MUTIARA WEDA: Menjadi seperti Dasarata
Sang Dasarata banyak memiliki tabiat mulia. Beliau menguasai Veda dan penuh bhakti ke hadapan para Dewa. Tidak pernah lupa beliau memuja leluhur, demikian juga dia penuh kasih kepada saudara-saudaranya sendiri.
Gunamanta sang Dasaratha, wruh sira ring weda bhakti ring dewa,
tarmalupeng pitra puja masih ta sira sireng swagotra kabeh.
(Kakawain Ramayana, I.3)
Secara umum, karya-karya literatur kuno biasanya menampilkan kesimpulan di depan. Beberapa bait di awal didedikasikan untuk memberikan sari pesan apa yang hendak disampaikan penulis kepada khalayak pembaca. Seperti halnya Kakawin Ramayana di atas, isinya mengandung pesan moral dan praktis kehidupan. Pesannya bisa berupa praktik spiritual, perilaku hidup, atau prinsip-prinsip kebenaran semesta. Narasi yang dituturkan secara indah di dalam keseluruhan cerita diperas ke dalam beberapa nilai inti. Teks di atas paling tidak mengandung empat nilai keteladanan yang setiap orang semestinya praktikkan.
Nilai pertama adalah wurh ring Veda, menguasai ajaran Veda. Seseorang diharapkan mampu meneladani sang Dasarata dengan jalan menumbuhkan karakter-karakter mulia ini di dalam diri. Penekun Hindu Dharma mestinya mahir dalam Veda, baik dalam kemampuan memahami kedalaman isinya maupun fasih dalam mengajarkannya. Ia harus mahir dalam praktik maupun memiliki pengalaman langsung atas apa yang diajarkan. Menguasai ajaran Veda artinya mahir dalam mendiskusikannya maupun larut dalam pengalamannya. Seorang yang menguasa Veda tidak hanya cukup dengan menghafalnya saja, melainkan lebih dari itu mampu menyatu dengan ajaran itu sendiri. Dalam tahapan yang lebih tinggi ini, apapun yang dikatakannya akan menjadi Veda itu sendiri. Inilah nilai pertama yang mesti diteladani.
Kedua, bakti ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Segenap alam semesta pada prinsipnya lahir dari Beliau. Pemahaman ini kemudian bertransformasi ke dalam bentuk bakti ke hadapan-Nya. Orang yang paham bahwa dirinya bukan apa-apa dan hanya Beliau Yang Kuasa akan secara sadar menyerahkan dirinya ke hadapan-Nya. Mengakui keagungan-Nya dan menumbuhkan rasa bakti di dalam hati mesti secara konsisten dilaksanakan. Jika tidak, kesombongan tentu akan menguasai jiwa manusia. Orang yang tidak memiliki kesadaran untuk berserah diri biasanya merasa dirinya hebat, telah melakukan ini dan itu, memiliki ini dan itu, mengidentifikasi diri sebagai ini dan itu. Semakin besar identitas dirinya, maka semakin tipis rasa berserah tersebut dan ini berujung pada hilangnya rasa bakti ke hadapan-Nya.
Ketiga, yang menjadi penekanan di sini adalah senantiasa nge-link dengan leluhur. Apa pentingnya leluhur? Bukankah para Dewa lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan leluhur? Jika sudah memuja Dewa, lalu untuk apa memuja leluhur? Satu hal yang harus diingat adalah bahwa keberadaan diri kita saat ini sebenarnya sebuah kelanjutan dari eksistensi sebelumnya. Transfer gen dari satu generasi ke generasi berikutnya yang terjalin di dalam rantai kelahiran hendaknya jangan sampai terputus dan dilupakan. Genetis yang kita warisi saat ini telah pernah lahir ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Agar orang mampu menata dirinya dengan baik pada saat hidup, menentukan keputusan yang tepat apa yang harus diambil, mencari jalan keluar atas sebuah permasalahan yang sulit terpecahkan dalam situasi pragmatis, maka menghubungkan diri dengan gen pendahulu kita menjadi amat sangat penting. Mengapa penting? Apa jadinya kita saat ini sepenuhnya disebabkan oleh pengalaman kehidupan sebelumnya. Tanpa berupaya untuk menyatukan diri dengan pendahulu itu, kita pasti akan kebingungan. Jalan yang telah dibuat di masa-masa kehidupan sebelumnya mesti disambungkan di kehidupan ini. Di sini lah mengapa memuja leluhur menjadi sangat signifikan.
