Joged Buleleng Tampil (Erotis) di PKB
“Itu hanya sebagai simbol atau lambang saja. Semacam penyampaian saja kepada masyarakat, bahwa ini lho goyangan yang erotis”
Ketua Sanggar: Itu Hanya Simbol Belaka
DENPASAR, NusaBali
Kesenian joged bumbung yang pentas di kalangan Ayodya Taman Budaya Bali, Rabu (29/6) sore, nampak berbeda dari joged yang sudah pentas sebelumnya. Kali ini, joged asal Bali utara itu masih menampilkan kesan erotis, dan akhirnya menjadi tontonan yang menyedot banyak perhatian.
Adalah tari joged bumbung oleh Sanggar Dharma Santhi, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng yang menggandeng lima orang penari, yakni Ni Luh Ema Suryani yang menampilkan Tari Narakusuma, Ni Komang Irma Andayani yang membawakan Tari Puspa Winangun, Ni Luh Erma Suryani yang mementaskan Tari Wijaya Kusuma, serta Ni Kadek Dwi Tri dengan Tari Gelatik Nuut Papah.
Awalnya, keempat penari tersebut menari bersama dan mengenakan warna pakaian yang berbeda-beda. Pakaiannya disesuaikan dengan warna di empat penjuru mata angin menurut Agama Hindu. Ada yang mengenakan pakaian warna merah sebagai simbol Brahma, kuning simbol dari Mahadewa, putih simbol Iswara, serta hitam simbol dari Bhatara Siwa.
Tiba saatnya, setelah empat menari pentas, tiga penari lantas meninggalkan panggung dan hanya menyisakan Ni Luh Ema Suryani. Nah, saat itu Luh Ema menari dengan goyangan yang terkesan erotis. Mulai dari goyangan maju mundur, hingga goyang ngebor. Pangibing pun memberikan saweran antara Rp 5 ribu sampai Rp 100 ribu, tapi tetap santun.
Nah, setelah Luh Ema, giliran tiga penari lainnya menari joged dengan santun. Dari empat penari, hanya satu penari saja yang menampilkan goyangan erotis. Menurut Ketua Sanggar Dharma Santhi, Ni Nyoman Darmaweni, tarian dengan nuansa erotis di awal itu sengaja dipentaskan sebagai sebuah simbol belaka. Sebab selama ini banyak masyarakat yang mengidentikkan joged bumbung dengan joged porno. “Itu hanya sebagai simbol atau lambang saja. Semacam penyampaian saja kepada masyarakat, bahwa ini lho goyangan yang erotis. Kalau yang porno itu kan sampai ningting (angkat, red) kain, sampai kelihatan paha, malah celana dalam. Nah, penari yang seterusnya itu kembali ke awal, sesuai pakem. Setiap penari punya peran masing-masing dan simbol tersendiri,” kata Darmaweni.
Joged bumbung sebenarnya terlahir pada tahun 1930-an sebagai tari pergaulan di kalangan petani dengan diiringi bambu saja. Namun memasuki tahun 1960-an unsur kekebyaran masuk ke dalam kesenian joged, kemudian unsur tari kreasi seperti jaipong masuk ke dalam joged masuk pada akhir tahun 1980-an. Akan tetapi belakangan ini, pada awal tahun 2000 kreasi pada tari joged bumbung makin kebablasan dengan masuknya unsur erotis dan kesan porno.
Darmaweni pun mengakui, kesan joged sebagai tari pergaulan pun semakin hilang, digantikan dengan image tari porno. Dia mengaku tak mau kesan negatif pada tari joged, terus melekat. Apalagi banyak sekaa joged di Buleleng, yang selama ini bersedia melayani pementasan joged porno. “Tidak semua joged di Buleleng itu porno. Kami juga tidak mau joged ini terus dinilai negatif. Orang ngibing juga kan nggak bisa sembarangan. Kadang ada yang minta pelukan sampai cium. Kalau sudah mengarah begitu, penari harus mundur ke belakang. Menunjukkan gerakan menolak,” imbuhnya. 7 i
Komentar