MUTIARA WEDA: Kerukunan, Mungkinkah?
Milikilah perhatian yang sama dan tumbuhkan saling pengertian di hati. Dengan demikian, engkau dapat mewujudkan kerukunan dan kesatuan.
Samani va akutih samana hrdayani vah,
Samanam astu vo mano yatha vah susahasati.
(Rgveda, X.191.4)
PERNYATAANNYA sederhana, tampak mudah dimengerti, dan bahkan sepertinya tidak sulit untuk dilaksanakan. Apa beratnya pernyataan di atas? Bahkan dalam keseharian pun kita terbiasa mengucapkan dan mendengarnya, baik dalam pergaulan maupun dalam forum-forum resmi. Sudah sangat tidak asing dan bahkan latah kata-kata ‘mari kita memiliki perhatian yang sama dan saling pengertian’ diucapkan oleh siapapun, bahkan oleh mereka yang tidak pernah memiliki rasa saling pengertian. Dalam memecahkan setiap konflik atau keributan, kalimat perintah tersebut senantiasa terdengar. Bahkan, diskusi yang berhubungan dengan menjaga keutuhan, persatuan, dan kesatuan NKRI, hal ini sudah biasa terdengar.
Tetapi, pernyataan sederhana tersebut ternyata tidak mudah untuk dilaksanakan. ‘Memiliki perhatian yang sama dan saling mengerti’ tersebut kenyataannya sulit diaktualisasikan. Suasana di lingkungan masyarakat bisa kondusif bukan disebabkan oleh hal itu, tetapi lebih pada rasa ketidakpedulian kita. Suasana tampak tenang oleh karena masing-masing orang saling tidak peduli dengan kondisi lingkungannya. Ataupun kalau mereka peduli, itu hanyalah sebatas untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, seperti ingin berteman, ingin agar terhindar dari rasa kesepian, peduli oleh karena diperintah oleh atasan atau sistem, dan sejenisnya. Suasana hati yang saling mengerti dan mampu menunjukkan perhatian yang sama itu sangat sulit.
Penyebab utamanya adalah, setiap orang di dalam masyarakat telah memasang dirinya. Mereka telah memiliki kaca mata tertentu. Apa yang dilihat atau diperhatikan mesti menyesuaikan dengan dirinya. Rasa suka dan tidak suka, senang atau tidak senang pada seseorang atau sebuah situasi tergantung dari format dirinya. Pandangannya tentu telah ditutupi oleh format tersebut. Artinya, seseorang ingin melihat orang lain sesuai dengan konsep dirinya. Seseorang menilai orang lain bersumber dari kaca mata dirinya. Sebagian besar orang melihat objek lain tidak apa adanya, melainkan telah diselimuti oleh konsep pemikirannya sendiri, sehingga objek lain yang dilihatnya tidak telanjang lagi, tidak apa adanya. Objek tesebut telah terbalut, tidak utuh.
Inilah mengapa susah memiliki hati saling pengertian dan perhatian yang sama. Bagaimana mungkin perhatian bisa sama sementara kacamata yang digunakan berbeda-beda. Bagaimana mungkin ada saling pengertian jika orang telah membawa konsepnya masing-masing. Ketika memandang orang lain, mau tidak mau kita telah memaksakan konsep itu kepada orang lain. Sehingga, dari konsep yang kita paksakan itulah, kemudian muncul persepsi pribadi terhadap objek tersebut. Jika masing-masing orang seperti itu, ‘perhatian yang sama’ tidak mungkin bisa terjadi. Jika perhatian yang sama tidak terjadi, saling pengertian jauh panggang dari api, maka harapan untuk hadirnya kesatuan dan kerukunan semakin kecil. Atas dasar inilah mengapa akhirnya, dalam lingkup keluarga orang sering tidak rukun, dalam lingkup banjar sering ribut, dalam lingkup desa sering terjadi bentrok, dan bahkan dalam lingkup bangsa dan negara, persatuan dan kesatuan senantiasa mendapat tantangan, bahkan bila negara kurang sigap bertindak, NKRI bisa ‘tinggal kenangan’.
