Lawan Dakwaan, Sudikerta Minta Bebas
Berdasar dakwaan jaksa, korban Alim Markus tak bisa menguasai tanah yang dibeli dari terdakwa Sudikerta setelah bayar hampir Rp 150 miliar
DENPASAR, NusaBali
Mantan Wakil Gubernur Bali (2013-2018), I Ketut Sudikerta, 52, menjalani sidang perdana selaku terdakwa dugaan penipuan jual beli tanah, menggunakan surat palsu, dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) senilai Rp 150 miliar di PN Denpasar, Kamis (12/9). Terdakwa Sudikerta yang dijerat dengan dakwaan komulatif, langsung ‘melawan’ dan minta dibebaskan dari semua tuntutan hukum.
Sidang perdana yang digelar selama 1,5 jam, Kamis kemarin, dimulai siang pukul 14.30 Wita hingga sore pukul 16.00 Wita. Selain Ketut Sudikerta, dua terdakwa lainnya dalam kasus ini, I Wayan Wakil, 55, dan AA Ngurah Agung, 68, juga disidangkan pada hari yang sama, dengan majelis hakim yang sama pula: Esthar Oktavi (ketua), Kony Hartanto (anggota), dan Heriyanti (anggota).
Untuk dakwaan Sudikerta, surat dakwaan setebal 25 halaman dibacakan bergantian oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Ketut Sujaya dan Eddy Arta Wijaya. Dalam dakwaan kesatu, terdakwa Sudikerta dijerat pasal tindak pidana penipuan yakni Pasal 378 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, melakukan tindak pidana penggelapan Pasal 372 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan melakukan tindak pidana menggunakan surat palsu Pasal 263 ayat (2) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara dalam dakwaan kedua, terdakwa Sudikerta dijerat Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Dalam dakwaan JPU, terungkap kasus ini bermula Mei 2011 ketika terdakwa Ketut Sudikerta (yang saat itu menjabat Wakil Bupati Badung, Red) bersama AA Ngurah Agung dan I Wayan Wakil melakukan proses penggantian Sertifikat Hak Milik seluas 38.629 meter persegi atas nama Pura Luhur/Jurit Uluwatu Pecatu. "Permohonan penggantian itu dilakukan oleh Ida Ayu Massukerti bersama AA Ngurah Agung, untuk melakukan penggantian sertifikat tanah seluas 38.650 meter persegi yang terletak di Kelurahan Jimbaran atas nama Pura Luhur/Jurit Uluwatu Pecatu, di atas materai 6.000," jelas JPU.
Disebutkan, terdakwa Sudikerta bersama dua terdakwa lainnya, Ngurah Agung dan Wayan Wakil, melakukan penggantian SHM karena mengetahui bahwa SHM yang asli tersimpan di Notaris Ni Nyoman Sudjarni, dititipkan pada Agustus 2000 sesuai kesepakatan I Gede Made Subakat, AA Ngurah Gede Agung (almarhum), dan I Made Rame (ayah terdakwa Wayan Wakil), dengan tujuan sertifikat itu diamankan agar tidak bisa diambil sepihak.
"Proses penggantian sertifikat dilakukan para terdakwa untuk mendapat keuntungan, dengan tujuan akan menjual tanah sehingga mereka melakukan penggantian sertifikat tanpa sepengetahuan I Gede Made Subakat, sebagai pihak yang berkepentingan," papar JPU.
Selanjutnya, pada Januari 2013, saksi korban Alim Markus (bos PT Maspion) bersama I Wayan Santosa menemui terdakwa Ketut Sudikerta yang saat itu masih menjabat Wakil Bupati Badung. Saat itu, korban Alim Markus menyampaikan keinginannya untuk berinvestasi di Bali dan terdakwa Sudikerta menyatakan ada tanah seluas 38.650 meter pesregi milik Pura Luhur/Jurit Uluwatu dan 3.300 meter persegi milik I Wayan Wakil di Pantai Balangan, Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Badung. Terdakwa Sudikerta menawarkan kepada korban untuk berinvestasi.
Selanjutnya, pertemuan dilakukan sebanyak enam kali di tempat yang berbeda. Pada pertemuan bulan Agustus 2013 di Kantor PT Maspion Surabaya, terdakwa Sudikerta bertemu dengan Alim Markus, I Wayan Wakil, Gunawan Priambodo, Sugiarto, Henry Kaunang, dan I Wayan Santosa untuk membicarakan perihal kesepakatan harga tanah di Pantai Balangan, senilai 6,5 juta per meter persegi.
