'Krama Bali Harus Kawal Revisinya'
RKUHP Disebut Produk Politik yang Kurang Disosialisasikan
Kini demokrasi Indonesia sudah sangat maju, hanya perlu perbaiki kualitasnya, RKUHP ini diketok semua elemen warga kena dampaknya.
DENPASAR,NusaBali
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang banyak mendapatkan penolakan dinilai kurang sosialisasi di bawah. RKUHP yang dinilai sebagai produk politik karena dibahas oleh wakil parpol di DPR RI itu ke depan harus dikawal penuh supaya pasal-pasal karet benar-benar dihapuskan.
Pengamat politik, demokrasi dan perempuan yang juga Ketua Bali Sruti Provinsi Bali, Luh Riniti Rahayu, di Denpasar, Kamis (26/9) siang mengatakan RKUHP yang batal disahkan adalah produk hukum yang banyak mengandung pasal kontroversial.
“RKUHP ini menjadi aneh dan kontroversial dan membuat demokrasi kita mundur,” ujar Riniti. Kata dia, dalam perjalanan waktu demokrasi di Indonesia sudah sangat maju, hanya perlu perbaiki kualitasnya. Nah kalau RKUHP ini diketok palu, semua elemen masyarakat kena dampak buruknya. Media, kaum profesional, kaum marginal terutama kaum perempuan kena dampaknya.
Perempuan pulang malam usai bekerja bisa dituduh gelandangan adalah salah satu pasal yang mengancam kaum perempuan. “Hidup perempuan jadi mengerikan. Sekarang RKUHP ini sudah ditunda, bukan berarti kami perempuan sudah aman. Malah bisa-bisa ketok palu disidang paripurna berikutnya,” ujar akademisi dari Universitas Ngurah Rai Denpasar ini. Riniti menyebutkan seandainya sampai masa jabatan anggota DPR RI 2019-2024 RKUHP ini ditunda pengesahannya, maka masyarakat bisa mengawal ketat proses revisinya.
“Kami mendorong masyarakat, seluruh elemen rakyat supaya kawal proses revisinya. Karena RKUHP ini yang mengatur kehidupan kita sehari-hari. RKUHP ini ditolak bukti karena selama ini tidak tersosialisasikan dengan baik. Kalau selama ini disosialisasikan maka perempuan menolak,” ujarnya. Kenapa? “Iyalah karena para ahli hukum juga tidak banyak yang tahu. RUU itu tidak tersosialisasi dengan baik, tidak sesuai proses. Alasan saja DPR bilang sudah ketemu para dosen hukum, terbukti karena mahasiswa sudah bergerak. Bersyukur mahasiswa bergerak, mereka calon pemimpin masa depan. Makanya semua RUU yang menyangkut masyarakat banyak mahasiswa harus tahu, harus disosialisasikan pada mereka. Jangan sampai mahasiswa kaget, lalu marah, lalu bergerak. Pengalaman harus menjadikan kita untuk belajar,” ujar mantan Komisioner KPU Bali ini.
Sementara RKUHP kurang tersosialisasikan dan dapat penolakan juga diungkapkan tokoh seni dan budaya yang juga Ketua Yayasan Seni Yasa Putra Sedana, Dewa Ngakan Rai Budiasa, Kamis kemarin. Rai Budiasa menyebutkan jika RKUHP diberlakukan seniman perempuan juga kena. Bagaimana tidak, salah satu pasal RKUHP menyebutkan perempuan bisa dituduh gelandangan ketika pulang malam.
“Ini sungguh mengerikan. Penari perempuan di Sanggar kami di Yayasan Yasa Putra Sedana hampir tiap hari pulang malam. Karena selesai pentasnya malam-malam. Mereka ini juga terancam oleh RKUHP. Jadi ini memang harus ditunda diketok palu. Kita berharap wakil rakyat kita dari Bali berjuang untuk merevisinya,” ujar Rai Budiasa.
Selain penari kena dampak dari pemberlakuan RKUHP tersebut, para turis asing yang menikmati hiburan malam di Sanggar Seni juga bisa kena pasal. “Mereka juga pulang malam menonton hiburan di Sanggar kami. Aduh, ini ancaman juga dengan pariwisata kita,” ujar mantan staf di Kedutaan Besar Jerman yang kini Dewan Penasehat Kadin Bali ini. *nat
Pengamat politik, demokrasi dan perempuan yang juga Ketua Bali Sruti Provinsi Bali, Luh Riniti Rahayu, di Denpasar, Kamis (26/9) siang mengatakan RKUHP yang batal disahkan adalah produk hukum yang banyak mengandung pasal kontroversial.
“RKUHP ini menjadi aneh dan kontroversial dan membuat demokrasi kita mundur,” ujar Riniti. Kata dia, dalam perjalanan waktu demokrasi di Indonesia sudah sangat maju, hanya perlu perbaiki kualitasnya. Nah kalau RKUHP ini diketok palu, semua elemen masyarakat kena dampak buruknya. Media, kaum profesional, kaum marginal terutama kaum perempuan kena dampaknya.
Perempuan pulang malam usai bekerja bisa dituduh gelandangan adalah salah satu pasal yang mengancam kaum perempuan. “Hidup perempuan jadi mengerikan. Sekarang RKUHP ini sudah ditunda, bukan berarti kami perempuan sudah aman. Malah bisa-bisa ketok palu disidang paripurna berikutnya,” ujar akademisi dari Universitas Ngurah Rai Denpasar ini. Riniti menyebutkan seandainya sampai masa jabatan anggota DPR RI 2019-2024 RKUHP ini ditunda pengesahannya, maka masyarakat bisa mengawal ketat proses revisinya.
“Kami mendorong masyarakat, seluruh elemen rakyat supaya kawal proses revisinya. Karena RKUHP ini yang mengatur kehidupan kita sehari-hari. RKUHP ini ditolak bukti karena selama ini tidak tersosialisasikan dengan baik. Kalau selama ini disosialisasikan maka perempuan menolak,” ujarnya. Kenapa? “Iyalah karena para ahli hukum juga tidak banyak yang tahu. RUU itu tidak tersosialisasi dengan baik, tidak sesuai proses. Alasan saja DPR bilang sudah ketemu para dosen hukum, terbukti karena mahasiswa sudah bergerak. Bersyukur mahasiswa bergerak, mereka calon pemimpin masa depan. Makanya semua RUU yang menyangkut masyarakat banyak mahasiswa harus tahu, harus disosialisasikan pada mereka. Jangan sampai mahasiswa kaget, lalu marah, lalu bergerak. Pengalaman harus menjadikan kita untuk belajar,” ujar mantan Komisioner KPU Bali ini.
Sementara RKUHP kurang tersosialisasikan dan dapat penolakan juga diungkapkan tokoh seni dan budaya yang juga Ketua Yayasan Seni Yasa Putra Sedana, Dewa Ngakan Rai Budiasa, Kamis kemarin. Rai Budiasa menyebutkan jika RKUHP diberlakukan seniman perempuan juga kena. Bagaimana tidak, salah satu pasal RKUHP menyebutkan perempuan bisa dituduh gelandangan ketika pulang malam.
“Ini sungguh mengerikan. Penari perempuan di Sanggar kami di Yayasan Yasa Putra Sedana hampir tiap hari pulang malam. Karena selesai pentasnya malam-malam. Mereka ini juga terancam oleh RKUHP. Jadi ini memang harus ditunda diketok palu. Kita berharap wakil rakyat kita dari Bali berjuang untuk merevisinya,” ujar Rai Budiasa.
Selain penari kena dampak dari pemberlakuan RKUHP tersebut, para turis asing yang menikmati hiburan malam di Sanggar Seni juga bisa kena pasal. “Mereka juga pulang malam menonton hiburan di Sanggar kami. Aduh, ini ancaman juga dengan pariwisata kita,” ujar mantan staf di Kedutaan Besar Jerman yang kini Dewan Penasehat Kadin Bali ini. *nat
Komentar