Tari Sakral Tak Boleh Dipakai Raih Muri
Pemerintah Majelis Adat PHDI Listibiya Sepakat Lindungi Tari Sakral Bali
Gubernur Koster sebut banyak tari sakral Bali yang bergeser dan mulai dipentaskan buat kepentingan komersial, bahkan alat untuk raih penghargaan Muri
DENPASAR, NusaBali
Pemerintah melalui Dinas Kebudayaan Provinsi Bali bersama PHDI Bali, Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Majelis Pertimbangan & Pembinaan Kebudayaan (Listibiya) Provinsi Bali, dan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar sepakat untuk melindungi dan perkuat Tari Sakral Bali. Nantinya, Tari Sakral Bali tak boleh ditampilkan di sembarang tempat, juga tak boleh digunakan untuk pemecahan rekor Muri (Museum Rekor Indonesia).
Keputusan bersama terkait penguatan dan perlindungan Tari Sakral Bali tersebut ditandatangani di Rumah Jabatan Gubernur Bali, Komplek Jaya Sabha, Jalan Surapati No 1 Denpasar, Selasa (17/9). Surat kesepakatan ditandatangani Ketua PHDI Bali Prof Dr Drs I Gusti Ngurah Sudiana MSi, Ketua MDA (Bendesa Agung) Provinsi Bali Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, Ketua Umum Listibiya Bali Prof Dr I Made Bandem MA, Kadis Kebudayaan Bali Dr I Wayan Adnyana SSn MSn, dan Rektor ISI Denpasar Prof Dr I Gede Arya Sugiartha S SKar MHum. Penanda-tanganan disaksikan langsung Gubernur Bali Dr Ir Wayan Koster MM dan Sekda Provinsi Bali, Dewa Made Indra.
Tari Sakral Bali yang dilindungi berjumlah 130 tarian, meliputi 52 jenis Tari Baris, 26 jenis Tari Sanghyang, 26 jenis Tari Rejang, 11 jenis Tari Barong Upacara, serta Tari Pendet Upacara, Tari Kincang-kincung, Tari Sraman, Tari Abuang/Mabuang, Tari Gayung, Tari Janger Maborbor, Tari Telek/Sandaran, Tari Topeng Sidakarya, Tari Sutri, Tari Gandrung/Grandrangan Upacara, Tari Gambuh Upacara, Tari Wayang Wong Upacara, Wayang Kulit Sapuh Leger, Wayang Kulit Sudamala/Wayang Lemah, dan Tari Sakral lainnya yang menjadi bagian utuh ritus, upacara dan upakara yang dilangsungkan di berbagai pura dan desa adat.
Kadis Kebudayaan Bali, I Wayan ‘Kun’ Adnyana, mengatakan mekanisme dalam menyusun daftar rincian tari wali (sakral) didasarkan dari tari tersebut melekat pada upacara di berbagai desa dan desa adat. Kemudian, Dinas Kebudayaan Bali bersama PHDI, MDA Provinsi Bali, Listibiya, dan ISI Denpasar menginventarisasi berdasarkan konteks fungsi yang tak bisa terpisahkan dari konteks upacara keagamaan.
“Dalam perkembangannya, ada yang membuat risau kita bersama bahwa banyak tari yang kita pahami sebagai tari sakral dan menjadi bagian dari ritual, belakangan malah dipentunjukkan untuk tujuan-tujuan non sakral. Maka kami bersama lima lembaga terkait adat, budaya, dan agama menetapkan ini (Surat Keputusan Bersama),” jelas Kun Adnyana saat menyampaikan laporannya.
Invetarisasi tarian sakral ini, kata Kun Adnyana, juga merupakan kepentingan Pemprov Bali untuk membangun database yang solid terkait tarian sakral yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Pemerintah ingin nilai religius dan kesakralan dari tarian sakral tetap ajeg dan utuh. Kun Adnyana pun mengundang masyarakat untuk berinisiatif menginformasikan bilamana ada tarian sakral di daerahnya.
“Nanti akan ada pengembangan lebih lanjut. Kami juga menunggu inisiatif dari desa adat atau kelompok-kelompok pelaku upacara untuk menginformasikan atau mendaftarkan bahwa ada tari atau pertunjukan sakral lain yang hidup di tengah masyarakat,” tandas mantan dosen ISI Denpasar ini.
