Ditemukan Lontar Langka Beraksara Buda Satu-satunya di Bali
Digitalisasi 13 Cakep Lontar Milik Dadia Arya Ularan di Desa Jinengdalem, Kecamatan Buleleng
Versi Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Buleleng, Ida Bagus Ari Wijaya, aksara Buda berkembang di zaman Kerajaan Majapahit, terakhir kali digunakan di lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu
SINGARAJA, NusaBali
Sebuah cakep lontar langka milik Dadia Arya Ularan di Banjar Ketug Ketug, Desa Jinengdalem, Kecamatan Buleleng sudah didigitalisasi oleh Penyuluh Bahasa Bali, Minggu (29/9). Uniknya, cakep lontar yang terdiri dari 71 lembar itu bertuliskan aksara Buda. Ini kasus langka dan menjadi satu-satunya lontar beraksara Buda yang ditemukan di Bali.
Cakep lontar beraksara Buda milik krama Dadia Arya Ularan di Desa Jinengdalem ini sudah berumur sekitar 300 tahun. Lontar langka ini sebelumnya ditemukan setelah pihak Dadia Arya Ularan meminta bantuan Penyuluh Bahasa Bali untuk konservasi lontar-lontar warisan leluhur yang masih tersimpan.
Ternyata, ketika dilakukan konservasi tahun 2018 lalu, dari 13 cakep lontar milik Dadia Arya Ularan, Penyuluh Bahasa Bali mendapati satu cakep lontar beraksara Buda. Kondisi lontar langka ini masih lengkap dan dalam keadaan utuh. Aksara Buda yang digunakan dalam lontar ini kerap disebut sebagai akasara Merapi atau Akara Merbabu. Berdasarkan katalog Perpustakaan Nasional, aksara Buda ini ber-kembang di zaman Kerajaan Majapahit dan terakhir kali dipakai sekitar tahun 1708.
Singkat cerita, setelah mendapatkan izin dari krama Dadia Arya Ularan, lontar langka beraksara Buda ini kemudian didigitalisasi sebagai arsip dan alih akasara untuk mengetahui isi yang tersurat di dalamnya. Proses digitalisasi dilakukan di Pura Dadia Arya Ularan, Banjar Ketut Ketug, Desa Jinengdalem, Minggu kemarin.
Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Buleleng, Ida Bagus Ari Wijaya, terjun langsung mengeksekusi digitalisasi lontar langka ini melalui teknik pengambilan gambar khusus menggunakan kamera SLR. Saat eksekusi di Pura Dadia Arya Ularan hari itu, IB Ari Wijaya didampingi oleh pakar lontar Sugi Lanus.
“Kalau dari segi isi, lontar beraksara Buda ini sama seperti beberapa lontar lainnya yang membahas tentang Siwaisme, termasuk ajaran dan tata cara menjadi orang suci. Tapi, yang unik adalah dari segi tulisannya yang memang bukan tradisi Bali. Aksara Buda itu banyak digunakan di lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di Jawa, yang menurut katalog Perpustakaan Nasional berkembang pada zaman Majapahit,” jelas IB Ari Wijaya kepada NusaBali.
Menurut Ari Wijaya, aksara Buda terakhir kali digunakan tahun 1708 silam. Karena itu, cakep lontar beraksara Buda milik krama Dadia Arya Ularan di Desa Jinengdalem diperkirakan sudah berusia 300 tahun lebih. Meski belum dibaca dan dialih aksarakan secara keseluruhan, namun isi lontar beraksara Buda ini secara umum menjelaskan tentang ajaran Siwaisme yang sangat komplek.
Ini sama seperti pada lontar-lontar Bhuana Kosa, Wrespati Tatwa, dan Ganapati Tatwa. “Ini lontar beraksara Buda pertama yang ditemukan di Bali. Kondisi sangat wah, bagus, dan tulisannya rapi. Kalau menurut data Perpusnas, disebutkan ada satu lagi lontar sejenis di Gianyar. Tapi, sampai saat ini kami belum pernah lihat langsung,” tandas Ari Wijaya.
