Megawati Tidak Salami Surya Paloh
Isu retaknya hubungan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri vs Ketua Umum DPP NasDem, Surya Paloh, hukanlah isapan jempol.
JAKARTA, NusaBali
Faktanya, Megawati tidak bersalaman dengan Surya Paloh saat hadiri acara pelantikan DPR RI 2019-2024 di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (1/10). Momen dinginnya hubungan Megawati dan Surya Paloh ini tertangkap kamera. Dalam potongan video Kompas TV yang ramai dibagikan di media sosial, Rabu (2/10), Megawati disorot kamera saat sedang berjalan di area VIP Gedung Nusantara. Saat itu, orang-orang yang dilewati Megawati berdiri dan menyalami Presiden RI ke-5 periode 2001-2004 tersebut.
Saat itu, Ketua Kogasma Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjura kepada Megawati. Sedangkan politisi Golkar Rizal Mallarangeng menyalami Megawati, juga sambil membungkukkan badan. Di sebelah kanan Rizal ada Surya Paloh dalam posisi berdiri. Surya Paloh hanya berdiri, tidak menjulurkan tangan untuk bersalaman ke arah Megawati. Tangannya terjuntai, badannya juga tak membungkuk.
Sementara Megawati menoleh ke arah lain, seolah-olah menatap sesuatu, sambil tetap berjalan melewati Surya Paloh yang kembali duduk. Megawati lalu bersala-man dengan KH Ma'ruf Amin (Wakil Presiden terpilih), lalu salaman dengan Ke-tua Umum PPP Suharso Monoarfa.
Politisi PDIP, Eva Kusuma Sundari, menilai sebetulnya sudah ada gestur tegur sapa antara Megawati dan Surya Paloh. Eva yakin Megawati tak bermaksud mengabaikan Surya Paloh. "Kelihatannya karena cukup anggukan kepala, Pak Surya Paloh kan tidak kasi tangan ke Ibu. Seperti ke AHY juga, Mas AHY kan sudah salam di dada, ketua umum mengangguk, lalu meneruskan ke sebelahnya. Ketua umum lagi gembira menyaksikan pelantikan, jadi saya yakin tidak sempat untuk punya negative intention,” bela Eva dilansir detikcom, Rabu (2/10).
Sementara, pakar gestur Handoko Gani menilai sikap melengos Megawati adalah respons dari gestur Surya Paloh. "Saya berhipotesis bahwa gerakan melengos ini lebih disebabkan karena gestur Surya Paloh. Bagi Bu Mega, gestur tersebut mu-ngkin dianggap sebagai penolakan duluan oleh Surya Paloh. Sayangnya, kita yang tidak melihat visual ekspresi Surya Paloh, tak bisa mengambil kesimpulan," papar Handoko.
Handoko menduga perisitwa ini dipicu oleh kesalahpahaman antara Megawati dan Paloh. Saat itu, Surya Paloh seperti sedang melihat ke arah lain. "Namun, bila saya melihat rangkaian gestur di atas, peristiwa ini disebabkan kesalahpahaman karena mungkin Pak Surya Paloh sedang melihat ke arah lain atau memang hal itu merupakan kebiasaan beliau saja," papar pakar gestur yang memiliki sertifikasi penggunaan alat sejenis Poligraf bernama ‘Layered Voice Analysis’ ini.
Menurut Handoko, Megawati lantas membahas gestur Surya Paloh saat duduk kembali. Gestur saat duduk ini berisi kemarahan. "Gerakan duduk (Surya Paloh) ini adalah gerakan respons atas sebuah aksi sebelumnya. Gerakan ini berisi emosi marah. Dan yang namanya marah, pasti ada pemicunya. Jadi, pemicu Surya Paloh duduk begini adalah melengosnya Bu Mega. Pemicu Bu Mega melengos dan mengabaikan Surya Paloh adalah tidak adanya gerakan penyambutan jabat tangan, sapaan, atau apa pun itu,” katanya.
Sementara itu, pakar komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, melihat sangat jelas ada pesan politik di balik melongosnya Megawati tanpa salami Surya Paloh. “Ketegangan Megawati-Surya Paloh ini sudah terbaca sejak pertemuan Teuku Umar (Megawati-Prabowo) dan pertemuan Gondangdia (Surya Paloh-anggota parpol koalisi di luar PDIP). Jadi ini akan panjang. Apalagi, Megawati kalau konflik dengan tokoh akan panjang, seperti dengan SBY," kata Hendri Satrio kepada wartawan, Rabu kemarin.
Ketegangan ini, menurut Hendri, muaranya adalah rebutan kursi kabinet yang akan diumumkan Jokowi setelah pelantikan Presiden 2019-2024 terpilih hasil Pilpres 2019 nanti. "Jadi, sekarang tantangannya Pak Jokowi adalah untuk mempertahankan soliditas partai politik. Karena ini pasti ada kaitannya dengan pembagian kursi kabinet," tandas Hendri.
Lebih dari itu, santer isu Megawati juga sangat kecewa terhadap Surya Paloh. “Megawati isunya kecewa, banyak kepala daerah PDIP pindah ke NasDem. Jadi, (Surya Paloh) dianggap menelikung, membajak kader terbaiknya. Jadi mungkin saja ada perang dingin yang panjang," papar Hendri.
