MUTIARA WEDA: Metode Belajar Hindu
Refleksi (manana) seratus kali lebih unggul daripada mendengarkan (sravana); meditasi (nididhyasana) seratus kali lebih unggul daripada refleksi; nirvikalpa Samadhi jauh lebih unggul.
Sruteh satagunam vidyanmananam mananadapi,
Nidimdhyasam laksagunamanantam nirvikalpanam.
(Vivekacudamani, 346)
HINDU menyajikan metode yang unik dalam hal belajar. Tidak tertutup kemungkinan memiliki keunggulan yang bisa diadopsi secara universal. Selama ini orang dikatakan memiliki pengetahuan hanya ketika mampu mengumpulkan berbagai informasi ke dalam pikiran (sravana) dan kemudian pikiran mengunyahnya dalam wujud refleksi sehingga menjadi sangat refined. Sistem pengetahuan atau filsafat yang hebat hadir dari proses refleksi mendalam tersebut. Tetapi, menurut teks di atas, kecerdasan reflektif tersebut belum cukup dikatakan sebagai ‘mengetahui’. Jika sampai manana, sehebat apapun mampu mencapainya, belum dikatakan memiliki pengetahuan, sebab itu baru hanya sebatas informasi. Subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui masih berbeda. Struktur keberadaan objek belum integral dengan si subjek.
Di Barat, dewasa ini, mungkin sravana dan manana dalam proses belajar diterapkan dengan sangat baik sehingga, sistem pengetahuan, filsafat, dan teknologi berkembang baik, melampaui negara-negara Timur. Namun, Timur sejak dahulu telah menyadari bahwa kemegahan sistem pengetahuan, filsafat, dan teknologi itu belum menyentuh perkembangan kesadaran manusia. Kesadaran manusia baik di zaman ‘primitif’ yang sangat sederhana (mungkin masih barbarik dan penuh kekerasan) maupun di era peradaban tinggi dewasa ini, tidak banyak mengalami perubahan. Yang banyak berbeda adalah tampilan fisiknya dari sederhana menjadi sangat kompleks dan modern, sementara dasar kesadaran orang tetap sama. Mereka tidak bisa meninggalkan kemarahan, perilaku barbar, dan penuh kekerasan. Bahkan dengan pesatnya teknologi, alat yang diciptakan itu justru bisa dijadikan pemicu yang sangat efektif untuk melakukan kekerasan, seperti peperangan yang dampaknya jauh lebih mengerikan.
Hindu memberikan satu lagi formula belajar yang kurang diperhatikan, yakni nididhyasana. Apa itu? Kontemplasi, meditasi. Si subjek yang mengetahui berkontemplasi terhadap objek yang diketahui, sehingga struktur objektif dapat dirasakan langsung, atau mengalir langsung bersama si subjek. Boleh dikatakan bahwa nididhyasana adalah proses penyatuan dengan objek yang diketahui. Seperti halnya air. Ketika kita melihat air atau mendengar tentang air, itu adalah sravana, sebuah informasi yang masuk ke dalam telinga dan diteruskan ke ranah kognitif. Pikiran kemudian mengolahnya tentang apa itu air, dari mana datangnya, apa fungsinya bagi tubuh dan kandungan apa saja yang ada di dalam air. Atau mungkin lebih lanjut, bagaimana struktur atom dari air yang layak dikonsumsi dan sebagainya. Ini adalah proses manana, refleksi yang mendalam terhadap objek yang dipelajari. Pengetahuan yang tinggi terhadap air yang muncul dari penyelidikan pikiran tersebut belum disebut pengetahuan dari Hindu. Ketika air itu kemudian diminum da
n menyatu di dalam aliran darah dan menutrisi tubuh, hanya ketika itu air menjadi sebuah pengetahuan yang sejati.
Artinya, seseorang harus masuk ke dalam struktur terdalam dari objek yang diketahui tersebut. Hanya di dalam nididhyasana ini kesadaran individu mengalami perluasan, yakni mampu menyentuh dunia objektif yang berada di luar dirinya. Dalam tataran yang lebih tinggi, seseorang yang meditasinya telah tinggi mampu merasakan semesta. Dirinya telah menjadi kosmos, sehingga apapun yang ada secara esensi di dalam kosmos telah dia ketahui melalui pengalaman langsung menjadi satu dengan itu. Namun, mekipun demikian, itu belumlah akhir dari semuanya. Baru menjadi kosmik, menjadi satu dengan seluruh benda belum merupakan final. Hal ini baru seperti orang yang mengisap manisan. Manisan dan dirinya telah menjadi satu, tetapi masih si subjek merasakan manisan. Objek masih dirasakan oleh si subjek. Kesadaran seperti ini belum merupakan akhir.
