Pecalang Kubutambahan Pasang Badan
Beredar Isu Tolak Tanah Adat Jadi Lokasi Bandara
Pecalang Desa Adat Kubutambahan dan Prajuru Desa/Kecamatan Kubutambahan, Buleleng terpaksa turun ke lapangan, Jumat (27/9), menyusul merebaknya isu adanya pegerakan massa menolak pembangunan Bandara Internasional Bali Utara di atas tanah duwen pura.
SINGARAJA, NusaBali
Begitu ditelusuri, ternyata isu pergerakan massa itu hanya isapan jem-pol. Isu penolakan pembangunan bandara di atas tanah duwen Pura Desa Adat Kubutambahan seluas 370,89 hektare tersebut beredar melalui pesan WhatsApp (WA), Jumat pagi. Dalam pesan WA itu disebutkan ada pergerakan massa dari tiga desa bertetangga di Kecamatan Kubutambahan yang terdampak pembangunan bandara, yakni Desa Bukti (sisi timur), Desa Bulian (sisi selatan), dan Desa Kubutambahan (sisi utara).
Pergerakan massa tersebut dikatakan menolak bandara internasional dibangun di atas tanah duwen Pura Desa Adat Kubutambahan. Massa diinformasikan berkumpul di perbatasan ketiga desa bertetangga tersebut.
Beredarnya isu tersebut kontan membuat sejumlah pihak gerah. Pecalang Desa Adat Kubutambahan pun turun dan berjaga di sejumlah titik tanah duwen pura, yang rencananya akan dijadikan lahan pembangunan bandara. Pecalang berjaga menyebar, terutama di titik-titik perbatasan tiga desa. Namun, hingga Jumat siang, ternyata tidak ada tanda-tanda ada pergerakan massa.
Menurut kesaksian seorang krama yang juga jadi pecalang Desa Kubutambahan, Nengah Lengka, dirinya memang sempat melihat ada aktivitas beberapa orang berpakaian adat madya di perbatasan Desa Kubutambahan dan Desa Bulian, jumat pagi sekitar pukul 07.00 Wita. Hanya saja, Nengah Lengka tidak mengetahui dari mana mereka.
Yang jelas, menurut Nengah Langka, mereka terlihat memasang sebuah baliho di sebelah selatan SMKN Bali Mandara, yang berlokasi di perbatasan Banjar Tukad Ampel (Desa Kubutambahan) dan Banjar Bantes (Desa Bulian). Baliho yang dipasang orang itu berisi foto wajah Gubernur Bali Wayan Koster dan Wagub Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace), lengkap dengan slogan visi ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’.
“Saya kebetulan tadi ada di kandang sapi, kasi makan ternak. Saya lihat ada ramai-ramai di jalan. Saya dekati, maunya saya tanya ada apa? Namun, sebelum saya sampai, mereka sudah bubar,” papar Nengah Lengka.
Kabar pemasangan baliho di perbatasan Desa Kubutambahan dan Desa Bulian itu itu pun langsung menyebar. Sejumlah prajuru desa kemudian datang ke lokasi. Di antaranya, Kelian Adat Banjar Tapak Dara (Desa Kubutambahan) Gede Redika, Kelian Adat Banjar Kaja Kangin (Desa Kubutambahan) Komang Menak, prajuru Desa Adat Kubutambahan Ngurah Markota, Pecalang Desa Adat Kubutambahan Gede Anggastia, Kelian Pangempon Pura Penyusuan Desa Adat Kubutambahan Ketut Arcana Dangin, dan Perbekel Kubutambahan non aktif Gede Pariadnyana.
“Karena dengar ada aksi, makanya kami di sini. Saya sendiri diutus Kelian Desa Adat Kubutambahan (Jro Pasek Ketut Warkadea, Red) untuk memantau situasi,” ungkap pecalang Gede Anggastia di lokasi pemasangan baliho, Jumat kemarin.