Sementara, berdasarkan data dari Listibiya Provinsi Bali, pada tahun 1992 pernah dilakukan pemutakhiran pendataan, sampai ditemukan 6.512 kelompok seni hidup di Bali. Dari jumlah tersebut, 70 persennya adalah kelompok tari wali dan bebali (sakral) dan 30 persen lagi kelompok tari balih-balihan (hiburan). Seiring waktu, berjalannya waktu, kelompok seni pun berkembang pesat. Tahun 2015, Listibiya kembali melakukan pendataan dan menemukan 10.049 sekaa yang tetap didominasi kelompok tarian sakral.
Menurut Ketua Umum Listibiya Provinsi Bali, Prof Made Bandem, pihaknya sangat mendukung pemerintah yang mau melindungi tarian sakral. “Tari sakral ini adalah sumber dari penciptaan tari-tari yang lain,” jelas Prof Bandem.
“Jika dilihat berdasarkan klasifikasi tarian Bali yang dirumuskan tahun 1971, ada tiga jenis tarian, yakni tari wali, tari bebali, dan tari balih-balihan. Belakangan, dalam diskusi kami, tari wali dan bebali masuk dalam wilayah sakral. Sedangkan balih-balihan untuk artistik dan hiburan,” lanjut budayawan yang mantan Rektor ISI Denpasar ini.
Dari sisi agama, tari sakral sebagai rangkaian upacara mempunyai nilai kesakralan yang tinggi, mulai dari penciptaan tari, tempat pementasan, waktu dan hari pementasan. Menurut Ketua PHDI Bali, Prof IGN Sudiana, para penari yang dipilih untuk tarian sakral tidak boleh sembarangan. Tarian sakral hanya dipentaskan saat upacara Panca Yadnya. Tari sakral merupakan persembahan suci kepada Tuhan. “Tari sakral itu berfungsi untuk menguatkan spiritual dan dan rasa keagamaan umat Hindu kepada Tuhan,” tandas Prof Sudiana.
Sebagai tokoh agama, selama ini dia melihat beberapa tari sakral banyak yang dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata dan di luar upacara. Nah, dengan adanya kesepakatan ini, maka seluruh tarian sakral di Bali akan mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Tentunya harus disertai dengan kontrol yang baik dari masyarakat.
“Tarian sakral akan bisa berjalan sesuai dengan fungsinya, yakni menjadi rangkaian upacara agama dan sebagai bentuk persembahan. Selain itu, akan direvitalisasi kembali taksu tari sakral yang selama ini mungkin mengalami pelanggaran, baik fungsi maupun pementasannya,” jelas tokoh lembaga umat yang juga Rektor IHDN Denpasar ini.
Dari sisi nilai seni, Rektor ISI Denpasar, Prof Arya Sugiartha, mengatakan pihaknya telah bekerjasama dengan 9 kabupaten/kota di Bali untuk membuat blueprint keberadaan dan penataan seni ke depan. Tidak hanya sebatas pendataan, ISI Denpasar juga melakukan pengkajian sedetail mungkin, sejauh mana kesenian yang termasuk sakral dan profan.
“Ada perkembangan yang sangat berarti yang kami temukan. Misalnya, joged ketika ditampilkan untuk naur sesangi (bayar kaul) ternyata menjadi sakral. Kedua, di sebuah desa di lereng Gunung Batukaru (Tabanan), ternyata memang ada ilen-ilen berupa joged yang disakralkan. Jadi, kesenian di Bali tidak hanya profan saja yang berkembang, tapi juga yang sakral,” katanya.
Di lain sisi, Bendesa Agung Provinsi Bali, Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet, menyatakan desa adat merupakan tempat untuk hidupnya tarian sakral. Dan, tarian sakral yang kemudian menjadi rangkaian upacara di pura, berperan membangun taksu Bali. Vibrasi taksu Bali ini dilakukan setiap desa adat di Bali, hingga membuat Bali menjadi pulau yang bertaksu. “Tarian sakral yang menjadi bagian dari upacara merupakan taksu Bali sesungguhnya. Kesakralannya harus dijaga,” tegas Putra Sukahet.
Sementara itu, Gubernur Bali Wayan Koster menyatakan, belakangan banyak tari sakral yang bergeser dan mulai dipentaskan untuk kepentingan komersial. Bahkan, ada tarian sakral yang dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan penghargaan seperti Muri.
“Kondisi ini kami anggap desakralisasi yang akan menurunkan kesakral-an, menggeser, dan merusak tatanan seni budaya yang diwariskan leluhur. Saya rasa sangat penting untuk memprioritaskan menjaga, melestarikan, dan memelihara tatanan seni tradisi yang kita punya, khususnya tari sakral,” tegas Gubernur Koster.
