Nasib Bengang di Tangan Pengembang
Keterancaman Bali kehilangan banyak bengang (ruang hijau pembatas antar desa,Red) tak hanya terjadi di wilayah padat penduduk, seperti Denpasar, jalur utama Denpasar – Tabanan, Denpasar – Gianyar, dan lainnya.
BANGLI, NusaBali
Ancaman bengang akan lenyap juga terjadi di Bangli. Penyebabnya hampir sama, pembangunan fisik kian galak yang disulut pengembang pemukiman serta masyarakat yang tak lagi tertarik mengolah huma dan ladang.
Kebutuhan akan tempat tinggal, tempat usaha dan akativitas lainya, berimbas pada beralih fungsinya lahan basah (pertanian). Di beberapa wilayah seputaran Kota Bangli tidak sedikit dijumpai lahan-lahan basah dipenuhi bangunan. Nyaris tiada celah untuk menghijaukan jalan raya.
Disisi lain, Pemkab Bangli kini melakukan peninjauan kembali terkait Peraturan Daerah (Perda) nomor 9 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bangli. Kasi Evaluasi Tata Ruang Dinas Perkerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPR Perkim) Bangli Hary Suseno mengatakan terkait tata ruang ada beberapa klasifikasi lahan yang meliputi lahan perkebunan, lahan basah, hutan lindung, hutan rakyat, dan permukiman. Kemudian dalam perkembanganya, banyak lahan yang tidak sesuai peruntukannya dimanfaatkan untuk permukiman, salah satunya lahan basah. Hary Suseno menyebutkan beberapa kawasan yang statusnya lahan basah tetapi sudah beralih menjadi permukiman. Seperti di wilayah Banjar Petak, Kelurahan Bebalang, Banjar Sidawa, Desa Tamanbali, jalur Bangli - Gianyar di Desa Bunutin, Sidembunut - Jehem, Banjar Tanggahan Peken, Desa Sulahan dan lokasi lain.
Peralihan pemanfaatan lahan pertanian tidak hanya untuk permukinan, namun ada juga yang dimanfaatkan untuk tempat usaha. “Dari sekian banyak lahan yang beralih, memang kebanyakan alasannya karena sudah tidak produktif, air untuk mengaliri pertanian tidak ada, sehingga dimanfaatkan untuk kepentingan lain,” jelasnya. Meski demikian ada pula ditemukan lahan yang sejatinya produktif, ketersediaan air untuk pertanian juga ada, namun justru dikembangkan untuk perumahan. “Lahan tersebut mau dikembangkan jadi kawasan perumahan, bahkan jalan pun sudah dibuat. Tetapi karena kawasan tersebut masih produktif tentu tidak mendapat rekomendasi atau izin untuk pembangunan,” sebutnya.
Lebih lanjut, jelas Hary Suseno, Bangli sudah memiliki Perda tentang Rencana Tata Ruang. Namun jika melihat kondisi di lapangan, maka akan dilakukan peninjauan kembali terkait aturan tersebut. Kata Hary Suseno, dengan pertumbuhan masyarakat, tentu dibutuhkan pula kawasan permukinan. “Untuk memenuhi hal tersebut tentu harus ada lahan, maka dari perlu dicarikan solusi, bagaimana kebutuhan masyarakat atas permukinan terpenuhi namun tidak merugikan dibidang lain,” jelasnya.
Kemudian dengan dilakukannya peninjaun kembali, maka masalah-masalah yang ada di lapangan bisa dicarikan solusi. “Masalah-masalah yang ditemukan di lapangan akan menjadi bahan evaluasi, untuk dilakukanya revisi terhadap aturan yang ada. Dari penetapan, perda dapat direvisi setelah lima tahun berjalan, dan kami disini sedang proses peninjauan kembali,” ujarnya.
“Wilayah Petak, Sidawa banyak sudah dibangun sebelum perda ini terbit. Kemudia karena statusnya masih lahan basah otomatis pemilik bangunan tidak dapat IMB. Terkait adanya peninjauan kembali, kawasan tersebut bisa saja beralih status menjadi kawasan permukiman. Tetapi ini masih dalam proses pembahasan,” sambungnya. Kata dia revisi Perda itu akan dilakukan tahun 2020.
Dia mengakui Bangli masih memerlukan pengembang pemukiman. Namun dia memastikan untuk lahan-lahan yang masih produktif harus dipertahankan. Hary Suseno menyebutkan, belakangan ini masyarakat mulai melek dengan aturan, jadi sebelum mereka membangun, lebih dulu koordinasi ke Dinas PU, agar bisa dilakukan pengecekan apakah lahan tersebut layak dibanguni atau tidak. “Ada ratusan permohonan dari masyarakat untuk dilakukan pengecekan. Jika memenuhi ketentuan, tentu akan mendapat rekomendasi, sehingga bisa memproses ijin. Tidak ujug-ujug membangun, setelah jadi baru mengurus izin,” tandasnya.
Begitu pula dengan pemanfaatan lahan perkebunan. Dalam aturan ada ketentuan dari luas lahan yang ada 10 persenya dapat dimanfaatkan untuk permukiman dan fasilitas penunjang. Dalam hal ini, 10 persen dihitung dari seluruh lahan perkebunan yang ada di suatu tempat. “Contoh di Desa Pengotan, Bangli, dari seluruh lahan perkebunannya, 10 persen dapat dibangun kawasan permukiman dan fasilitas penunjang,” terangnya.
Menyinggung terkait jalur hijau, Hery Suseno mengungkapkan ada perda khusus yang mengatur soal jalur hijau. Namun demikian dalam Perda Nomor 9 Tahun 2013 di dalamnya ada diatur tentang kawasan ruang terbuka hijau dan ruang terbuka hijau kota (RTHK) pasal 36.
Disisi lain, anggota DPRD Bangli I Ketut Swastika mengatakan terkait banyaknya lahan basah yang beralih fungsi, cukup mengkhawatirkan. Pihaknya tidak menampik, banyak perumahan yang berdiri di lahan yang statusnya masih lahan basah. Dia menyebutkan, perlu diintensifkan klasifikasi, jika memang lahan basah sudah tidak dapat berproduksi, tidak memiliki manfaat untuk pertanian bisa dilakukan peralihan. Tetapi jika memang masih produktif, maka pemerintah harus tegas melarang. Terkait perda yang sudah ada memang akan ditinjau kembali, apakah ada perubahan atau tidak. “Yang tadinya pertanian, tapi kini tidak berfungsi lagi kemungkinan bisa dialihkan. Kita juga harus melihat kebutuhan masyarakat,” jelasnya.7esa.
Komentar