Melanggar Etik Diputuskan Kolektif Kolegial
Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Haryono Umar menegaskan jika dalam memutuskan seseorang melanggar etik, menjadi tersangka dan atau kasusnya dilanjutkan dalam kasus korupsi itu harus diputuskan secara kolektif kolegial.
JAKARTA, NusaBali
Tak bisa diputus oleh satu, dua, tiga, empat orang, melainkan kelima pimpinan harus kompak. “Jadi, satu pun pimpinan KPK yang menolak, maka kasus itu tak bisa dilanjutkan untuk digelar perkaranya. Itu sudah diatur dalam UU No.30 tahun 2002 tentang KPK,” ujar Haryono Umar di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Kamis (12/9).
Masalah etik sendiri mencuat setelah salah satu capim KPK Firli Bahuri dianggap melakukan pelanggaran etik. Bahkan menjadi pertanyaan bagi anggota Komisi III DPR RI kepada incumbent Alexander Marwata menjalani uji kelayakan dan kepatutan. Alexander mengatakan, tiga pimpinan KPK lainnya termasuk dia tidak mengetahui itu.
Oleh karena itu, menurut Haryono, pimpinan KPK harus figur yang kompeten dan memaham hukum sejak menerima Dumas (pengaduan masyarakat), pengumpulan bukti-bukti, keterangan, saksi, beracara dan sebagainya. Dengan begitu, maka akan mampu mengendalikan dan mengarahkan apa yang akan dilakukan oleh pegawai KPK.
Apalagi, kata Haryono, kasus yang diungkap banyak yang sudah diatas lima tahun. “Jadi, menetapkan kasus itu harus sesuai standar operasional (SOP) yang ditetapkan UU. Setiap tahapan kasus itu pun selalu ada gelar perkara. Tak bisa keluar dari aturan,” ujarnya.
Haryono berharap Komisi III DPR bisa memilih 5 pimpinan KPK yang terbaik dari 10 yang mengikuti uji kelayakan dan kepatutan sekarang ini. “Siapapun yang terpilih selama memenuhi prosedur dan aturan yang ada, maka harus diterima oleh KPK. KPK itu hanya pelaksana UU,” jelasnya.
Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu menilai apa yang terjadi kepada Irjen Firli tersebut sama halnya saat uji kelayakan dan kepatutan terhadap Jenderal (Pol) Budi Gunawan untuk menjadi Kapolri pada 2015 silam. Khusus kasus Irjen Firli ini terjadi pada Mei 2018.
“Kenapa sekarang? Kalau begini KPK akan menjadi Komisi Penghambat Karir dan Wadah Pegawai KPK bukan lagi wadah pegawai, tapi wadah politik pegawai,” ucap politisi dari fraksi PDIP ini. *k22
Masalah etik sendiri mencuat setelah salah satu capim KPK Firli Bahuri dianggap melakukan pelanggaran etik. Bahkan menjadi pertanyaan bagi anggota Komisi III DPR RI kepada incumbent Alexander Marwata menjalani uji kelayakan dan kepatutan. Alexander mengatakan, tiga pimpinan KPK lainnya termasuk dia tidak mengetahui itu.
Oleh karena itu, menurut Haryono, pimpinan KPK harus figur yang kompeten dan memaham hukum sejak menerima Dumas (pengaduan masyarakat), pengumpulan bukti-bukti, keterangan, saksi, beracara dan sebagainya. Dengan begitu, maka akan mampu mengendalikan dan mengarahkan apa yang akan dilakukan oleh pegawai KPK.
Apalagi, kata Haryono, kasus yang diungkap banyak yang sudah diatas lima tahun. “Jadi, menetapkan kasus itu harus sesuai standar operasional (SOP) yang ditetapkan UU. Setiap tahapan kasus itu pun selalu ada gelar perkara. Tak bisa keluar dari aturan,” ujarnya.
Haryono berharap Komisi III DPR bisa memilih 5 pimpinan KPK yang terbaik dari 10 yang mengikuti uji kelayakan dan kepatutan sekarang ini. “Siapapun yang terpilih selama memenuhi prosedur dan aturan yang ada, maka harus diterima oleh KPK. KPK itu hanya pelaksana UU,” jelasnya.
Anggota Komisi III DPR RI Masinton Pasaribu menilai apa yang terjadi kepada Irjen Firli tersebut sama halnya saat uji kelayakan dan kepatutan terhadap Jenderal (Pol) Budi Gunawan untuk menjadi Kapolri pada 2015 silam. Khusus kasus Irjen Firli ini terjadi pada Mei 2018.
“Kenapa sekarang? Kalau begini KPK akan menjadi Komisi Penghambat Karir dan Wadah Pegawai KPK bukan lagi wadah pegawai, tapi wadah politik pegawai,” ucap politisi dari fraksi PDIP ini. *k22
Komentar