Gede Anggastia mengatakan, pihaknya hanya melakukan pengecekan di lokasi tersebut. “Tadinya, kalau memang baliho itu bernada provokasi, akan kami copot. Tapi, kalau balihonya seperti ini, ya kami biarkan saja. Toh tidak ada unsur penolakan (bangun bandara di lahan duwe pura, Red). Kami tidak mau pihak-pihak dari luar membuat suasana desa kami tidak kondusif,” tegas Anggastia kepada NusaBali.
Sementara itu, Bendesa Adat Sanih, Desa Bukti, Jro Made Sukresna, mengaku sempat mendengar adanya informasi aksi pergerakan massa tersebut. Namun, Jro Made Sukresna menolak berpartisipasi dalam aksi penolakan bangun bandara di lahan adat ini. Jro Mde Sukresna keberatan jika Desa Adat Sanih dibawa-bawa dalam aksi penolakan bandara tersebut.
“Kami tidak ikut-lah. Memang saya dengar ada yang mengajak krama kami di Sanih ikut terlibat. Menurut saya, baiknya diskusi dulu, sampaikan tujuannya seperti apa. Ini kan tujuannya apa, tidak jelas. Tahu-tahu, katanya ada aksi. Kami pastikan dari Desa Adat Sanih tidak ada krama yang terlibat,” tegas Jro made Sukresna.
Bandara Internasional Bali Utara sendiri rencananya akan dibangun Kementerian Perhubungan, di Desa/Kecamatan Kubutambahan, Buleleng. Pembangunan bandara ini memerlukan lahan sekitar 400 he-ktare. Sebanyak 370,89 hektare di antaranya sudah dilepas oleh pihak Desa Adat Kubutambahan. Lahan seluas 370,89 hektare itu merupakan tanah duwe Pura Desa Kubutambahan. Surat kesepakatan pihak adat untuk melepas tanah duwe pura tersebut sudah diserahkan Bendesa Adat Kubutambahan, Jero Pasek Ketut Warkadea, kepada Gubernur Koster di Denpasar, Minggu (8/9) lalu.
Run way (landasan pacu) Bandara Internasional Bali Utara akan dibangun sepanjang 3.750 meter. Posisi run way memanjang sejauh arah barat-timur. Ujung barat run way berada di Banjar Pasek, Desa Kubutambahan, sementara ujung timur berada di Banjar Sanih, Desa Bukti, Kecamatan Kubutambahan. Nantinya, Terminal Bandara Interna-sional Bali Utara akan dibangun di sekitar Bukit Teletubies, Banjar Tukad Ampel, Desa Kubutambahan menghadap ke arah utara. Posisi terminal bandara berada di sebelah selatan run way. *k19
Pergerakan massa tersebut dikatakan menolak bandara internasional dibangun di atas tanah duwen Pura Desa Adat Kubutambahan. Massa diinformasikan berkumpul di perbatasan ketiga desa bertetangga tersebut.
Beredarnya isu tersebut kontan membuat sejumlah pihak gerah. Pecalang Desa Adat Kubutambahan pun turun dan berjaga di sejumlah titik tanah duwen pura, yang rencananya akan dijadikan lahan pembangunan bandara. Pecalang berjaga menyebar, terutama di titik-titik perbatasan tiga desa. Namun, hingga Jumat siang, ternyata tidak ada tanda-tanda ada pergerakan massa.
Menurut kesaksian seorang krama yang juga jadi pecalang Desa Kubutambahan, Nengah Lengka, dirinya memang sempat melihat ada aktivitas beberapa orang berpakaian adat madya di perbatasan Desa Kubutambahan dan Desa Bulian, jumat pagi sekitar pukul 07.00 Wita. Hanya saja, Nengah Lengka tidak mengetahui dari mana mereka.
Yang jelas, menurut Nengah Langka, mereka terlihat memasang sebuah baliho di sebelah selatan SMKN Bali Mandara, yang berlokasi di perbatasan Banjar Tukad Ampel (Desa Kubutambahan) dan Banjar Bantes (Desa Bulian). Baliho yang dipasang orang itu berisi foto wajah Gubernur Bali Wayan Koster dan Wagub Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace), lengkap dengan slogan visi ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’.