Koster menyebutkan, tari sakral merupakan sumber dari penciptaan tari-tari yang lain. Maka, tari sakral harus dilindungi dan dikuatkan. Namun, pelindungan tarian sakral ini bukan berarti ‘mengekang’ kreativitas seniman dalam berkarya. “Kami dorong seniman, komunitas seni, sekaa-sekaa untuk berkreasi. Boleh berbasis kepada seni tradisi sakral, namun tentu dibedakan dari garapan dan kemasannya. Namanya pun beda. Penetapan tari sakral ini sebetulnya untuk kepentingan pengu-atan kesakralan tari tradisi kita, agar kita punya ‘pagar’ untuk mengontrol hal tersebut,” papar Gubernur asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini.
Menurut Koster, surat keputusan bersama untuk perlindungan dan penguatan rai sakral ini harus segera disosialisasikan kepada seluruh komponen masyarakat, agar mereka memahami dan mengetahui mengenai isi surat tersebut. “Harus dijalankan dengan penuh disiplin, tertib, dan tanggung jawab. Tidak perlu sanksi, karena ini kan bukan peraturan. Saya kira cara hidup tertib tidak harus dengan pemberian sanksi, tetapi melalui suatu kesadaran. Karena kita punya kepentingan untuk melindungi tari sakral,” imbuh Koster sembari mengatakan pihaknya sedang menyusun Peraturan Gubernur (Pergub) untuk pemberian pengahargaan kepada para pelaku seni dan lembaga seni yang karyanya bagus, termasuk yang melestarikan seni sakral.
Sedangkan Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati alias Cok Ace, menyambut baik perlindungan dan penguatan tari sakral ini dari kacamata dirinya sebagai seorang seniman seni sakral. Sebab, kata Cok Ace, orientasi sebagai seniman sakral berbeda dengan seniman yang profan, apalagi komersial.
“Seniman sakral, orientasinya 100 persen adalah persembahan kepada Tuhan. Kami tidak berpikir bahwa tarian kami (sakral) akan ditonton orang, ada yang tepuk tangan. Semua itu hanya dilakukan dengan keikhlasan. Kalau yang sakral diprofanisasi, apalagi dikomersialisasi, tentua arahnya sudah menyimpang,” jelas Cok Ace.
“Yang disakralkan di sini kan tarian dan atributnya, bukan orangnya. Sehingga peluang seseorang untuk mengembangkan karya sebagai seorang seniman, itu masih terbuka. Seorang penari bisa menari di pura, tapi juga bisa menari di hotel-hotel. Selama berjalan pada jalurnya, saya kira kesakralannya akan terjaga,” lanjut seniman asal Puri Agung Ubud ini. *ind
Keputusan bersama terkait penguatan dan perlindungan Tari Sakral Bali tersebut ditandatangani di Rumah Jabatan Gubernur Bali, Komplek Jaya Sabha, Jalan Surapati No 1 Denpasar, Selasa (17/9). Surat kesepakatan ditandatangani Ketua PHDI Bali Prof Dr Drs I Gusti Ngurah Sudiana MSi, Ketua MDA (Bendesa Agung) Provinsi Bali Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, Ketua Umum Listibiya Bali Prof Dr I Made Bandem MA, Kadis Kebudayaan Bali Dr I Wayan Adnyana SSn MSn, dan Rektor ISI Denpasar Prof Dr I Gede Arya Sugiartha S SKar MHum. Penanda-tanganan disaksikan langsung Gubernur Bali Dr Ir Wayan Koster MM dan Sekda Provinsi Bali, Dewa Made Indra.
Tari Sakral Bali yang dilindungi berjumlah 130 tarian, meliputi 52 jenis Tari Baris, 26 jenis Tari Sanghyang, 26 jenis Tari Rejang, 11 jenis Tari Barong Upacara, serta Tari Pendet Upacara, Tari Kincang-kincung, Tari Sraman, Tari Abuang/Mabuang, Tari Gayung, Tari Janger Maborbor, Tari Telek/Sandaran, Tari Topeng Sidakarya, Tari Sutri, Tari Gandrung/Grandrangan Upacara, Tari Gambuh Upacara, Tari Wayang Wong Upacara, Wayang Kulit Sapuh Leger, Wayang Kulit Sudamala/Wayang Lemah, dan Tari Sakral lainnya yang menjadi bagian utuh ritus, upacara dan upakara yang dilangsungkan di berbagai pura dan desa adat.
