MUTIARA WEDA: Dharma dan Ahimsa dalam Konflik?
Ya para pelopor, burulah para lawan, bantailah musuh-musuh sesuai perintah Indra. Remukkan para lawan seperti serigala membantai biri-biri, tanpa pengecualian satu pun yang hidup.
Ati dhavata atisara indrasyavacasa hata,
Avim vrka iva mathnita, sa vo jivan ma moci.
((Yajurveda, V.8.4)
HINDU bersama dengan Buddha dan Jaina adalah penganut Ahimsa (tanpa kekerasan). Banyak literatur yang menyatakan ajaran itu dan telah diterapkan sejak dulu. Satu interpretasi terhadap ajaran ini mengatakan bahwa ahimsa adalah sebuah ajaran cinta kasih tanpa batas, sehingga dalam praktiknya, apa pun perilaku yang berhubungan dengan kekerasan, baik itu kekerasan fisik maupun mental sepenuhnya salah. Pandangan absolut ini melihat bahwa tindakan, perkataan maupun pikiran apapun yang mengandung kekerasan adalah salah dan secara moral tidak patut untuk dilakukan. Mereka yang mengikuti ajaran ini adalah penganut vegetarian yang taat dan dalam menjalani kehidupannya selalu penuh pertimbangan apakah perilakunya nantinya membuat orang lain disakiti atau tidak.
Namun, ada yang mengatakan bahwa ajaran ahimsa tersebut bersifat universal tetapi kontekstual. Artinya, ahimsa merupakan ajaran yang bersifat idealis (dalam ranah ide), sementara praktisnya disesuaikan dengan kondisi. Yang absolut adalah idenya, bukan perilakunya. Perilaku hanyalah konsekuensi atau ekspresi saja dari ide tersebut. Artinya, ketika ahimsa diaplikasikan dalam masyarakat yang damai, maka perilaku yang mengandung kekerasan, seperti memukul, membunuh, berperang, memarahi, berpikir negatif pada orang lain, dan yang sejensinya adalah salah. Tetapi, ketika diaplikasikan di medan perang, membunuh bukanlah perilaku yang bertentangan dengan ahimsa. Pada pemikiran ini, ada kalanya orang harus bertindak keras, membunuh dan beringas tanpa ampun. Mulia atau tidaknya tindakan ditentukan oleh intensinya. Krishna adalah salah satu tokoh yang mempropagandakan ahimsa dalam peperangan kepada Arjuna. Meskipun harus membunuh dalam perang, karena kewajiban dalam perang adalah membunuh, maka membunuh tidak melanggar a
himsa. Intensi yang ada di dalamnya tetap cinta kasih. Badan yang dibunuh hanyalah baju saja, sementara orang secara esensi tidak bisa dibunuh. Demikian interpretasinya.
Interpretasi pertama bersifat absolut, sementara nomor dua ‘in principle’. Artinya, yang pertama menolak kekerasan dalam bentuk apapun, sementara yang kedua dimungkinkan ada kekerasan dengan pengecualian. Yang pertama melihat bahwa apapun alasannya, kekerasan adalah kekerasan, tidak ada yang diuntungkan dalam kekerasan itu. Siapapun yang disakiti akan merasa sakit dan itu tidak pernah diinginkan oleh semua orang. Sehingga, tindakan kekerasan sepenuhnya salah. Kekerasan harus ditolak tanpa kecuali. Sementara ahimsa ‘in principle’ bersifat fleksible, yakni memberikan ruang berkebalikan. Seperti misalnya dalam Hindu ada pernyataan ‘Dharma raksati raksitah’ artinya dia yang membela dharma, maka dharma akan balik melindunginya. Ini artinya dia yang berlindung di bawah dharma mesti menjaga agar dharma tersebut tetap ajeg. Jika kemudian dalam perjalanannya ada yang mengganggu dharma tersebut, maka orang-orang yang berlindung di bawahnya berkewajiban untuk membela. Jika memang perang adalah satu-satunya cara untuk membela, maka perang pun harus dilakukan. Apakah perang itu bertentangan dengan ahimsa? Tentu bertentangan. Lalu apakah membela dharma itu bertentangan dengan ahimsa? Tidak bisa dikatakan itu bertentangan. Perang dengan alasan membela dharma, letak intensi bukan pada ‘perangnya’, tetapi pada ‘membela dharmanya’. Perang hanyalah alat.