“Saya kebetulan tadi ada di kandang sapi, kasi makan ternak. Saya lihat ada ramai-ramai di jalan. Saya dekati, maunya saya tanya ada apa? Namun, sebelum saya sampai, mereka sudah bubar,” papar Nengah Lengka.
Kabar pemasangan baliho di perbatasan Desa Kubutambahan dan Desa Bulian itu itu pun langsung menyebar. Sejumlah prajuru desa kemudian datang ke lokasi. Di antaranya, Kelian Adat Banjar Tapak Dara (Desa Kubutambahan) Gede Redika, Kelian Adat Banjar Kaja Kangin (Desa Kubutambahan) Komang Menak, prajuru Desa Adat Kubutambahan Ngurah Markota, Pecalang Desa Adat Kubutambahan Gede Anggastia, Kelian Pangempon Pura Penyusuan Desa Adat Kubutambahan Ketut Arcana Dangin, dan Perbekel Kubutambahan non aktif Gede Pariadnyana.
“Karena dengar ada aksi, makanya kami di sini. Saya sendiri diutus Kelian Desa Adat Kubutambahan (Jro Pasek Ketut Warkadea, Red) untuk memantau situasi,” ungkap pecalang Gede Anggastia di lokasi pemasangan baliho, Jumat kemarin.
Gede Anggastia mengatakan, pihaknya hanya melakukan pengecekan di lokasi tersebut. “Tadinya, kalau memang baliho itu bernada provokasi, akan kami copot. Tapi, kalau balihonya seperti ini, ya kami biarkan saja. Toh tidak ada unsur penolakan (bangun bandara di lahan duwe pura, Red). Kami tidak mau pihak-pihak dari luar membuat suasana desa kami tidak kondusif,” tegas Anggastia kepada NusaBali.
Sementara itu, Bendesa Adat Sanih, Desa Bukti, Jro Made Sukresna, mengaku sempat mendengar adanya informasi aksi pergerakan massa tersebut. Namun, Jro Made Sukresna menolak berpartisipasi dalam aksi penolakan bangun bandara di lahan adat ini. Jro Mde Sukresna keberatan jika Desa Adat Sanih dibawa-bawa dalam aksi penolakan bandara tersebut.
“Kami tidak ikut-lah. Memang saya dengar ada yang mengajak krama kami di Sanih ikut terlibat. Menurut saya, baiknya diskusi dulu, sampaikan tujuannya seperti apa. Ini kan tujuannya apa, tidak jelas. Tahu-tahu, katanya ada aksi. Kami pastikan dari Desa Adat Sanih tidak ada krama yang terlibat,” tegas Jro made Sukresna.
Bandara Internasional Bali Utara sendiri rencananya akan dibangun Kementerian Perhubungan, di Desa/Kecamatan Kubutambahan, Buleleng. Pembangunan bandara ini memerlukan lahan sekitar 400 he-ktare. Sebanyak 370,89 hektare di antaranya sudah dilepas oleh pihak Desa Adat Kubutambahan. Lahan seluas 370,89 hektare itu merupakan tanah duwe Pura Desa Kubutambahan. Surat kesepakatan pihak adat untuk melepas tanah duwe pura tersebut sudah diserahkan Bendesa Adat Kubutambahan, Jero Pasek Ketut Warkadea, kepada Gubernur Koster di Denpasar, Minggu (8/9) lalu.
Run way (landasan pacu) Bandara Internasional Bali Utara akan dibangun sepanjang 3.750 meter. Posisi run way memanjang sejauh arah barat-timur. Ujung barat run way berada di Banjar Pasek, Desa Kubutambahan, sementara ujung timur berada di Banjar Sanih, Desa Bukti, Kecamatan Kubutambahan. Nantinya, Terminal Bandara Interna-sional Bali Utara akan dibangun di sekitar Bukit Teletubies, Banjar Tukad Ampel, Desa Kubutambahan menghadap ke arah utara. Posisi terminal bandara berada di sebelah selatan run way. *k19
1
Komentar