Kadis Kebudayaan Bali, I Wayan ‘Kun’ Adnyana, mengatakan mekanisme dalam menyusun daftar rincian tari wali (sakral) didasarkan dari tari tersebut melekat pada upacara di berbagai desa dan desa adat. Kemudian, Dinas Kebudayaan Bali bersama PHDI, MDA Provinsi Bali, Listibiya, dan ISI Denpasar menginventarisasi berdasarkan konteks fungsi yang tak bisa terpisahkan dari konteks upacara keagamaan.
“Dalam perkembangannya, ada yang membuat risau kita bersama bahwa banyak tari yang kita pahami sebagai tari sakral dan menjadi bagian dari ritual, belakangan malah dipentunjukkan untuk tujuan-tujuan non sakral. Maka kami bersama lima lembaga terkait adat, budaya, dan agama menetapkan ini (Surat Keputusan Bersama),” jelas Kun Adnyana saat menyampaikan laporannya.
Invetarisasi tarian sakral ini, kata Kun Adnyana, juga merupakan kepentingan Pemprov Bali untuk membangun database yang solid terkait tarian sakral yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Pemerintah ingin nilai religius dan kesakralan dari tarian sakral tetap ajeg dan utuh. Kun Adnyana pun mengundang masyarakat untuk berinisiatif menginformasikan bilamana ada tarian sakral di daerahnya.
“Nanti akan ada pengembangan lebih lanjut. Kami juga menunggu inisiatif dari desa adat atau kelompok-kelompok pelaku upacara untuk menginformasikan atau mendaftarkan bahwa ada tari atau pertunjukan sakral lain yang hidup di tengah masyarakat,” tandas mantan dosen ISI Denpasar ini.
Sementara, berdasarkan data dari Listibiya Provinsi Bali, pada tahun 1992 pernah dilakukan pemutakhiran pendataan, sampai ditemukan 6.512 kelompok seni hidup di Bali. Dari jumlah tersebut, 70 persennya adalah kelompok tari wali dan bebali (sakral) dan 30 persen lagi kelompok tari balih-balihan (hiburan). Seiring waktu, berjalannya waktu, kelompok seni pun berkembang pesat. Tahun 2015, Listibiya kembali melakukan pendataan dan menemukan 10.049 sekaa yang tetap didominasi kelompok tarian sakral.
Menurut Ketua Umum Listibiya Provinsi Bali, Prof Made Bandem, pihaknya sangat mendukung pemerintah yang mau melindungi tarian sakral. “Tari sakral ini adalah sumber dari penciptaan tari-tari yang lain,” jelas Prof Bandem.
“Jika dilihat berdasarkan klasifikasi tarian Bali yang dirumuskan tahun 1971, ada tiga jenis tarian, yakni tari wali, tari bebali, dan tari balih-balihan. Belakangan, dalam diskusi kami, tari wali dan bebali masuk dalam wilayah sakral. Sedangkan balih-balihan untuk artistik dan hiburan,” lanjut budayawan yang mantan Rektor ISI Denpasar ini.
Dari sisi agama, tari sakral sebagai rangkaian upacara mempunyai nilai kesakralan yang tinggi, mulai dari penciptaan tari, tempat pementasan, waktu dan hari pementasan. Menurut Ketua PHDI Bali, Prof IGN Sudiana, para penari yang dipilih untuk tarian sakral tidak boleh sembarangan. Tarian sakral hanya dipentaskan saat upacara Panca Yadnya. Tari sakral merupakan persembahan suci kepada Tuhan. “Tari sakral itu berfungsi untuk menguatkan spiritual dan dan rasa keagamaan umat Hindu kepada Tuhan,” tandas Prof Sudiana.
Sebagai tokoh agama, selama ini dia melihat beberapa tari sakral banyak yang dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata dan di luar upacara. Nah, dengan adanya kesepakatan ini, maka seluruh tarian sakral di Bali akan mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Tentunya harus disertai dengan kontrol yang baik dari masyarakat.
“Tarian sakral akan bisa berjalan sesuai dengan fungsinya, yakni menjadi rangkaian upacara agama dan sebagai bentuk persembahan. Selain itu, akan direvitalisasi kembali taksu tari sakral yang selama ini mungkin mengalami pelanggaran, baik fungsi maupun pementasannya,” jelas tokoh lembaga umat yang juga Rektor IHDN Denpasar ini.
Dari sisi nilai seni, Rektor ISI Denpasar, Prof Arya Sugiartha, mengatakan pihaknya telah bekerjasama dengan 9 kabupaten/kota di Bali untuk membuat blueprint keberadaan dan penataan seni ke depan. Tidak hanya sebatas pendataan, ISI Denpasar juga melakukan pengkajian sedetail mungkin, sejauh mana kesenian yang termasuk sakral dan profan.