Hindu memiliki satu lagi, yakni nirvikalpa Samadhi. Ketika semua bekas yang ada telah lenyap. Ketika si subjek telah masuk ke dalam kesadaran murninya dan si objek juga lenyap ke dalam kesadaran murninya, tahapan ini baru bisa diraih. Kesadaran ini benar-benar bisa diraih hanya ketika semua jejak duniawi ditinggalkan dan kemudian berada di dalam kesadaran murni. Dalam Yoga Sutra Patanjali disebutkan bahwa keadaan Nirvikalpa Samadhi ini adalah yang tertinggi di mana tidak lagi ada kemungkinan untuk lahir ke dunia ini, sebab tidak lagi adanya sisa-sisa vasanas. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Vivekacudamani, 346)
HINDU menyajikan metode yang unik dalam hal belajar. Tidak tertutup kemungkinan memiliki keunggulan yang bisa diadopsi secara universal. Selama ini orang dikatakan memiliki pengetahuan hanya ketika mampu mengumpulkan berbagai informasi ke dalam pikiran (sravana) dan kemudian pikiran mengunyahnya dalam wujud refleksi sehingga menjadi sangat refined. Sistem pengetahuan atau filsafat yang hebat hadir dari proses refleksi mendalam tersebut. Tetapi, menurut teks di atas, kecerdasan reflektif tersebut belum cukup dikatakan sebagai ‘mengetahui’. Jika sampai manana, sehebat apapun mampu mencapainya, belum dikatakan memiliki pengetahuan, sebab itu baru hanya sebatas informasi. Subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui masih berbeda. Struktur keberadaan objek belum integral dengan si subjek.
Di Barat, dewasa ini, mungkin sravana dan manana dalam proses belajar diterapkan dengan sangat baik sehingga, sistem pengetahuan, filsafat, dan teknologi berkembang baik, melampaui negara-negara Timur. Namun, Timur sejak dahulu telah menyadari bahwa kemegahan sistem pengetahuan, filsafat, dan teknologi itu belum menyentuh perkembangan kesadaran manusia. Kesadaran manusia baik di zaman ‘primitif’ yang sangat sederhana (mungkin masih barbarik dan penuh kekerasan) maupun di era peradaban tinggi dewasa ini, tidak banyak mengalami perubahan. Yang banyak berbeda adalah tampilan fisiknya dari sederhana menjadi sangat kompleks dan modern, sementara dasar kesadaran orang tetap sama. Mereka tidak bisa meninggalkan kemarahan, perilaku barbar, dan penuh kekerasan. Bahkan dengan pesatnya teknologi, alat yang diciptakan itu justru bisa dijadikan pemicu yang sangat efektif untuk melakukan kekerasan, seperti peperangan yang dampaknya jauh lebih mengerikan.
Hindu memberikan satu lagi formula belajar yang kurang diperhatikan, yakni nididhyasana. Apa itu? Kontemplasi, meditasi. Si subjek yang mengetahui berkontemplasi terhadap objek yang diketahui, sehingga struktur objektif dapat dirasakan langsung, atau mengalir langsung bersama si subjek. Boleh dikatakan bahwa nididhyasana adalah proses penyatuan dengan objek yang diketahui. Seperti halnya air. Ketika kita melihat air atau mendengar tentang air, itu adalah sravana, sebuah informasi yang masuk ke dalam telinga dan diteruskan ke ranah kognitif. Pikiran kemudian mengolahnya tentang apa itu air, dari mana datangnya, apa fungsinya bagi tubuh dan kandungan apa saja yang ada di dalam air. Atau mungkin lebih lanjut, bagaimana struktur atom dari air yang layak dikonsumsi dan sebagainya. Ini adalah proses manana, refleksi yang mendalam terhadap objek yang dipelajari. Pengetahuan yang tinggi terhadap air yang muncul dari penyelidikan pikiran tersebut belum disebut pengetahuan dari Hindu. Ketika air itu kemudian diminum da
n menyatu di dalam aliran darah dan menutrisi tubuh, hanya ketika itu air menjadi sebuah pengetahuan yang sejati.
Artinya, seseorang harus masuk ke dalam struktur terdalam dari objek yang diketahui tersebut. Hanya di dalam nididhyasana ini kesadaran individu mengalami perluasan, yakni mampu menyentuh dunia objektif yang berada di luar dirinya. Dalam tataran yang lebih tinggi, seseorang yang meditasinya telah tinggi mampu merasakan semesta. Dirinya telah menjadi kosmos, sehingga apapun yang ada secara esensi di dalam kosmos telah dia ketahui melalui pengalaman langsung menjadi satu dengan itu. Namun, mekipun demikian, itu belumlah akhir dari semuanya. Baru menjadi kosmik, menjadi satu dengan seluruh benda belum merupakan final. Hal ini baru seperti orang yang mengisap manisan. Manisan dan dirinya telah menjadi satu, tetapi masih si subjek merasakan manisan. Objek masih dirasakan oleh si subjek. Kesadaran seperti ini belum merupakan akhir.
Hindu memiliki satu lagi, yakni nirvikalpa Samadhi. Ketika semua bekas yang ada telah lenyap. Ketika si subjek telah masuk ke dalam kesadaran murninya dan si objek juga lenyap ke dalam kesadaran murninya, tahapan ini baru bisa diraih. Kesadaran ini benar-benar bisa diraih hanya ketika semua jejak duniawi ditinggalkan dan kemudian berada di dalam kesadaran murni. Dalam Yoga Sutra Patanjali disebutkan bahwa keadaan Nirvikalpa Samadhi ini adalah yang tertinggi di mana tidak lagi ada kemungkinan untuk lahir ke dunia ini, sebab tidak lagi adanya sisa-sisa vasanas. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar