Bali Itu Festival
"Aku tidak mengada-ada, inilah festival kesenian terhebat di dunia, rugi kalau kalian tidak datang. Orang-orang Bali unjuk seni di situ, gratis. Kalian tinggal datang, nonton, pulang, dan so pasti puas.”
Aryantha Soethama
Pengarang
TAHUN 90-an banyak orang Bali yang menganjurkan rekan-rekannya berkunjung ke Pulau Dewata di pertengahan Juni-Juli. “Bulan-bulan itu pas digelar Pesta Kesenian Bali, sebulan penuh. Kalian akan bisa menyaksikan bermacam pentas seni di Denpasar. Tak usah pergi jauh-jauh ke pelosok desa untuk menonton orang Bali menari.” Orang-orang Bali itu juga berpromosi, “Aku tidak mengada-ada, inilah festival kesenian terhebat di dunia, rugi kalau kalian tidak datang. Orang-orang Bali unjuk seni di situ, gratis. Kalian tinggal datang, nonton, pulang, dan so pasti puas.”
Kala itu memang cuma ada satu festival seni. Sekarang sudah banyak ada festival, sampai-sampai orang Bali yang menganjurkan rekan-rekannya datang tahun 90-an itu bertanya-tanya, “Mengapa sekarang selalu, terus menerus, di mana-mana di Bali digelar festival? Mengapa festival sekarang seperti otomatis, tinggal pencet saja, dan pasti jalan dengan meriah?”
Jika orang-orang itu bertanya kepada rekannya sesama orang Bali, yang ditanya itu menjawab, “Iya ya, mengapa orang Bali kini demam festival? Mengapa festival-festival itu, yang pasti membawa-bawa identitas kebudayaan, seperti sebuah cara baru untuk unjuk gigi?”
Awal 1980-an seksolog Wimpie Pangkahila melakukan riset tentang hubungan seksual pranikah di kalangan remaja di Bali. Yang disasar siswa-siswi SMA. Hasil penelitian melalui kuisioner itu memicu kehebohan, karena tak sedikit remaja-remaja itu melakukan hubungan seks suka sama suka. Banyak gadis tidak perawan lagi.
Gubernur Bali Ida Bagus Mantra ketika itu berang, seakan-akan remaja Bali sudah dilanda dekadensi moral. Banyak yang menuding, industri pariwisatalah penyebabnya. Untuk menangkal kesan buruk itu, Mantra menyelenggarakan festival kesenian di Kuta, jantung pariwisata Bali ketika itu. Yang digelar persis seperti Pesta Kesenian Bali, ada pawai seni ketika pembukaan. Mantra ingin menunjukkan, Kuta masih asli, masih perawan, tidak diobrak-abrik dekadensi moral industri turisme. Itu satu contoh, festival bisa sebagai medan untuk unjuk gigi.
Tapi, festival seni seperti itu di Kuta cuma sekali. Namun tidak berarti Kuta sepi festival. Sejak itu ada bermacam festival di Kuta. Penyelenggaraannya tak ada kaitan dengan hilangnya keperawanan para gadis. Festival-festival itu memang atraksi untuk menyenangkan wisatawan datang ke Pantai Kuta. Dan Bali kemudian mengenal bermacam festival. Di pusat-pusat industri turisme, kini ada berpuluh festival. Di Sanur, Nusa Dua, Jimbaran, Ubud, Lovina Singaraja, bisa dengan mudah dijumpai festival untuk menarik wisatawan berkunjung. Media pekabaran, jejaring media sosial, hampir saban hari mewartakan kegiatan festival-festival itu.
Kota-kota di Bali berlomba-lomba menggelar festival, berlomba menyuguhkan atraksi yang meriah, dan selalu diupayakan untuk meraih rekor. Kota-kota di Bali menggelar festival dengan suguhan penari terbanyak. Mereka tak lagi peduli seperti apa mutu pertunjukan yang disuguhkan. Yang penting ramai, meriah, wah, meledak-ledak, penuh gembira dan tawa, dan membuat orang kagum terheran-heran. Festival-festival itu akhirnya menimbulkan kesan, betapa semua itu sesungguhnya untuk hiburan semata.
Selanjutnya...
Komentar