“Ada perkembangan yang sangat berarti yang kami temukan. Misalnya, joged ketika ditampilkan untuk naur sesangi (bayar kaul) ternyata menjadi sakral. Kedua, di sebuah desa di lereng Gunung Batukaru (Tabanan), ternyata memang ada ilen-ilen berupa joged yang disakralkan. Jadi, kesenian di Bali tidak hanya profan saja yang berkembang, tapi juga yang sakral,” katanya.
Di lain sisi, Bendesa Agung Provinsi Bali, Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet, menyatakan desa adat merupakan tempat untuk hidupnya tarian sakral. Dan, tarian sakral yang kemudian menjadi rangkaian upacara di pura, berperan membangun taksu Bali. Vibrasi taksu Bali ini dilakukan setiap desa adat di Bali, hingga membuat Bali menjadi pulau yang bertaksu. “Tarian sakral yang menjadi bagian dari upacara merupakan taksu Bali sesungguhnya. Kesakralannya harus dijaga,” tegas Putra Sukahet.
Sementara itu, Gubernur Bali Wayan Koster menyatakan, belakangan banyak tari sakral yang bergeser dan mulai dipentaskan untuk kepentingan komersial. Bahkan, ada tarian sakral yang dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan penghargaan seperti Muri.
“Kondisi ini kami anggap desakralisasi yang akan menurunkan kesakral-an, menggeser, dan merusak tatanan seni budaya yang diwariskan leluhur. Saya rasa sangat penting untuk memprioritaskan menjaga, melestarikan, dan memelihara tatanan seni tradisi yang kita punya, khususnya tari sakral,” tegas Gubernur Koster.
Koster menyebutkan, tari sakral merupakan sumber dari penciptaan tari-tari yang lain. Maka, tari sakral harus dilindungi dan dikuatkan. Namun, pelindungan tarian sakral ini bukan berarti ‘mengekang’ kreativitas seniman dalam berkarya. “Kami dorong seniman, komunitas seni, sekaa-sekaa untuk berkreasi. Boleh berbasis kepada seni tradisi sakral, namun tentu dibedakan dari garapan dan kemasannya. Namanya pun beda. Penetapan tari sakral ini sebetulnya untuk kepentingan pengu-atan kesakralan tari tradisi kita, agar kita punya ‘pagar’ untuk mengontrol hal tersebut,” papar Gubernur asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini.
Menurut Koster, surat keputusan bersama untuk perlindungan dan penguatan rai sakral ini harus segera disosialisasikan kepada seluruh komponen masyarakat, agar mereka memahami dan mengetahui mengenai isi surat tersebut. “Harus dijalankan dengan penuh disiplin, tertib, dan tanggung jawab. Tidak perlu sanksi, karena ini kan bukan peraturan. Saya kira cara hidup tertib tidak harus dengan pemberian sanksi, tetapi melalui suatu kesadaran. Karena kita punya kepentingan untuk melindungi tari sakral,” imbuh Koster sembari mengatakan pihaknya sedang menyusun Peraturan Gubernur (Pergub) untuk pemberian pengahargaan kepada para pelaku seni dan lembaga seni yang karyanya bagus, termasuk yang melestarikan seni sakral.
Sedangkan Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati alias Cok Ace, menyambut baik perlindungan dan penguatan tari sakral ini dari kacamata dirinya sebagai seorang seniman seni sakral. Sebab, kata Cok Ace, orientasi sebagai seniman sakral berbeda dengan seniman yang profan, apalagi komersial.
“Seniman sakral, orientasinya 100 persen adalah persembahan kepada Tuhan. Kami tidak berpikir bahwa tarian kami (sakral) akan ditonton orang, ada yang tepuk tangan. Semua itu hanya dilakukan dengan keikhlasan. Kalau yang sakral diprofanisasi, apalagi dikomersialisasi, tentua arahnya sudah menyimpang,” jelas Cok Ace.
“Yang disakralkan di sini kan tarian dan atributnya, bukan orangnya. Sehingga peluang seseorang untuk mengembangkan karya sebagai seorang seniman, itu masih terbuka. Seorang penari bisa menari di pura, tapi juga bisa menari di hotel-hotel. Selama berjalan pada jalurnya, saya kira kesakralannya akan terjaga,” lanjut seniman asal Puri Agung Ubud ini. *ind
Komentar