(Rgveda, X.191.4)
PERNYATAANNYA sederhana, tampak mudah dimengerti, dan bahkan sepertinya tidak sulit untuk dilaksanakan. Apa beratnya pernyataan di atas? Bahkan dalam keseharian pun kita terbiasa mengucapkan dan mendengarnya, baik dalam pergaulan maupun dalam forum-forum resmi. Sudah sangat tidak asing dan bahkan latah kata-kata ‘mari kita memiliki perhatian yang sama dan saling pengertian’ diucapkan oleh siapapun, bahkan oleh mereka yang tidak pernah memiliki rasa saling pengertian. Dalam memecahkan setiap konflik atau keributan, kalimat perintah tersebut senantiasa terdengar. Bahkan, diskusi yang berhubungan dengan menjaga keutuhan, persatuan, dan kesatuan NKRI, hal ini sudah biasa terdengar.
Tetapi, pernyataan sederhana tersebut ternyata tidak mudah untuk dilaksanakan. ‘Memiliki perhatian yang sama dan saling mengerti’ tersebut kenyataannya sulit diaktualisasikan. Suasana di lingkungan masyarakat bisa kondusif bukan disebabkan oleh hal itu, tetapi lebih pada rasa ketidakpedulian kita. Suasana tampak tenang oleh karena masing-masing orang saling tidak peduli dengan kondisi lingkungannya. Ataupun kalau mereka peduli, itu hanyalah sebatas untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, seperti ingin berteman, ingin agar terhindar dari rasa kesepian, peduli oleh karena diperintah oleh atasan atau sistem, dan sejenisnya. Suasana hati yang saling mengerti dan mampu menunjukkan perhatian yang sama itu sangat sulit.
Penyebab utamanya adalah, setiap orang di dalam masyarakat telah memasang dirinya. Mereka telah memiliki kaca mata tertentu. Apa yang dilihat atau diperhatikan mesti menyesuaikan dengan dirinya. Rasa suka dan tidak suka, senang atau tidak senang pada seseorang atau sebuah situasi tergantung dari format dirinya. Pandangannya tentu telah ditutupi oleh format tersebut. Artinya, seseorang ingin melihat orang lain sesuai dengan konsep dirinya. Seseorang menilai orang lain bersumber dari kaca mata dirinya. Sebagian besar orang melihat objek lain tidak apa adanya, melainkan telah diselimuti oleh konsep pemikirannya sendiri, sehingga objek lain yang dilihatnya tidak telanjang lagi, tidak apa adanya. Objek tesebut telah terbalut, tidak utuh.
Inilah mengapa susah memiliki hati saling pengertian dan perhatian yang sama. Bagaimana mungkin perhatian bisa sama sementara kacamata yang digunakan berbeda-beda. Bagaimana mungkin ada saling pengertian jika orang telah membawa konsepnya masing-masing. Ketika memandang orang lain, mau tidak mau kita telah memaksakan konsep itu kepada orang lain. Sehingga, dari konsep yang kita paksakan itulah, kemudian muncul persepsi pribadi terhadap objek tersebut. Jika masing-masing orang seperti itu, ‘perhatian yang sama’ tidak mungkin bisa terjadi. Jika perhatian yang sama tidak terjadi, saling pengertian jauh panggang dari api, maka harapan untuk hadirnya kesatuan dan kerukunan semakin kecil. Atas dasar inilah mengapa akhirnya, dalam lingkup keluarga orang sering tidak rukun, dalam lingkup banjar sering ribut, dalam lingkup desa sering terjadi bentrok, dan bahkan dalam lingkup bangsa dan negara, persatuan dan kesatuan senantiasa mendapat tantangan, bahkan bila negara kurang sigap bertindak, NKRI bisa ‘tinggal kenangan’.
Apa yang bisa dilakukan? Satu-satunya cara hanyalah dengan jalan melepaskan kacamatanya masing-masing dan kemudian melihat segala sesuatunya secara apa adanya. Hanya dengan cara ini saling pengertian dan perhatian yang sama bisa terjadi, dan konsekuensinya, kerukunan dan persatuan terwujud. Bagaimana caranya melepaskan kacamata konsep diri tersebut yang memang telah melekat sedemikain lamanya? Terkadang, kita tidak pernah menyadari kacamata tersebut ada dan kita gunakan untuk memandang segala sesuatunya. Hal yang bisa dikembangkan di dalam diri adalah menjadi mature (dewasa). Hanya dengan kedewasaan, kesadaran orang mengalami perluasan. Hanya ketika kesadaran luas, konsep diri tidak lagi membebani. Orang dengan kesadaran semesta akan mampu melihat secara apa adanya. Hanya ego yang telah bersihlah yang mampu melenyapkan konsep tersebut di dalam diri. Oleh karena itu, hal terpenting dari kita adalah menjadi dewasa, dan kemudian semuanya akan terjadi seperti yang dinyatakan. 7
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar