Bali Didorong Produksi Daging Sapi Olahan
Kontes Ternak dan Panen Pedet 2019
Dengan menghasilkan daging sapi olahan, maka akan menghasilkan nilai ekonomis lebih besar, termasuk penyerapan tenaga kerja.
DENPASAR, NusaBali
Kebutuhan daging sapi yang tinggi menjadi tantangan bagi peternak Bali dan pemangku kepentingan di sektor peternakan untuk memenuhinya. Demikian dorongan dari Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan), I Ketut Diarmita, Jumat (13/9).
Di ajang Kontes Ternak dan Panen Pedet dan Pameran Hewan untuk Upakara yang digelar Dinas Peternakan Bali, di Lapangan Kapten Japa, Kesiman Kertalangu, Denpasar, 13-15 September 2019, Diarmita menyebutkan bahwa Bali jangan statis terpaku menjual sapi hidup (potong) atau gelondongan saja ke luar daerah. Sebaliknya melakukan petik olah jual sehingga memberi keuntungan lebih dan dampak ekonomi lebih luas.
“Itu sebagai upaya menjawab tantangan sektor peternakan, yakni impor daging sapi yang terus meningkat. Maka salah satu upaya adalah bagaimana meningkatkan produksi peternakan.Sebagai daerah yang memiliki ternak unggul yakni sapi (sapi Bali), Bali punya peluang untuk itu,” kata Diarmita. “Bagaimana Bali bisa menghasilkan Bali breed sebagai ikon. Yang dijual bukan sapi potong, tetapi dagingnya,”imbuh Diarmita.
Penjualan sapi dalam bentuk daging, kata Diarmita, tentu lebih memberi nilai tambah, dibanding hanya dengan mengirim sapi potong. Diantaranya akan lebih banyak menyerap tenaga kerja. Terus tidak saja dagingnya saja yang bisa diolah, tetapi juga bagian lainnya seperti tulangnya. Sebaliknya, jika hanya menjual sapi sapi potong saja, yang memperoleh manfaatnya terbatas pada peternak atau petani saja. Petik olah jual tersebut, kata Diarmita bisa dilakukan dengan memanfaatkan rumah potong hewan (RPH) yang ada. Karena menurutnya, sejauh ini RPH yang ada belum termanfaatkan secara maksimal.
“ Di tahun 2022 produksi daging dalam negeri diharapkan dapat dipenuhi 90% dan hanya 10 % dipenuhi dengan impor. Untuk itu mutu genetis sapi Bali harus ditingkatkan, sapi indukan ditambah, status kesehatan hewan ditingkatkan , penjaminan pangan asal ternak serta pengendalian penyakitnya menjadi fokus kita dalam mewujudkannya, “ imbuhnya.
Sementara itu Kadis Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, I Wayan Mardiana, menyatakan sudah melakukan penjajagan pengiriman daging sapi sejak dua tahun lalu. “Namun di Jakarta (pembeli) belum mau menerima sapi dalam bentuk daging karkas (daging dan tulang). Mereka (pembeli) maunya dalam bentuk sapi hidup/sapi potong),” ujarnya. Walau demikian, sudah ada beberapa yang menginginkan daging sapi beku. Beberapa pengusaha di Bali, kata Mardiana sudah melakukan atau mengirimkannya.
Sementara pengiriman sapi potong dari Bali keluar daerah, lebih banyak untuk pemenuhan kebutuhan hewan korban pada saat hari raya keagamaan (Idul Adha).Pengiriman dilakukan dengan perhitungan dinamika populasi. Tujuannya, agar populasi sapi Bali sebagai ternak unggul tetap terjaga. “Pengeluaran sapi Bali diatur berdasarkan Pergub,” ujarnya. *k17
Di ajang Kontes Ternak dan Panen Pedet dan Pameran Hewan untuk Upakara yang digelar Dinas Peternakan Bali, di Lapangan Kapten Japa, Kesiman Kertalangu, Denpasar, 13-15 September 2019, Diarmita menyebutkan bahwa Bali jangan statis terpaku menjual sapi hidup (potong) atau gelondongan saja ke luar daerah. Sebaliknya melakukan petik olah jual sehingga memberi keuntungan lebih dan dampak ekonomi lebih luas.
“Itu sebagai upaya menjawab tantangan sektor peternakan, yakni impor daging sapi yang terus meningkat. Maka salah satu upaya adalah bagaimana meningkatkan produksi peternakan.Sebagai daerah yang memiliki ternak unggul yakni sapi (sapi Bali), Bali punya peluang untuk itu,” kata Diarmita. “Bagaimana Bali bisa menghasilkan Bali breed sebagai ikon. Yang dijual bukan sapi potong, tetapi dagingnya,”imbuh Diarmita.
Penjualan sapi dalam bentuk daging, kata Diarmita, tentu lebih memberi nilai tambah, dibanding hanya dengan mengirim sapi potong. Diantaranya akan lebih banyak menyerap tenaga kerja. Terus tidak saja dagingnya saja yang bisa diolah, tetapi juga bagian lainnya seperti tulangnya. Sebaliknya, jika hanya menjual sapi sapi potong saja, yang memperoleh manfaatnya terbatas pada peternak atau petani saja. Petik olah jual tersebut, kata Diarmita bisa dilakukan dengan memanfaatkan rumah potong hewan (RPH) yang ada. Karena menurutnya, sejauh ini RPH yang ada belum termanfaatkan secara maksimal.
“ Di tahun 2022 produksi daging dalam negeri diharapkan dapat dipenuhi 90% dan hanya 10 % dipenuhi dengan impor. Untuk itu mutu genetis sapi Bali harus ditingkatkan, sapi indukan ditambah, status kesehatan hewan ditingkatkan , penjaminan pangan asal ternak serta pengendalian penyakitnya menjadi fokus kita dalam mewujudkannya, “ imbuhnya.
Sementara itu Kadis Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, I Wayan Mardiana, menyatakan sudah melakukan penjajagan pengiriman daging sapi sejak dua tahun lalu. “Namun di Jakarta (pembeli) belum mau menerima sapi dalam bentuk daging karkas (daging dan tulang). Mereka (pembeli) maunya dalam bentuk sapi hidup/sapi potong),” ujarnya. Walau demikian, sudah ada beberapa yang menginginkan daging sapi beku. Beberapa pengusaha di Bali, kata Mardiana sudah melakukan atau mengirimkannya.
Sementara pengiriman sapi potong dari Bali keluar daerah, lebih banyak untuk pemenuhan kebutuhan hewan korban pada saat hari raya keagamaan (Idul Adha).Pengiriman dilakukan dengan perhitungan dinamika populasi. Tujuannya, agar populasi sapi Bali sebagai ternak unggul tetap terjaga. “Pengeluaran sapi Bali diatur berdasarkan Pergub,” ujarnya. *k17
1
Komentar