Terakhir, mencintai sanak famili, saudara, tetangga, orang satu kampung, satu kota, satu provinsi, satu negara, satu bangsa, dan bahkan seluruh dunia. Menumbuhkan rasa kasih sangat penting bagi setiap orang, sebab rasa kasih inilah yang menyatukan, merekatkan antara satu dengan yang lain. Kesepian yang dirasakan akan hilang ketika disatukan dalam cinta kasih. Di mana ada cinta kasih di sana pasti ada kedamaian, dan di sana pula ada kebahagiaan. Oleh karena itu, menumbuhkan cinta kasih menjadi sangat mutlak di dalam kehidupan. Kekurangan cinta kasih akan membuat dunia ini menderita, penuh pertikaian, peperangan, dan jenis kejahatan lainnya. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Kakawain Ramayana, I.3)
Secara umum, karya-karya literatur kuno biasanya menampilkan kesimpulan di depan. Beberapa bait di awal didedikasikan untuk memberikan sari pesan apa yang hendak disampaikan penulis kepada khalayak pembaca. Seperti halnya Kakawin Ramayana di atas, isinya mengandung pesan moral dan praktis kehidupan. Pesannya bisa berupa praktik spiritual, perilaku hidup, atau prinsip-prinsip kebenaran semesta. Narasi yang dituturkan secara indah di dalam keseluruhan cerita diperas ke dalam beberapa nilai inti. Teks di atas paling tidak mengandung empat nilai keteladanan yang setiap orang semestinya praktikkan.
Nilai pertama adalah wurh ring Veda, menguasai ajaran Veda. Seseorang diharapkan mampu meneladani sang Dasarata dengan jalan menumbuhkan karakter-karakter mulia ini di dalam diri. Penekun Hindu Dharma mestinya mahir dalam Veda, baik dalam kemampuan memahami kedalaman isinya maupun fasih dalam mengajarkannya. Ia harus mahir dalam praktik maupun memiliki pengalaman langsung atas apa yang diajarkan. Menguasai ajaran Veda artinya mahir dalam mendiskusikannya maupun larut dalam pengalamannya. Seorang yang menguasa Veda tidak hanya cukup dengan menghafalnya saja, melainkan lebih dari itu mampu menyatu dengan ajaran itu sendiri. Dalam tahapan yang lebih tinggi ini, apapun yang dikatakannya akan menjadi Veda itu sendiri. Inilah nilai pertama yang mesti diteladani.
Kedua, bakti ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Segenap alam semesta pada prinsipnya lahir dari Beliau. Pemahaman ini kemudian bertransformasi ke dalam bentuk bakti ke hadapan-Nya. Orang yang paham bahwa dirinya bukan apa-apa dan hanya Beliau Yang Kuasa akan secara sadar menyerahkan dirinya ke hadapan-Nya. Mengakui keagungan-Nya dan menumbuhkan rasa bakti di dalam hati mesti secara konsisten dilaksanakan. Jika tidak, kesombongan tentu akan menguasai jiwa manusia. Orang yang tidak memiliki kesadaran untuk berserah diri biasanya merasa dirinya hebat, telah melakukan ini dan itu, memiliki ini dan itu, mengidentifikasi diri sebagai ini dan itu. Semakin besar identitas dirinya, maka semakin tipis rasa berserah tersebut dan ini berujung pada hilangnya rasa bakti ke hadapan-Nya.
Ketiga, yang menjadi penekanan di sini adalah senantiasa nge-link dengan leluhur. Apa pentingnya leluhur? Bukankah para Dewa lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan leluhur? Jika sudah memuja Dewa, lalu untuk apa memuja leluhur? Satu hal yang harus diingat adalah bahwa keberadaan diri kita saat ini sebenarnya sebuah kelanjutan dari eksistensi sebelumnya. Transfer gen dari satu generasi ke generasi berikutnya yang terjalin di dalam rantai kelahiran hendaknya jangan sampai terputus dan dilupakan. Genetis yang kita warisi saat ini telah pernah lahir ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Agar orang mampu menata dirinya dengan baik pada saat hidup, menentukan keputusan yang tepat apa yang harus diambil, mencari jalan keluar atas sebuah permasalahan yang sulit terpecahkan dalam situasi pragmatis, maka menghubungkan diri dengan gen pendahulu kita menjadi amat sangat penting. Mengapa penting? Apa jadinya kita saat ini sepenuhnya disebabkan oleh pengalaman kehidupan sebelumnya. Tanpa berupaya untuk menyatukan diri dengan pendahulu itu, kita pasti akan kebingungan. Jalan yang telah dibuat di masa-masa kehidupan sebelumnya mesti disambungkan di kehidupan ini. Di sini lah mengapa memuja leluhur menjadi sangat signifikan.
Terakhir, mencintai sanak famili, saudara, tetangga, orang satu kampung, satu kota, satu provinsi, satu negara, satu bangsa, dan bahkan seluruh dunia. Menumbuhkan rasa kasih sangat penting bagi setiap orang, sebab rasa kasih inilah yang menyatukan, merekatkan antara satu dengan yang lain. Kesepian yang dirasakan akan hilang ketika disatukan dalam cinta kasih. Di mana ada cinta kasih di sana pasti ada kedamaian, dan di sana pula ada kebahagiaan. Oleh karena itu, menumbuhkan cinta kasih menjadi sangat mutlak di dalam kehidupan. Kekurangan cinta kasih akan membuat dunia ini menderita, penuh pertikaian, peperangan, dan jenis kejahatan lainnya. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar