Koalisi Sipil Siap Gugat Jokowi
Jika revisi UU KPK terus bergulir di DPR
Koalisi Masyarakat Sipil mempertimbangkan untuk menempuh langkah hukum apabila Presiden Joko Widodo berkeras melanjutkan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi atau revisi UU KPK.
JAKARTA, NusaBali
Anggota koalisi yang juga peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Agil Oktaryan mengaku telah bersiap melaporkan Presiden Jokowi ke Ombudsman atau melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Satu, ini bisa kita gugat cacat formalnya ke Ombudsman. Yang kedua kami bisa PTUN-kan tindakan Jokowi, bukan supresnya ya, tapi tindakannya Jokowi. Karena presiden hanya bisa merespons UU yang masuk prolegnas prioritas. Kalau tidak, presiden itu melanggar hukum. Ini [langkah] sebelum UU-nya jadi," ujar Agil seperti dilansir cnnindonesia, usai diskusi mengenai sejumlah RUU yang kontroversial, di kawasan Jakarta Selatan, Minggu (15/9).
Cacat formal yang dimaksud koalisi adalah salah satu ketentuan dalam Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengharuskan sejumlah tahapan.
Salah satunya menurut anggota koalisi yang juga Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, RUU yang bakal disahkan harus terlebih dulu masuk ke program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas.
"Ada peraturan yang menyebut jika DPR ingin mengesahkan UU maka UU itu bukan saja harus ada di prolegnas 5 tahun melainkan juga masuk di prolegnas prioritas. Tapi kalau kita lihat lebih jauh prolegnas prioritas, UU KPK ini hanya masuk tahun 2017," kata Kurnia.
"Jadi ini bermasalah di sisi formil. Yang menjadi alasan DPR, UU ini sudah dibahas pada 2017 maka tinggal melanjutkan sehingga tidak perlu dimasukkan di prolegnas prioritas. Ini alasan yang mengada-ada dan tidak ada landasan hukum," tegas dia lagi.
Melenceng Namun begitu menurut Agil, Koalisi Masyarakat Sipil masih berharap Jokowi menarik Surat Presiden mengenai pembahasan RUU KPK. Atau langkah lain, Presiden Jokowi tidak mengutus menteri-menterinya menghadiri pembahasan.
"Karena kalau tidak ada kesepakatan antara DPR dan pemerintah maka UU ini tidak akan jadi. Kalau misalkan Jokowi tidak melakukan itu juga, ya terpaksa kami akan menempuh proses hukum," tutur Agil.
Selain bermasalah dari segi prosedur formal, koalisi masyarakat sipil juga menilai sejumlah perubahan dalam RUU KPK mengandung permasalahan yang justru mengamputasi kewenangan KPK memberantas korupsi.
Kurnia mencontohkan pasal mengenai keberadaan Dewan Pengawas. Selain tak penting, adanya dewan pengawas justru dikhawatirkan rentan disalahgunakan untuk mempengaruhi perkara.
"Kalau teliti kita baca, kewenangannya sangat besar dewan pengawas ini. Izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan, yang mana ketiga poin ini sangat erat kaitannya dengan penegakan hukum di KPK. Kalau ini disahkan justru akan ada intervensi dari eksekutif dan legislatif, karena dalam poin itu pemilihan dewan pengawas kurang lebih prosesnya harus melalui presiden dan DPR," ungkap Kurnia.
Perubahan lain yang dianggap bermasalah diantaranya kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), pengaturan penyadapan dan, status kepegawaian menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Karena itu koalisi masyarakat sipil tak menemukan urgensi bagi pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU KPK. Kurnia justru menyarankan agar DPR dan pemerintah fokus ke sejumlah peraturan yang betul-betul diperlukan guna mendukung pemberantasan korupsi dan memperkuat kewenangan KPK. *
"Satu, ini bisa kita gugat cacat formalnya ke Ombudsman. Yang kedua kami bisa PTUN-kan tindakan Jokowi, bukan supresnya ya, tapi tindakannya Jokowi. Karena presiden hanya bisa merespons UU yang masuk prolegnas prioritas. Kalau tidak, presiden itu melanggar hukum. Ini [langkah] sebelum UU-nya jadi," ujar Agil seperti dilansir cnnindonesia, usai diskusi mengenai sejumlah RUU yang kontroversial, di kawasan Jakarta Selatan, Minggu (15/9).
Cacat formal yang dimaksud koalisi adalah salah satu ketentuan dalam Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengharuskan sejumlah tahapan.
Salah satunya menurut anggota koalisi yang juga Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, RUU yang bakal disahkan harus terlebih dulu masuk ke program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas.
"Ada peraturan yang menyebut jika DPR ingin mengesahkan UU maka UU itu bukan saja harus ada di prolegnas 5 tahun melainkan juga masuk di prolegnas prioritas. Tapi kalau kita lihat lebih jauh prolegnas prioritas, UU KPK ini hanya masuk tahun 2017," kata Kurnia.
"Jadi ini bermasalah di sisi formil. Yang menjadi alasan DPR, UU ini sudah dibahas pada 2017 maka tinggal melanjutkan sehingga tidak perlu dimasukkan di prolegnas prioritas. Ini alasan yang mengada-ada dan tidak ada landasan hukum," tegas dia lagi.
Melenceng Namun begitu menurut Agil, Koalisi Masyarakat Sipil masih berharap Jokowi menarik Surat Presiden mengenai pembahasan RUU KPK. Atau langkah lain, Presiden Jokowi tidak mengutus menteri-menterinya menghadiri pembahasan.
"Karena kalau tidak ada kesepakatan antara DPR dan pemerintah maka UU ini tidak akan jadi. Kalau misalkan Jokowi tidak melakukan itu juga, ya terpaksa kami akan menempuh proses hukum," tutur Agil.
Selain bermasalah dari segi prosedur formal, koalisi masyarakat sipil juga menilai sejumlah perubahan dalam RUU KPK mengandung permasalahan yang justru mengamputasi kewenangan KPK memberantas korupsi.
Kurnia mencontohkan pasal mengenai keberadaan Dewan Pengawas. Selain tak penting, adanya dewan pengawas justru dikhawatirkan rentan disalahgunakan untuk mempengaruhi perkara.
"Kalau teliti kita baca, kewenangannya sangat besar dewan pengawas ini. Izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan, yang mana ketiga poin ini sangat erat kaitannya dengan penegakan hukum di KPK. Kalau ini disahkan justru akan ada intervensi dari eksekutif dan legislatif, karena dalam poin itu pemilihan dewan pengawas kurang lebih prosesnya harus melalui presiden dan DPR," ungkap Kurnia.
Perubahan lain yang dianggap bermasalah diantaranya kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), pengaturan penyadapan dan, status kepegawaian menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Karena itu koalisi masyarakat sipil tak menemukan urgensi bagi pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU KPK. Kurnia justru menyarankan agar DPR dan pemerintah fokus ke sejumlah peraturan yang betul-betul diperlukan guna mendukung pemberantasan korupsi dan memperkuat kewenangan KPK. *
Komentar