Tari Mongah, Simbol Refleksi Pada Kesombongan
Tari Mongah di Desa Bunutin rutin digelar setiap dua tahun sekali dan merupakan simbol dari bhuta kala
BANGLI, NusaBali.com
Masyarakat Desa Bunutin, Bangli, secara rutin menggelar upacara Pangwangan setiap 2 tahun sekali. Upacara ini kembali digelar pada Senin (30/9/2019) bertempat di Pura Bale Agung Desa Bunutin. Dalam upacara yang dilaksanakan menyambut awal Sasih kapat ini, terdapat Tarian Mongah yang ditarikan oleh sebelas pemuda asal Desa Bunutin dengan kostum yang terbuat dari bahan-bahan alam, seperti tumbuhan pakis, slepan (daun kelapa), dan tumbuhan-tumbuhan lainnya.
Tarian yang melambangkan bhuta kala ini sebenarnya tidak memiliki pakem tarian yang pasti. Pada saat menarikan tarian ini, para penari dapat menari dengan gaya bebas dan liar sebagai perwujudan bhuta kala yang kerap bertingkah onar. Meski demikian, sebelum tarian dimulai, para penari wajib mengelilingi Bale Agung sebanyak tiga kali searah dengan jarum jam. Pemutaran Bale Agung ini bertujuan untuk menetralisir energi negatif menjadi positif.
“DI Bale Agung itu ada yang namanya Kawes. Itu makanan dari nasi yang diisi dengan urab merah putih yang terbuat dari daging sapi. Setelah energi negatif itu dinetralisir, makanan tersebut dibagikan kepada para pemedek untuk dimakan, sehingga pemedek juga terberkati dengan energi positif,” ujar Jero Bau Kasih, Pemangku Adat Desa Bunutin.
Nama Tari Mongah sendiri memiliki asal kata ‘pongah’ atau sombong. Hal ini berasal dari beragam cerita mengenai asal-muasal tarian tersebut. Kurangnya sumber tertulis menjadi salah satu penyebab kurang pastinya cerita ini. Versi cerita yang paling terkenal ialah cerita mengenai dua banjar yang dahulu bermukim di wilayah Desa Bunutin.
Diceritakan, kedua banjar ini kerap kali berselisih paham. Tak jarang, penduduk kedua banjar ini seringkali mencurangi satu sama lain, yang pada akhirnya mengakibatkan perang dan menghancurkan kedua banjar tersebut.
Adapun, cerita lainnya berfilosofi pada makhluk bhuta kala, yang berlaku onar dan sombong. Maka dari itu, untuk mengusirnya, dibuatlah makanan Kawes agar bhuta kala itu pergi dan tidak mengganggu manusia.
“Memang tidak bisa diketahui dengan pasti cerita mana yang benar. Yang pasti, apapun konflik yang dialami, hal itu bermula dari kesombongan manusia. Karena itu juga, penari Tari Mongah ini dipilih yang masih pemuda dan belum menikah, karena pada masa remaja, manusia memiliki emosi yang labil dan Sad Ripu-nya belum terkontrol,” jelas Jero Bau Kasih.
Tak hanya direpresentasikan melalui remaja atau pemuda, busana Tari Mongah ini juga memiliki filosofi tersendiri. Busana ini terbuat dari berbagai tumbuhan, namun diantara berbagai tumbuhan yang bisa dipakai, tumbuhan pakis liar menjadi salah satu yang wajib ada dalam setiap busana. “Busananya tidak memiliki desain khusus, bahkan baru belakangan ini busananya memakai topeng. Tapi yang harus ada itu pakis, karena pakis sebagai tumbuhan liar yang merambat kemana-mana sejalan dengan filosofi bhuta kala,” lanjut Pemangku Adat yang memiliki nama asli I Wayan Cukup ini.
Melalui Tari Mongah ini, masyarakat Desa Bunutin diedukasi mengenai perilaku kesombongan. Masyarakat ditunjukkan bagaimana bhuta kala sebenarnya merupakan cerminan dari perilaku manusia, yang juga sekaligus merefleksikan kekuatan alam semesta. Sehingga, masyarakat hendaknya dapar berperilaku lebih bijak agar turut merefleksikan energi positif.*yl
Komentar