangga jadi petani) sehingga belum optimal,” ungkap Ketut Semadiyasa.
Semadiyasa mengaku selama menjadi penyuluh pertanian swadaya banyak menghadapi masalah. Misalnya pola tanam yang paling mendasar, sangat kesulitan di lapangan. Mestinya tanam padi dua kali, dilanjutkan tanam palawija sehingga napas tanah terjaga. “Kenyataannya tanam padi terus menerus, itu kehendak pemilik lahan, penggarap tidak bisa menolak,” kilahnya. *k16
Kepala Dinas Pertanian Karangasem, I Wayan Supandi, mengatakan penyuluh pertanian swadaya memiliki keunggulan dibandingkan dengan penyuluh PNS. Sebab penyuluh pertanian swadaya hidup di tengah-tengah petani, sebagai pelaku petani, dan berusaha tani. Sehingga kalangan penyuluh pertanian swadaya lebih menjiwai tata cara mengolah lahan, bercocok tanam, dan mengomunikasikan dengan petani sekitarnya.
Di samping mengetahui perkembangan teknologi pertanian serta mengedukasi petani pentingnya mengoptimalkan penggunaan pupuk organik. “Intinya untuk memotivasi kinerja penyuluh pertanian swadaya agar lebih optimal bekerja. Selain untuk menyerap aspirasi petani,” jelasnya. Sebanyak tujuh penyuluh pertanian swadaya yang ikut lomba yakni I Ketut Budiarta dari Kecamatan Karangasem, I Nengah Sudarsana dari Kecamatan Manggis, I Nyoman Punduk dari Kecamatan Rendang, I Gusti Ngurah Suarjana dari Kecamatan Sidemen, I Ketut Semadiyasa dari Kecamatan Abang, I Wayan Suputra dari Kecamatan Selat, dan I Nyoman Rasni dari Kecamatan Bebandem.
Tim penilai juga pertanyakan pendampingan penyuluh pertanian swadaya kepada petani, dibuktikan dengan bukti fisik, banyaknya kelompok didampingi, masalah yang diinventaris selama ini, dan sebagainya. Penyuluh pertanian swadaya dari Banjar Tanah Lengis, Desa Ababi, Kecamatan Abang, I Ketut Semadiyasa mengatakan, banyak hal yang ditanyakan terkait kegiatan yang dilakukan selama ini. “Misalnya sejak kapan melakukan pendampingan, apa masalah didapatkan, apa solusi disodorkan kepada petani. Saya menjadi penyuluh pertanian swadaya sejak tahun 2012, melalui lembaga Bajatani (bangga jadi petani) sehingga belum optimal,” ungkap Ketut Semadiyasa.
Semadiyasa mengaku selama menjadi penyuluh pertanian swadaya banyak menghadapi masalah. Misalnya pola tanam yang paling mendasar, sangat kesulitan di lapangan. Mestinya tanam padi dua kali, dilanjutkan tanam palawija sehingga napas tanah terjaga. “Kenyataannya tanam padi terus menerus, itu kehendak pemilik lahan, penggarap tidak bisa menolak,” kilahnya. *k16
Komentar