"Terdakwa Ketut Sudikerta dan I Wayan Wakil meyakinkan saksi korban dengan berulangkali menyampaikan bahwa tanah yang berlokasi di Jimbaran adalah miliknya dan di atas lahan itu bisa dibangun hotel serta vila," tadas JPU Ketut Sujaya.
Kemudian, pada Desember 2013 dibuat Akta Perjanjian No 37 dan Akta Pendirian PT Marindo Gemilang Nomor 38. Dalam Akta Pendirian PT Marindo Gemilang, disepakati kepemilikan saham yaitu korban Alim Markus sebesar 55 persen atau sekitar Rp149.971.250.000, sementara kepemilikan saham PT Pecatu Bangun Gemilang milik terdakwa Sudikerta sebesar 45 persen atau Rp 122.703.750.000.
Sementara, bertempat di Notaris Ketut Neli Asih, terdakwa Sudikerta melakukan pelepasan hak atas dua bidang tanah itu. Lalu, tanah seluas 38.650 meter persegi dilepaskannya hak Anak Agung Ngurah Agung selaku kuasa dari Pengempon Pura Luhur Uluwatu Juri, Puri Jambe Celagi Gendong dan tanah seluas 3.300 meter persegi oleh I Wayan Wakil.
Setelah dilakukan pelepasan hak atas kedua bidang tanah, kata JPU, korban Alim Markus melakukan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. Pembayaran pertama sebesar Rp 59.998.000.000, sementara pembayaran kedua sebesar Rp 89.982.750.000 yang ditransfer ke rekening PT Pecatu Bangun Gemilang.
Kemudian, pada Oktober 2014, korban Alim Markus baru mengetahui adanya pemblokiran sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Desa Jimbaran tercatat atas nama PT Marindo Gemilang. "Bahwa terhadap objek tanah dengan sertifikat Hak Guna Bangunan Desa Jimbaran tercatat atas nama PT Marindo Gemilang, secara fisik tidak dapat dikuasai oleh saksi korban Alim Markus untuk membangun hotel dan vila sesuai dengan janji terdakwa Ketut Sudikerta," papar JPU.
Korban Alim Markus sendiri sebelumnya sempat meminta kepada terdakwa Sudikerta dan I Wayan Wakil mengosongkan tanah di Pantai Balangan itu. Namun, Wayan Wakil tidak mau mengosongkan tanah tersebut. "Alasannya, tanah itu dihuni oleh Wayan Wakil selaku pemiliknya, sementara uang yang diberikan terdakwa Ketut Sudikerta tidak sesuai, hingga kemudian saksi Sugiharto dan Eska Kanasut memasang plang bahwa objek tanah itu milik PT Marindo Gemilang. Tapi, plang itu kemudian dicabut oleh Wayan Wakil," katanya.
Kemudian, korban Alim Markus meminta pertanggungjawaban dan beberapa kali melakukan pertemuan dengan terdakwa Ketut Sudikerta, Wayan Wakil, dan AA Ngurah Agung untuk penyelesaian masalah. Selain itu, korban juga meminta uangnya dikembalikan, tapi selalu gagal.
Karena merasa dibohongi dan ditipu, akhirnya korban Alim Markus melaporkan kasus ini ke Polda Bali. Akibat perbuatan, terdakwa Ketut Sudikerta, Wayan Wakil dan AA Ngurah Agung menyebabkan korban Alim Markus mengalami kerugian sebesar Rp 149.971.250.000 atau hampir Rp 150 miliar.
Sementara itu, terdakwa Ketut Sudikerta melalui tim kuasa hukumnya yang dikomando Nyoman Darmada, langsung melakukan perlawanan atas dakwaan JPU. Terdakwa langsung megajukan eksepsi (keberatan atas dakwaan) di sidang kemarin sore. Dalam eksepsinya, terdakwa Sudikerta menganggap dakwaan JPU error inpersona dan tidak cukup bukti. Selain itu, tindak pidana yang didakwakan mengandung sengketa perdata dan uraian surat dakwaan tidak cermat serta tidak lengkap.
Berdasarkan uraian tersebut, kuasa hukum Sudikerta memohon kepada majelis hakim untuk menerima eksepsi dan menyatakan seluruh dakwaan JPU batal demi hukum. “Menyatakan terdakwa I Ketut Sudikerta demi hukum lepas dari segala tuntutan hukum dan merehabilitasi nama baiknya,” tegas Nyoman Darmada cs.
