Capim KPK Nyoman Wara Ditanya Pansel soal Audit BLBI
Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) I Nyoman Wara memastikan audit pihaknya terhadap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sudah sesuai standar dan memang ada kerugian negara.
JAKARTA, NusaBali
Hal ini dikatakannya saat ditanya oleh anggota Panitia Seleksi Calon Pimpinan (Pansel Capim) KPK Al Araf soal gugatan pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim, yang juga merupakan tersangka kasus BLBI di KPK, soal audit BPK 2017.
Diketahui BPK pada 2017 diminta oleh KPK untuk melakukan penghitungan kerugian negara kasus korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI. Salah satu Auditornya adalah I Nyoman Wara. Atas hasil auditnya itu, BPK dan Nyoman digugat perdata oleh pihak Sjamsul Nursalim.
"Betul kasus BDNI. Pertama, kalau saya melihat kita tidak bisa melarang orang menuntut. Tapi yang kita lakukan adalah bekerja sesuai standar," kata Wara dalam tes wawancara Capim KPK, di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (27/8).
Dari hasil audit Nyoman dalam kasus BLBI, terdapat kerugian negara sejumlah Rp4,53 triliun. Namun, audit BPK lainnya, yakni pada 2002 dan 2006, tidak terdapat kerugian negara atas penerbitan SKL BLBI kepada BDNI.
Nyoman menjelaskan perbedaan hasil itu didapat lantaran pada 2002 dan 2006 BPK melakukan audit kinerja. Sementara itu, pada 2017, audit yang dilakukan merupakan audit investigasi.
Ia mengaku digugat atas dugaan perbuatan melawan hukum (PMH) oleh Sjamsul Nursalim karena tidak melayangkan konfirmasi atau permintaan tanggapan kepada terperiksa. Wara menegaskan untuk mengaudit investigasi tidak perlu meminta tanggapan Sjamsul.
"Kerugian negara itu investigatif pemeriksaan. Standar pemeriksaan keuangan negara untuk pemeriksaan investigatif karena sifatnya rahasia tidak perlu minta tanggapan. Memang kami tidak minta tanggapan [untuk audit 2017]," katanya dilansir cnnindonesia.
"Untuk kerugian negara itu pemeriksaan investigatif. Standar pemeriksaan keuangan negara untuk pemeriksaan investigatif, karena sifatnya rahasia tidak perlu minta tanggapan. Memang kami tidak minta tanggapan. Selain [pemeriksaan investigatif] itu harus kami [minta] tanggapan," kata dia.
"Bukan berarti yang menentukan cukup penyidik. Kalau kurang [bukti] minta lagi, sampai pemeriksa mempunyai keyakinan cukup untuk mengambil kesimpulan ada atau tidak kerugian negara," kata dia.
Ia pun menyebut perbedaan antara audit pada 2002 dan 2006 dengan audit 2017 terjadi karena tujuannya berbeda.
"2017 dan 2006 berbeda. Jelas berbeda karena setiap audit ditentukan tujuan. Yang sekarang ditujukan untuk menghitung kerugian negara," ujarnya. *
Diketahui BPK pada 2017 diminta oleh KPK untuk melakukan penghitungan kerugian negara kasus korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI. Salah satu Auditornya adalah I Nyoman Wara. Atas hasil auditnya itu, BPK dan Nyoman digugat perdata oleh pihak Sjamsul Nursalim.
"Betul kasus BDNI. Pertama, kalau saya melihat kita tidak bisa melarang orang menuntut. Tapi yang kita lakukan adalah bekerja sesuai standar," kata Wara dalam tes wawancara Capim KPK, di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (27/8).
Dari hasil audit Nyoman dalam kasus BLBI, terdapat kerugian negara sejumlah Rp4,53 triliun. Namun, audit BPK lainnya, yakni pada 2002 dan 2006, tidak terdapat kerugian negara atas penerbitan SKL BLBI kepada BDNI.
Nyoman menjelaskan perbedaan hasil itu didapat lantaran pada 2002 dan 2006 BPK melakukan audit kinerja. Sementara itu, pada 2017, audit yang dilakukan merupakan audit investigasi.
Ia mengaku digugat atas dugaan perbuatan melawan hukum (PMH) oleh Sjamsul Nursalim karena tidak melayangkan konfirmasi atau permintaan tanggapan kepada terperiksa. Wara menegaskan untuk mengaudit investigasi tidak perlu meminta tanggapan Sjamsul.
"Kerugian negara itu investigatif pemeriksaan. Standar pemeriksaan keuangan negara untuk pemeriksaan investigatif karena sifatnya rahasia tidak perlu minta tanggapan. Memang kami tidak minta tanggapan [untuk audit 2017]," katanya dilansir cnnindonesia.
"Untuk kerugian negara itu pemeriksaan investigatif. Standar pemeriksaan keuangan negara untuk pemeriksaan investigatif, karena sifatnya rahasia tidak perlu minta tanggapan. Memang kami tidak minta tanggapan. Selain [pemeriksaan investigatif] itu harus kami [minta] tanggapan," kata dia.
"Bukan berarti yang menentukan cukup penyidik. Kalau kurang [bukti] minta lagi, sampai pemeriksa mempunyai keyakinan cukup untuk mengambil kesimpulan ada atau tidak kerugian negara," kata dia.
Ia pun menyebut perbedaan antara audit pada 2002 dan 2006 dengan audit 2017 terjadi karena tujuannya berbeda.
"2017 dan 2006 berbeda. Jelas berbeda karena setiap audit ditentukan tujuan. Yang sekarang ditujukan untuk menghitung kerugian negara," ujarnya. *
1
Komentar