Setelah didigitalisasi, lontar langka ini akan dialih aksarakan dan kemudian soft copynya bakal diserahkan kembali kepada krama Dadia Arya Ularan untuk dipelajari, dipahami, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Sedangkan 12 cakep lontar lainnya yang juga milik Dadia Arya Ularan, merupakan lontra-lontra beraksara Bali Kuna. Namun, aksara Bali Kuna yang digunakan tergolong gaya penulisan yang cukup tua.
Sementara itu, Kelian Dadia Arya Ularan di Desa Jinengdalem, Gede Marayasa, 52, mengatakan 13 cakep lontar (termasuk yang beraksara Buda) ini sudah diwarisi 44 KK krama dadianya secara turun temurun Gede Marayasa belum dapat menarik benang merah darimana asal mula dan siapa yang pertama kali membawa atau menulis lontar langka beraksara Buda tersebut.
Menurut Marayasa, sebelum dikonservasi tahun 2018 lalu, 13 cakep lontar yang disucikan dan menjadi pusaka itu hanya disimpan di Gedong Simpen Dadia Arya Ularan. Krama dadia hanya menurunkan lontar tersebut saat piodalan dan Hari Raya Saraswati untuk diupacarai sebagai simbol ilmu pengetahuan.
“Sebelumnya, lontar-lontar tersebut tidak pernah dibersihkan atau dibaca, karena kami tidak tahu. Nah, tahun kemarin beruntung ada adik-adik dari Penyuluh Bahasa Bali yang membantu. Kami ingin abadikan dan arsipkan lontar tersebut,” papar Marayasa.
Marayasa bersama krama dadia sejauh ini belum mengetahui apa isi lontar tersebut. Padahal, sesuai dengan identifiasi yang dilakukan Penyuluh Bahasa Bali sebelumnya, 13 lontar itu beragam jenis isinya. Mulai dari teknik pengobatan, ilmu kanuragan, pendestian, hingga tatwa.
Marayasa menyebutkan, 13 cakep lontar milik Dadia Arya Ularan jauh sebelumnya sempat diidentifikasi oleh Tim Lontar dari Gedong Kirtya Singaraja tahun 1980-an. Hanya saja, proses identifikasi saat itu gagal karena tim tidak dapat membaca tulisan yang tersurat dalam lontar.
“Beruntung, kali ini ada konservasi lontar, sehingga ke depannya lontar-lontar kami bukan barang keramat, tetapi bisa dibaca dan dipakai masyarakat. Harapan kami, lontar-lontar ini dapat diterjemahkan dengan cara mengundang pakar yang bisa,” harap Marayasa. *k23
Cakep lontar beraksara Buda milik krama Dadia Arya Ularan di Desa Jinengdalem ini sudah berumur sekitar 300 tahun. Lontar langka ini sebelumnya ditemukan setelah pihak Dadia Arya Ularan meminta bantuan Penyuluh Bahasa Bali untuk konservasi lontar-lontar warisan leluhur yang masih tersimpan.
Ternyata, ketika dilakukan konservasi tahun 2018 lalu, dari 13 cakep lontar milik Dadia Arya Ularan, Penyuluh Bahasa Bali mendapati satu cakep lontar beraksara Buda. Kondisi lontar langka ini masih lengkap dan dalam keadaan utuh. Aksara Buda yang digunakan dalam lontar ini kerap disebut sebagai akasara Merapi atau Akara Merbabu. Berdasarkan katalog Perpustakaan Nasional, aksara Buda ini ber-kembang di zaman Kerajaan Majapahit dan terakhir kali dipakai sekitar tahun 1708.
Singkat cerita, setelah mendapatkan izin dari krama Dadia Arya Ularan, lontar langka beraksara Buda ini kemudian didigitalisasi sebagai arsip dan alih akasara untuk mengetahui isi yang tersurat di dalamnya. Proses digitalisasi dilakukan di Pura Dadia Arya Ularan, Banjar Ketut Ketug, Desa Jinengdalem, Minggu kemarin.
Koordinator Penyuluh Bahasa Bali Kabupaten Buleleng, Ida Bagus Ari Wijaya, terjun langsung mengeksekusi digitalisasi lontar langka ini melalui teknik pengambilan gambar khusus menggunakan kamera SLR. Saat eksekusi di Pura Dadia Arya Ularan hari itu, IB Ari Wijaya didampingi oleh pakar lontar Sugi Lanus.
“Kalau dari segi isi, lontar beraksara Buda ini sama seperti beberapa lontar lainnya yang membahas tentang Siwaisme, termasuk ajaran dan tata cara menjadi orang suci. Tapi, yang unik adalah dari segi tulisannya yang memang bukan tradisi Bali. Aksara Buda itu banyak digunakan di lereng Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di Jawa, yang menurut katalog Perpustakaan Nasional berkembang pada zaman Majapahit,” jelas IB Ari Wijaya kepada NusaBali.
Menurut Ari Wijaya, aksara Buda terakhir kali digunakan tahun 1708 silam. Karena itu, cakep lontar beraksara Buda milik krama Dadia Arya Ularan di Desa Jinengdalem diperkirakan sudah berusia 300 tahun lebih. Meski belum dibaca dan dialih aksarakan secara keseluruhan, namun isi lontar beraksara Buda ini secara umum menjelaskan tentang ajaran Siwaisme yang sangat komplek.
Ini sama seperti pada lontar-lontar Bhuana Kosa, Wrespati Tatwa, dan Ganapati Tatwa. “Ini lontar beraksara Buda pertama yang ditemukan di Bali. Kondisi sangat wah, bagus, dan tulisannya rapi. Kalau menurut data Perpusnas, disebutkan ada satu lagi lontar sejenis di Gianyar. Tapi, sampai saat ini kami belum pernah lihat langsung,” tandas Ari Wijaya.
Setelah didigitalisasi, lontar langka ini akan dialih aksarakan dan kemudian soft copynya bakal diserahkan kembali kepada krama Dadia Arya Ularan untuk dipelajari, dipahami, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Sedangkan 12 cakep lontar lainnya yang juga milik Dadia Arya Ularan, merupakan lontra-lontra beraksara Bali Kuna. Namun, aksara Bali Kuna yang digunakan tergolong gaya penulisan yang cukup tua.
Sementara itu, Kelian Dadia Arya Ularan di Desa Jinengdalem, Gede Marayasa, 52, mengatakan 13 cakep lontar (termasuk yang beraksara Buda) ini sudah diwarisi 44 KK krama dadianya secara turun temurun Gede Marayasa belum dapat menarik benang merah darimana asal mula dan siapa yang pertama kali membawa atau menulis lontar langka beraksara Buda tersebut.
Menurut Marayasa, sebelum dikonservasi tahun 2018 lalu, 13 cakep lontar yang disucikan dan menjadi pusaka itu hanya disimpan di Gedong Simpen Dadia Arya Ularan. Krama dadia hanya menurunkan lontar tersebut saat piodalan dan Hari Raya Saraswati untuk diupacarai sebagai simbol ilmu pengetahuan.
“Sebelumnya, lontar-lontar tersebut tidak pernah dibersihkan atau dibaca, karena kami tidak tahu. Nah, tahun kemarin beruntung ada adik-adik dari Penyuluh Bahasa Bali yang membantu. Kami ingin abadikan dan arsipkan lontar tersebut,” papar Marayasa.
Marayasa bersama krama dadia sejauh ini belum mengetahui apa isi lontar tersebut. Padahal, sesuai dengan identifiasi yang dilakukan Penyuluh Bahasa Bali sebelumnya, 13 lontar itu beragam jenis isinya. Mulai dari teknik pengobatan, ilmu kanuragan, pendestian, hingga tatwa.
Marayasa menyebutkan, 13 cakep lontar milik Dadia Arya Ularan jauh sebelumnya sempat diidentifikasi oleh Tim Lontar dari Gedong Kirtya Singaraja tahun 1980-an. Hanya saja, proses identifikasi saat itu gagal karena tim tidak dapat membaca tulisan yang tersurat dalam lontar.
“Beruntung, kali ini ada konservasi lontar, sehingga ke depannya lontar-lontar kami bukan barang keramat, tetapi bisa dibaca dan dipakai masyarakat. Harapan kami, lontar-lontar ini dapat diterjemahkan dengan cara mengundang pakar yang bisa,” harap Marayasa. *k23
Komentar