Sidang lanjutan terdakwa Ketut Sudikerta politisi asal Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Badung yang mantan Ketua DPD I Golkar Bali 2010-2018--akan digelar di PN Denpasar, Kamis pekan depan, dengan agenda mendengarkan tanggapan eksepsi dari Tim JPU Kejari Denpasar. *rez
Sidang perdana yang digelar selama 1,5 jam, Kamis kemarin, dimulai siang pukul 14.30 Wita hingga sore pukul 16.00 Wita. Selain Ketut Sudikerta, dua terdakwa lainnya dalam kasus ini, I Wayan Wakil, 55, dan AA Ngurah Agung, 68, juga disidangkan pada hari yang sama, dengan majelis hakim yang sama pula: Esthar Oktavi (ketua), Kony Hartanto (anggota), dan Heriyanti (anggota).
Untuk dakwaan Sudikerta, surat dakwaan setebal 25 halaman dibacakan bergantian oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Ketut Sujaya dan Eddy Arta Wijaya. Dalam dakwaan kesatu, terdakwa Sudikerta dijerat pasal tindak pidana penipuan yakni Pasal 378 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, melakukan tindak pidana penggelapan Pasal 372 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan melakukan tindak pidana menggunakan surat palsu Pasal 263 ayat (2) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara dalam dakwaan kedua, terdakwa Sudikerta dijerat Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Dalam dakwaan JPU, terungkap kasus ini bermula Mei 2011 ketika terdakwa Ketut Sudikerta (yang saat itu menjabat Wakil Bupati Badung, Red) bersama AA Ngurah Agung dan I Wayan Wakil melakukan proses penggantian Sertifikat Hak Milik seluas 38.629 meter persegi atas nama Pura Luhur/Jurit Uluwatu Pecatu. "Permohonan penggantian itu dilakukan oleh Ida Ayu Massukerti bersama AA Ngurah Agung, untuk melakukan penggantian sertifikat tanah seluas 38.650 meter persegi yang terletak di Kelurahan Jimbaran atas nama Pura Luhur/Jurit Uluwatu Pecatu, di atas materai 6.000," jelas JPU.
Disebutkan, terdakwa Sudikerta bersama dua terdakwa lainnya, Ngurah Agung dan Wayan Wakil, melakukan penggantian SHM karena mengetahui bahwa SHM yang asli tersimpan di Notaris Ni Nyoman Sudjarni, dititipkan pada Agustus 2000 sesuai kesepakatan I Gede Made Subakat, AA Ngurah Gede Agung (almarhum), dan I Made Rame (ayah terdakwa Wayan Wakil), dengan tujuan sertifikat itu diamankan agar tidak bisa diambil sepihak.
"Proses penggantian sertifikat dilakukan para terdakwa untuk mendapat keuntungan, dengan tujuan akan menjual tanah sehingga mereka melakukan penggantian sertifikat tanpa sepengetahuan I Gede Made Subakat, sebagai pihak yang berkepentingan," papar JPU.
Selanjutnya, pada Januari 2013, saksi korban Alim Markus (bos PT Maspion) bersama I Wayan Santosa menemui terdakwa Ketut Sudikerta yang saat itu masih menjabat Wakil Bupati Badung. Saat itu, korban Alim Markus menyampaikan keinginannya untuk berinvestasi di Bali dan terdakwa Sudikerta menyatakan ada tanah seluas 38.650 meter pesregi milik Pura Luhur/Jurit Uluwatu dan 3.300 meter persegi milik I Wayan Wakil di Pantai Balangan, Kelurahan Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Badung. Terdakwa Sudikerta menawarkan kepada korban untuk berinvestasi.
Selanjutnya, pertemuan dilakukan sebanyak enam kali di tempat yang berbeda. Pada pertemuan bulan Agustus 2013 di Kantor PT Maspion Surabaya, terdakwa Sudikerta bertemu dengan Alim Markus, I Wayan Wakil, Gunawan Priambodo, Sugiarto, Henry Kaunang, dan I Wayan Santosa untuk membicarakan perihal kesepakatan harga tanah di Pantai Balangan, senilai 6,5 juta per meter persegi.
"Terdakwa Ketut Sudikerta dan I Wayan Wakil meyakinkan saksi korban dengan berulangkali menyampaikan bahwa tanah yang berlokasi di Jimbaran adalah miliknya dan di atas lahan itu bisa dibangun hotel serta vila," tadas JPU Ketut Sujaya.
