Ada Apa dengan Basa Bali?
INI bukan cuplikan film ‘Ada Apa dengan Cinta?’.
Memang judul tulisan terinspirasi oleh itu. Bahasa Bali merupakan kearifan lokal budaya Bali. Sebagai bagian dari budaya, ia harus dikripahkan secara dinamis, tidak jenuh pada satu titik fungsi marginal. Sejak Perda Provinsi Bali No 1 Tahun 2018 tentang Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali digulirkan, pemakaian bahasa Bali diharapkan lebih terjamin. Pada masa silam, dalam Perda Provinsi Bali Nomor 03 Tahun 1992 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Bali, fungsinya belum aman. Apakah kearifan lokal budaya Bali penting dilestarikan? Apa yang terdapat di balik bahasa Bali tersebut?
Menurut Chaer (2010:33) bahasa memiliki fungsi, yaitu ekspresi, informasi, eksplorasi, persuasi, dan hiburan. Bahasa Bali, dari dulu hingga saat ini, digunakan untuk melahirkan ungkapan-ungkapan batin seorang penutur kepada orang lain. Pernyataan senang, benci, kagum, marah, jengkel, sedih, atau kecewa diungkapkan dengan berbagai ragam cara. Krama Bali tahu persis sangat menjunjung dan menjaga sopan santun. Sopan santun biasanya ditunjukkan, misalnya kepada orang lebih tua, wangsa yang lebih tinggi, atau yang dihormati. Tatanan dan etika dalam berbahasa Bali sangat diperhatikan oleh penutur bahasa Bali berkarakter.
Bahasa Bali aras alus memiliki nilai kesopanan tinggi. Sedangkan, aras ‘kapara’ digunakan dalam percakapan secara luas. Aras ‘kapara’ memiliki nilai kesopanan sedang. Penggunaan kedua aras tutur menjadi simbol identitas untuk memeroleh pengakuan orang lain. Ketika simbol salah digunakan, hal tersebut akan dapat menimbulkan masalah. Di samping nilai, bahasa Bali kaya dengan norma. Misalnya, untuk menghormati perbedaan agama, atau mengucapkan salam ketika bertemu dengan orang lain, krama Bali menggunakan basa Bali alus. Norma ini tergolong norma kesusilaan. Moralitas yang terkandung dalam bahasa Bali dapat berbentuk pikiran, perkataan, dan tindakan yang baik dan benar. Baik-buruknya bahasa yang digunakan diukur dari ketepatan pemakaiannya, berdasarkan atas situasi, kondisi, toleransi, pandangan, dan jangkauan penutur yang terlibat. Sedangkan, kebenaran pemakaian diukur dari ketepatan asas atau kaidah kebahasaan. Misalnya, seorang menghaluskan bahasa untuk dirinya dapat dikategorikan benar kaidahnya. Tetapi, bila dikontekstualkan dengan situasi pemakaian, maka tuturannya dapat ditafsirkan sebagai ‘suatu kesombongan, mengagungkan diri’.
Bahasa Bali bukan sekadar alat berkomunikasi. Tetapi, bahasa Bali mengandung nilai, norma, etika, dan moralitas adiluhung sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Hindu. Kaidah-kaidah linguistik dan para-linguistik melekat dalam susastra, keduanya merupakan sumber moralitas Hindu yang adiluhung. Demikian pula dengan aksara Bali, bukan sekadar huruf-huruf yang dirangkai menjadi kata, kalimat atau bahkan teks. Tetapi, aksara Bali mengandung makna simbolis maupun referal yang melekat dalam kearifan Hindu.
Oleh karena itu, berbahasa dan berkesusastraan Bali bukan hanya untuk pelestarian. Pemertahanan dan pengembangan bahasa Bali perlu dipikirkan secara kreatif, kritis, kolaboratif, dan komunikatif pada zaman milenial, zaman yang disibukkan dengan berbagai ‘gadget’ dengan berbagai tema yang menyita waktu dan perhatian generasi. Generasi sekarang disebut ‘Generasi Alpha’, yang lahir tahun 2010-sekarang. Generasi ini adalah lanjutan dari generasi Z di mana mereka sudah terlahir dengan teknologi yang berkembang pesat. Di usia mereka yang sangat dini, mereka sudah mengenal dan sudah berpengalaman dengan gadget, smartphone, dan kecanggihan teknologi. Selain itu, kebanyakan mereka terlahir dari keluarga dengan masa Generasi Y yang juga terlahir pada masa-masa awal perkembangan teknologi. Pola pikir mereka terbuka, transformatif, dan inovatif. Semoga, generasi sekarang ini dapat menyikapi perihal berbahasa dan berkesusastraan Bali dengan arif. Semoga. *
Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Komentar