NasDem di bawah pimpinan Surya Paloh sempat beberapa kali melakukan manuver yang diduga bikin tersinggung PDIP di bawah kendali Megawati. Pertama, NasDem klaim Presiden Jokowi sebagai kadernya. Klaim itu diucapkan Surya Paloh saat peresmian Sekolah Legislatif Partai NasDem, 16 Juli 2019. Padahal, Jokowi jelas merupakan kader PDIP.
Mulanya, Surya Paloh mengatakan keberhasilan NasDem meraih 12 juta suara di Pemilu 2019 berkat sosok Jokowi. Termasuk soal kemungkinan NasDem akan mendapat 60 kursi di parlemen. "Jadi, kalau ada perlombaan, kalau ada yang tanya Jokowi itu kader partai siapa? Partai nomor 1, NasDem!" tegas Surya Paloh saat itu. "Kalau ada yang menyatakan, Jokowi itu sebenarnya kader partai mana? NasDem!" ulangnya.
Kedua, NasDem ingin boyong Walikota Surabaya Tri Rismaharini (Risma) ke Jakarta, untuk membereskan masalah di Ibukota. Ajakan itu disampaikan oleh Ketua Fraksi NasDem DPRD DKI Jakarta, Besari Barus, saat melakukan kunjungan ke Surabya, 29 Juli 2019. "Apakah Ibu Risma mau kita boyong ke Jakarta dalam waktu dekat? Masalah sampah ini bisa terselesaikan kalau Pilkada mendatang Bu Risma pindah ke Jakarta," kata Bestari.
Ketiga, NasDem juga bermanuver untuk mendapatkan sejumlah kursi menteri dan posisi Jaksa Agung di Kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin, meskipun hal itu disampaikan melalui sinyal-sinyal halus. "Tanpa kami ajukan nama, Pak Jokowi tahu untuk mengambil mana tokoh yang bagus (untuk menteri), termasuk tokoh NasDem. Baik milenial tersedia, yang pengalaman senior tersedia, yang mempunyai kombinasi pengalaman non-politik dan politik tersedia," kata Sekjen DPP NasDem, Johnny G Plate, di Gedung DPR Senayan, 9 Juli 2019.
Keempat, sejumlah kader PDIP dibajak oleh NasDem. Salah satunya, Ketua DP-RD Gunungkidul, Suharsono. Ketika ingin maju jadi caleg DPRD DI Jogjakarta, nama Suharsono dicoret PDIP dengan alasan yang tidak jelas. Karena kecewa, dia pun kemudian ditampung oleh Partai NasDem.
Sebelumnya pada 2012, Wakil Ketua DPRD Kota Semarang, Sriyono, juga lompat pagar ke NasDem. Sedangkan tahun 2018, Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan juga hijrah dari PDIP ke NasDem. *
Saat itu, Ketua Kogasma Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjura kepada Megawati. Sedangkan politisi Golkar Rizal Mallarangeng menyalami Megawati, juga sambil membungkukkan badan. Di sebelah kanan Rizal ada Surya Paloh dalam posisi berdiri. Surya Paloh hanya berdiri, tidak menjulurkan tangan untuk bersalaman ke arah Megawati. Tangannya terjuntai, badannya juga tak membungkuk.
Sementara Megawati menoleh ke arah lain, seolah-olah menatap sesuatu, sambil tetap berjalan melewati Surya Paloh yang kembali duduk. Megawati lalu bersala-man dengan KH Ma'ruf Amin (Wakil Presiden terpilih), lalu salaman dengan Ke-tua Umum PPP Suharso Monoarfa.
Politisi PDIP, Eva Kusuma Sundari, menilai sebetulnya sudah ada gestur tegur sapa antara Megawati dan Surya Paloh. Eva yakin Megawati tak bermaksud mengabaikan Surya Paloh. "Kelihatannya karena cukup anggukan kepala, Pak Surya Paloh kan tidak kasi tangan ke Ibu. Seperti ke AHY juga, Mas AHY kan sudah salam di dada, ketua umum mengangguk, lalu meneruskan ke sebelahnya. Ketua umum lagi gembira menyaksikan pelantikan, jadi saya yakin tidak sempat untuk punya negative intention,” bela Eva dilansir detikcom, Rabu (2/10).
Sementara, pakar gestur Handoko Gani menilai sikap melengos Megawati adalah respons dari gestur Surya Paloh. "Saya berhipotesis bahwa gerakan melengos ini lebih disebabkan karena gestur Surya Paloh. Bagi Bu Mega, gestur tersebut mu-ngkin dianggap sebagai penolakan duluan oleh Surya Paloh. Sayangnya, kita yang tidak melihat visual ekspresi Surya Paloh, tak bisa mengambil kesimpulan," papar Handoko.
Handoko menduga perisitwa ini dipicu oleh kesalahpahaman antara Megawati dan Paloh. Saat itu, Surya Paloh seperti sedang melihat ke arah lain. "Namun, bila saya melihat rangkaian gestur di atas, peristiwa ini disebabkan kesalahpahaman karena mungkin Pak Surya Paloh sedang melihat ke arah lain atau memang hal itu merupakan kebiasaan beliau saja," papar pakar gestur yang memiliki sertifikasi penggunaan alat sejenis Poligraf bernama ‘Layered Voice Analysis’ ini.
Menurut Handoko, Megawati lantas membahas gestur Surya Paloh saat duduk kembali. Gestur saat duduk ini berisi kemarahan. "Gerakan duduk (Surya Paloh) ini adalah gerakan respons atas sebuah aksi sebelumnya. Gerakan ini berisi emosi marah. Dan yang namanya marah, pasti ada pemicunya. Jadi, pemicu Surya Paloh duduk begini adalah melengosnya Bu Mega. Pemicu Bu Mega melengos dan mengabaikan Surya Paloh adalah tidak adanya gerakan penyambutan jabat tangan, sapaan, atau apa pun itu,” katanya.
Sementara itu, pakar komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, melihat sangat jelas ada pesan politik di balik melongosnya Megawati tanpa salami Surya Paloh. “Ketegangan Megawati-Surya Paloh ini sudah terbaca sejak pertemuan Teuku Umar (Megawati-Prabowo) dan pertemuan Gondangdia (Surya Paloh-anggota parpol koalisi di luar PDIP). Jadi ini akan panjang. Apalagi, Megawati kalau konflik dengan tokoh akan panjang, seperti dengan SBY," kata Hendri Satrio kepada wartawan, Rabu kemarin.
Ketegangan ini, menurut Hendri, muaranya adalah rebutan kursi kabinet yang akan diumumkan Jokowi setelah pelantikan Presiden 2019-2024 terpilih hasil Pilpres 2019 nanti. "Jadi, sekarang tantangannya Pak Jokowi adalah untuk mempertahankan soliditas partai politik. Karena ini pasti ada kaitannya dengan pembagian kursi kabinet," tandas Hendri.
Lebih dari itu, santer isu Megawati juga sangat kecewa terhadap Surya Paloh. “Megawati isunya kecewa, banyak kepala daerah PDIP pindah ke NasDem. Jadi, (Surya Paloh) dianggap menelikung, membajak kader terbaiknya. Jadi mungkin saja ada perang dingin yang panjang," papar Hendri.
NasDem di bawah pimpinan Surya Paloh sempat beberapa kali melakukan manuver yang diduga bikin tersinggung PDIP di bawah kendali Megawati. Pertama, NasDem klaim Presiden Jokowi sebagai kadernya. Klaim itu diucapkan Surya Paloh saat peresmian Sekolah Legislatif Partai NasDem, 16 Juli 2019. Padahal, Jokowi jelas merupakan kader PDIP.
Mulanya, Surya Paloh mengatakan keberhasilan NasDem meraih 12 juta suara di Pemilu 2019 berkat sosok Jokowi. Termasuk soal kemungkinan NasDem akan mendapat 60 kursi di parlemen. "Jadi, kalau ada perlombaan, kalau ada yang tanya Jokowi itu kader partai siapa? Partai nomor 1, NasDem!" tegas Surya Paloh saat itu. "Kalau ada yang menyatakan, Jokowi itu sebenarnya kader partai mana? NasDem!" ulangnya.
Kedua, NasDem ingin boyong Walikota Surabaya Tri Rismaharini (Risma) ke Jakarta, untuk membereskan masalah di Ibukota. Ajakan itu disampaikan oleh Ketua Fraksi NasDem DPRD DKI Jakarta, Besari Barus, saat melakukan kunjungan ke Surabya, 29 Juli 2019. "Apakah Ibu Risma mau kita boyong ke Jakarta dalam waktu dekat? Masalah sampah ini bisa terselesaikan kalau Pilkada mendatang Bu Risma pindah ke Jakarta," kata Bestari.
Ketiga, NasDem juga bermanuver untuk mendapatkan sejumlah kursi menteri dan posisi Jaksa Agung di Kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin, meskipun hal itu disampaikan melalui sinyal-sinyal halus. "Tanpa kami ajukan nama, Pak Jokowi tahu untuk mengambil mana tokoh yang bagus (untuk menteri), termasuk tokoh NasDem. Baik milenial tersedia, yang pengalaman senior tersedia, yang mempunyai kombinasi pengalaman non-politik dan politik tersedia," kata Sekjen DPP NasDem, Johnny G Plate, di Gedung DPR Senayan, 9 Juli 2019.
Keempat, sejumlah kader PDIP dibajak oleh NasDem. Salah satunya, Ketua DP-RD Gunungkidul, Suharsono. Ketika ingin maju jadi caleg DPRD DI Jogjakarta, nama Suharsono dicoret PDIP dengan alasan yang tidak jelas. Karena kecewa, dia pun kemudian ditampung oleh Partai NasDem.
Sebelumnya pada 2012, Wakil Ketua DPRD Kota Semarang, Sriyono, juga lompat pagar ke NasDem. Sedangkan tahun 2018, Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan juga hijrah dari PDIP ke NasDem. *
Komentar