Karya Anak Autis Patut Diapresiasi
Mengapresiasi seniman tidak boleh ada diskriminasi.
DENPASAR, NusaBali
Bahkan karya anak yang mengalami spektrum autistik pun patut diapresiasi. Karenanya, Dr I Wayan ‘Kun’ Adnyana dan Ni Luh Desi Indiana Sari, dosen ISI Denpasar membuat program pembelajaran seni lukis media baju kaos kepada anak-anak spektrum autistik. Program ini dibuat menggunakan dana hibah Program Kemitraan Masyarakat (PKM) Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) Kemenristekdikti.
Mereka memiliki siswa anak-anak spektrum autistik di Rumah Belajar Autis Sarwahita (RBAS) di bawah naungan Yayasan Peduli Autisme Bali. Setelah program ini berjalan selama empat bulan, ternyata anak-anak spektrum autistik memiliki potensi untuk mengembangkan diri. “Mereka adalah anak-anak cerdas, yang bisa dikelola dan dimanajemen, sehingga bisa tumbuh mandiri dengan bakat yang memadai untuk menopang hidupnya di masa mendatang,” ujar Dr I Wayan ‘Kun’ Adnyana, di sela melihat pameran seni lukis anak spektrum autistik di Gedung Kriya, Taman Budaya Bali, Kamis (19/9) sore.
Kun yang juga merupakan Kadis Kebudayaan Provinsi Bali saat ini mengatakan, dunia pendidikan seni mestinya memasukkan ini sebagai bagian dari empati untuk tumbuh kembang anak-anak spektrum autistik. Dengan memberikan ruang terhadap hasil karya mereka, secara tidak langsung menjadi satu bentuk kepedulian terhadap tumbuh kembang anak autistik. “Ke depan semoga kegiatan ini bisa menjadi inspirasi dan semakin banyak pihak melakukan hal yang sama,” harapnya.
Sementara Ni Luh Desi Indiana Sari menambahkan, sebanyak 35 anak autis yang ikut dalam pameran tersebut, baik melukis di kertas maupun kaos. Total karya melukis di baju kaos sebanyak 35 buah, sedangkan melukis di media kertas sebanyak 40 karya mengambil tema ekspresi murni. “Anak-anak sangat antusias. Kebetulan saya sebagai pelaksana dari program kemitraan ini, dari hasil karya yang mereka pamerkan itu, mereka memiliki kemampuan lebih untuk kita apresiasi terutama di bidang seni murni,” jelasnya.
Proses kreatif anak-anak autis ini diklasifikasikan terlebih dahulu menurut kemampuan mereka. Sebab setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda. Ada yang kelompok dasar, transisi dan intermediet. Tantangan yang dihadapi harus pintar mengambil mood anak-anak. “Kalau mereka lagi senang, mereka akan mengingat sekali. Untuk menghasilkan karya, mereka termasuk cepat. Tergantung moodnya,” imbuhnya.
Ketua Yayasan Peduli Autisme Bali, Inayah Wiyartathi mengungkapkan, kebanyakan anak spektrum autistik berasal dari Denpasar. Usia mereka bervariasi mulai 7 – 20 tahun. Pihaknya berterima kasih karena adanya kesempatan yang diberikan kepada anak-anak spektrum autistik. Dengan harapan program pengembangan diri ini bisa menambah ilmu baru yang bermanfaat ke depannya. “Salah satunya buat mereka bisa menggali potensi, minat dan bakat. Suatu saat ketika mereka dewasa, ini akan membantu dan bisa menjadi salah satu alternatif mata pencaharian mereka. Selain itu, juga melatih motorik halus anak,” katanya. *ind
Mereka memiliki siswa anak-anak spektrum autistik di Rumah Belajar Autis Sarwahita (RBAS) di bawah naungan Yayasan Peduli Autisme Bali. Setelah program ini berjalan selama empat bulan, ternyata anak-anak spektrum autistik memiliki potensi untuk mengembangkan diri. “Mereka adalah anak-anak cerdas, yang bisa dikelola dan dimanajemen, sehingga bisa tumbuh mandiri dengan bakat yang memadai untuk menopang hidupnya di masa mendatang,” ujar Dr I Wayan ‘Kun’ Adnyana, di sela melihat pameran seni lukis anak spektrum autistik di Gedung Kriya, Taman Budaya Bali, Kamis (19/9) sore.
Kun yang juga merupakan Kadis Kebudayaan Provinsi Bali saat ini mengatakan, dunia pendidikan seni mestinya memasukkan ini sebagai bagian dari empati untuk tumbuh kembang anak-anak spektrum autistik. Dengan memberikan ruang terhadap hasil karya mereka, secara tidak langsung menjadi satu bentuk kepedulian terhadap tumbuh kembang anak autistik. “Ke depan semoga kegiatan ini bisa menjadi inspirasi dan semakin banyak pihak melakukan hal yang sama,” harapnya.
Sementara Ni Luh Desi Indiana Sari menambahkan, sebanyak 35 anak autis yang ikut dalam pameran tersebut, baik melukis di kertas maupun kaos. Total karya melukis di baju kaos sebanyak 35 buah, sedangkan melukis di media kertas sebanyak 40 karya mengambil tema ekspresi murni. “Anak-anak sangat antusias. Kebetulan saya sebagai pelaksana dari program kemitraan ini, dari hasil karya yang mereka pamerkan itu, mereka memiliki kemampuan lebih untuk kita apresiasi terutama di bidang seni murni,” jelasnya.
Proses kreatif anak-anak autis ini diklasifikasikan terlebih dahulu menurut kemampuan mereka. Sebab setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda. Ada yang kelompok dasar, transisi dan intermediet. Tantangan yang dihadapi harus pintar mengambil mood anak-anak. “Kalau mereka lagi senang, mereka akan mengingat sekali. Untuk menghasilkan karya, mereka termasuk cepat. Tergantung moodnya,” imbuhnya.
Ketua Yayasan Peduli Autisme Bali, Inayah Wiyartathi mengungkapkan, kebanyakan anak spektrum autistik berasal dari Denpasar. Usia mereka bervariasi mulai 7 – 20 tahun. Pihaknya berterima kasih karena adanya kesempatan yang diberikan kepada anak-anak spektrum autistik. Dengan harapan program pengembangan diri ini bisa menambah ilmu baru yang bermanfaat ke depannya. “Salah satunya buat mereka bisa menggali potensi, minat dan bakat. Suatu saat ketika mereka dewasa, ini akan membantu dan bisa menjadi salah satu alternatif mata pencaharian mereka. Selain itu, juga melatih motorik halus anak,” katanya. *ind
Komentar