Kemudian, pada Desember 2013 dibuat Akta Perjanjian No 37 dan Akta Pendirian PT Marindo Gemilang Nomor 38. Dalam Akta Pendirian PT Marindo Gemilang, disepakati kepemilikan saham yaitu korban Alim Markus sebesar 55 persen atau sekitar Rp149.971.250.000, sementara kepemilikan saham PT Pecatu Bangun Gemilang milik terdakwa Sudikerta sebesar 45 persen atau Rp 122.703.750.000.
Sementara, bertempat di Notaris Ketut Neli Asih, terdakwa Sudikerta melakukan pelepasan hak atas dua bidang tanah itu. Lalu, tanah seluas 38.650 meter persegi dilepaskannya hak Anak Agung Ngurah Agung selaku kuasa dari Pengempon Pura Luhur Uluwatu Juri, Puri Jambe Celagi Gendong dan tanah seluas 3.300 meter persegi oleh I Wayan Wakil.
Setelah dilakukan pelepasan hak atas kedua bidang tanah, kata JPU, korban Alim Markus melakukan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. Pembayaran pertama sebesar Rp 59.998.000.000, sementara pembayaran kedua sebesar Rp 89.982.750.000 yang ditransfer ke rekening PT Pecatu Bangun Gemilang.
Kemudian, pada Oktober 2014, korban Alim Markus baru mengetahui adanya pemblokiran sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Desa Jimbaran tercatat atas nama PT Marindo Gemilang. "Bahwa terhadap objek tanah dengan sertifikat Hak Guna Bangunan Desa Jimbaran tercatat atas nama PT Marindo Gemilang, secara fisik tidak dapat dikuasai oleh saksi korban Alim Markus untuk membangun hotel dan vila sesuai dengan janji terdakwa Ketut Sudikerta," papar JPU.
Korban Alim Markus sendiri sebelumnya sempat meminta kepada terdakwa Sudikerta dan I Wayan Wakil mengosongkan tanah di Pantai Balangan itu. Namun, Wayan Wakil tidak mau mengosongkan tanah tersebut. "Alasannya, tanah itu dihuni oleh Wayan Wakil selaku pemiliknya, sementara uang yang diberikan terdakwa Ketut Sudikerta tidak sesuai, hingga kemudian saksi Sugiharto dan Eska Kanasut memasang plang bahwa objek tanah itu milik PT Marindo Gemilang. Tapi, plang itu kemudian dicabut oleh Wayan Wakil," katanya.
Kemudian, korban Alim Markus meminta pertanggungjawaban dan beberapa kali melakukan pertemuan dengan terdakwa Ketut Sudikerta, Wayan Wakil, dan AA Ngurah Agung untuk penyelesaian masalah. Selain itu, korban juga meminta uangnya dikembalikan, tapi selalu gagal.
Karena merasa dibohongi dan ditipu, akhirnya korban Alim Markus melaporkan kasus ini ke Polda Bali. Akibat perbuatan, terdakwa Ketut Sudikerta, Wayan Wakil dan AA Ngurah Agung menyebabkan korban Alim Markus mengalami kerugian sebesar Rp 149.971.250.000 atau hampir Rp 150 miliar.
Sementara itu, terdakwa Ketut Sudikerta melalui tim kuasa hukumnya yang dikomando Nyoman Darmada, langsung melakukan perlawanan atas dakwaan JPU. Terdakwa langsung megajukan eksepsi (keberatan atas dakwaan) di sidang kemarin sore. Dalam eksepsinya, terdakwa Sudikerta menganggap dakwaan JPU error inpersona dan tidak cukup bukti. Selain itu, tindak pidana yang didakwakan mengandung sengketa perdata dan uraian surat dakwaan tidak cermat serta tidak lengkap.
Berdasarkan uraian tersebut, kuasa hukum Sudikerta memohon kepada majelis hakim untuk menerima eksepsi dan menyatakan seluruh dakwaan JPU batal demi hukum. “Menyatakan terdakwa I Ketut Sudikerta demi hukum lepas dari segala tuntutan hukum dan merehabilitasi nama baiknya,” tegas Nyoman Darmada cs.
Sidang lanjutan terdakwa Ketut Sudikerta politisi asal Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan, Badung yang mantan Ketua DPD I Golkar Bali 2010-2018--akan digelar di PN Denpasar, Kamis pekan depan, dengan agenda mendengarkan tanggapan eksepsi dari Tim JPU Kejari Denpasar. *rez
Komentar