Revisi UU KPK Resmi Disahkan DPR
ICW menilai keberadaan Dewan Pengawas hambat kerja KPK
JAKARTA, NusaBali
Meski mendapat penolakan luas dari masyarakat, Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) menjadi Undang-Undang.
"Apakah pembicaraan tingkat dua, pengambilan keputusan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU?" tanya Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin sidang.
"Setujuuu," jawab anggota DPR serempak seperti dilansir tempo. Undang-undang ini tetap disahkan kendati menuai kontroversi di publik. Pengesahan revisi UU KPK ini ternyata tak menunggu pertemuan Presiden Joko Widodo dengan pemimpin lembaga antirasuah itu.
"Kami enggak bisa, tidak mungkin kami harus menunggu KPK," ujar Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas di Kompleks Parlemen, Senayan Selasa (17/9).
Padahal, rapat paripurna tersebut hanya dihadiri 80 anggota DPR. Meski demikian, Fahri menyatakan ada 289 yang tercatat hadir dan izin dari 560 anggota dewan.
Menurut Fahri Hamzah, lembaga legislatif buru-buru mengesahkan revisi UU KPK karena mengejar masa jabatan DPR periode ini yang akan berakhir pada 30 September 2019.
"Karena ini sudah di ujung. Semua undang-undang begitu. Ini ada 8 sampai 10 UU yang dalam antrian. Revisi UU KPK ini sudah hampir 10 tahun ditunda," ujarnya.
Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly Dewan Pengawas bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Dijelaskan dalam Pasal 37B, Dewan Pengawas KPK berwenang untuk memberi atau tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan dan atau penyitaan oleh KPK. Tak hanya itu, Dewan Pengawas bisa mengevaluasi kinerja pimpinan KPK setiap satu tahun.
Poin kedua, Yasonna menyebut kewenangan penyadapan oleh KPK dapat dilaksanakan setelah mendapat izin tertulis dari Dewan Pengawas. Izin itu, kata dia, harus diberikan paling lambat 1x24 jam.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan saat ini sedang mengkaji revisi UU KPK yang telah disahkan DPR untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun mereka mengakui masih memerlukan diskusi lebih lanjut kemungkinan langkah apa yang akan diambil.
“Judicial review atau pengujian materi ke Mahkamah Konstitusi itu langkah yang sejauh ini masih memungkinkan dilakukan,” kata peneliti ICW Laola Easter, kepada wartawan saat berdemonstrasi menolak revisi UU KPK di depan Gedung DPR, Selasa (17/9).
Laola menyoroti soal Dewan Pengawas KPK yang diatur dalam UU KPK baru. Menurutnya secara substantif dewan pengawas ini dapat menghambat kerja-kerja KPK.
Pasalnya dewan pengawas memiliki kewenangan memberi izin kepada KPK untuk penyadapan dan penyitaan. “Jadi upaya-upaya hukum itu di internal KPK sendiri harus melalui mekanisme dewan pengawas,” kata dia.
Senada dengan ICW, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menilai banyak pasal UU itu melemahkan penindakan KPK. Poin-poin itu antara lain komisioner KPK bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut umum, penyadapan, penggeledahan, penyitaan harus izin dewan pengawas, Dewan Pengawas diangkat oleh Presiden, komisioner bukan lagi pimpinan tertinggi di KPK, dan status kepegawaian KPK berubah drastis dan harus melebur menjadi ASN.
"Hal-hal di atas berpotensi besar untuk mengganggu 'independensi' KPK dalam mengusut suatu kasus," sebut Laode. *
"Apakah pembicaraan tingkat dua, pengambilan keputusan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU?" tanya Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang memimpin sidang.
"Setujuuu," jawab anggota DPR serempak seperti dilansir tempo. Undang-undang ini tetap disahkan kendati menuai kontroversi di publik. Pengesahan revisi UU KPK ini ternyata tak menunggu pertemuan Presiden Joko Widodo dengan pemimpin lembaga antirasuah itu.
"Kami enggak bisa, tidak mungkin kami harus menunggu KPK," ujar Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas di Kompleks Parlemen, Senayan Selasa (17/9).
Padahal, rapat paripurna tersebut hanya dihadiri 80 anggota DPR. Meski demikian, Fahri menyatakan ada 289 yang tercatat hadir dan izin dari 560 anggota dewan.
Menurut Fahri Hamzah, lembaga legislatif buru-buru mengesahkan revisi UU KPK karena mengejar masa jabatan DPR periode ini yang akan berakhir pada 30 September 2019.
"Karena ini sudah di ujung. Semua undang-undang begitu. Ini ada 8 sampai 10 UU yang dalam antrian. Revisi UU KPK ini sudah hampir 10 tahun ditunda," ujarnya.
Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly Dewan Pengawas bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Dijelaskan dalam Pasal 37B, Dewan Pengawas KPK berwenang untuk memberi atau tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan dan atau penyitaan oleh KPK. Tak hanya itu, Dewan Pengawas bisa mengevaluasi kinerja pimpinan KPK setiap satu tahun.
Poin kedua, Yasonna menyebut kewenangan penyadapan oleh KPK dapat dilaksanakan setelah mendapat izin tertulis dari Dewan Pengawas. Izin itu, kata dia, harus diberikan paling lambat 1x24 jam.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan saat ini sedang mengkaji revisi UU KPK yang telah disahkan DPR untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun mereka mengakui masih memerlukan diskusi lebih lanjut kemungkinan langkah apa yang akan diambil.
“Judicial review atau pengujian materi ke Mahkamah Konstitusi itu langkah yang sejauh ini masih memungkinkan dilakukan,” kata peneliti ICW Laola Easter, kepada wartawan saat berdemonstrasi menolak revisi UU KPK di depan Gedung DPR, Selasa (17/9).
Laola menyoroti soal Dewan Pengawas KPK yang diatur dalam UU KPK baru. Menurutnya secara substantif dewan pengawas ini dapat menghambat kerja-kerja KPK.
Pasalnya dewan pengawas memiliki kewenangan memberi izin kepada KPK untuk penyadapan dan penyitaan. “Jadi upaya-upaya hukum itu di internal KPK sendiri harus melalui mekanisme dewan pengawas,” kata dia.
Senada dengan ICW, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menilai banyak pasal UU itu melemahkan penindakan KPK. Poin-poin itu antara lain komisioner KPK bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut umum, penyadapan, penggeledahan, penyitaan harus izin dewan pengawas, Dewan Pengawas diangkat oleh Presiden, komisioner bukan lagi pimpinan tertinggi di KPK, dan status kepegawaian KPK berubah drastis dan harus melebur menjadi ASN.
"Hal-hal di atas berpotensi besar untuk mengganggu 'independensi' KPK dalam mengusut suatu kasus," sebut Laode. *
Komentar