Atas dasar pemikiran yang kedua, mantra Yajurveda di atas memiliki dasar. Tentu bagi mereka yang memiliki pemikiran determinan, mengkaitkan mantra di atas dengan ajaran ahimsa sangat sulit, bahkan mustahil. Bagamana mungkin kitab sruti memerintahkan secara vulgar untuk membantai musuh tanpa sisa dikatakan sejalan dengan ahimsa. Mereka tentu bingung, bagaimana ajaran yang kontradiktif ini ada. Namun, jika ditanya mengapa kita mesti melaksanakan ahimsa? Baik interpretasi pertama maupun kedua sepakat bahwa ahimsa itu adalah dharma (bahkan ahimsa paramo dharma). Dharmanya seorang hidup adalah penuh cinta kasih, tanpa kekerasan. Hanya saja, menurut interpretasi pertama, ahimsa mesti dilakukan mutlak karena itu adalah dharma. Sementara yang kedua, demi dharma, kekerasan diperkenankan, karena berjuang untuk dharma tidak pernah bertentangan dengan ahimsa. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
((Yajurveda, V.8.4)
HINDU bersama dengan Buddha dan Jaina adalah penganut Ahimsa (tanpa kekerasan). Banyak literatur yang menyatakan ajaran itu dan telah diterapkan sejak dulu. Satu interpretasi terhadap ajaran ini mengatakan bahwa ahimsa adalah sebuah ajaran cinta kasih tanpa batas, sehingga dalam praktiknya, apa pun perilaku yang berhubungan dengan kekerasan, baik itu kekerasan fisik maupun mental sepenuhnya salah. Pandangan absolut ini melihat bahwa tindakan, perkataan maupun pikiran apapun yang mengandung kekerasan adalah salah dan secara moral tidak patut untuk dilakukan. Mereka yang mengikuti ajaran ini adalah penganut vegetarian yang taat dan dalam menjalani kehidupannya selalu penuh pertimbangan apakah perilakunya nantinya membuat orang lain disakiti atau tidak.
Namun, ada yang mengatakan bahwa ajaran ahimsa tersebut bersifat universal tetapi kontekstual. Artinya, ahimsa merupakan ajaran yang bersifat idealis (dalam ranah ide), sementara praktisnya disesuaikan dengan kondisi. Yang absolut adalah idenya, bukan perilakunya. Perilaku hanyalah konsekuensi atau ekspresi saja dari ide tersebut. Artinya, ketika ahimsa diaplikasikan dalam masyarakat yang damai, maka perilaku yang mengandung kekerasan, seperti memukul, membunuh, berperang, memarahi, berpikir negatif pada orang lain, dan yang sejensinya adalah salah. Tetapi, ketika diaplikasikan di medan perang, membunuh bukanlah perilaku yang bertentangan dengan ahimsa. Pada pemikiran ini, ada kalanya orang harus bertindak keras, membunuh dan beringas tanpa ampun. Mulia atau tidaknya tindakan ditentukan oleh intensinya. Krishna adalah salah satu tokoh yang mempropagandakan ahimsa dalam peperangan kepada Arjuna. Meskipun harus membunuh dalam perang, karena kewajiban dalam perang adalah membunuh, maka membunuh tidak melanggar a
himsa. Intensi yang ada di dalamnya tetap cinta kasih. Badan yang dibunuh hanyalah baju saja, sementara orang secara esensi tidak bisa dibunuh. Demikian interpretasinya.
Interpretasi pertama bersifat absolut, sementara nomor dua ‘in principle’. Artinya, yang pertama menolak kekerasan dalam bentuk apapun, sementara yang kedua dimungkinkan ada kekerasan dengan pengecualian. Yang pertama melihat bahwa apapun alasannya, kekerasan adalah kekerasan, tidak ada yang diuntungkan dalam kekerasan itu. Siapapun yang disakiti akan merasa sakit dan itu tidak pernah diinginkan oleh semua orang. Sehingga, tindakan kekerasan sepenuhnya salah. Kekerasan harus ditolak tanpa kecuali. Sementara ahimsa ‘in principle’ bersifat fleksible, yakni memberikan ruang berkebalikan. Seperti misalnya dalam Hindu ada pernyataan ‘Dharma raksati raksitah’ artinya dia yang membela dharma, maka dharma akan balik melindunginya. Ini artinya dia yang berlindung di bawah dharma mesti menjaga agar dharma tersebut tetap ajeg. Jika kemudian dalam perjalanannya ada yang mengganggu dharma tersebut, maka orang-orang yang berlindung di bawahnya berkewajiban untuk membela. Jika memang perang adalah satu-satunya cara untuk membela, maka perang pun harus dilakukan. Apakah perang itu bertentangan dengan ahimsa? Tentu bertentangan. Lalu apakah membela dharma itu bertentangan dengan ahimsa? Tidak bisa dikatakan itu bertentangan. Perang dengan alasan membela dharma, letak intensi bukan pada ‘perangnya’, tetapi pada ‘membela dharmanya’. Perang hanyalah alat.
Atas dasar pemikiran yang kedua, mantra Yajurveda di atas memiliki dasar. Tentu bagi mereka yang memiliki pemikiran determinan, mengkaitkan mantra di atas dengan ajaran ahimsa sangat sulit, bahkan mustahil. Bagamana mungkin kitab sruti memerintahkan secara vulgar untuk membantai musuh tanpa sisa dikatakan sejalan dengan ahimsa. Mereka tentu bingung, bagaimana ajaran yang kontradiktif ini ada. Namun, jika ditanya mengapa kita mesti melaksanakan ahimsa? Baik interpretasi pertama maupun kedua sepakat bahwa ahimsa itu adalah dharma (bahkan ahimsa paramo dharma). Dharmanya seorang hidup adalah penuh cinta kasih, tanpa kekerasan. Hanya saja, menurut interpretasi pertama, ahimsa mesti dilakukan mutlak karena itu adalah dharma. Sementara yang kedua, demi dharma, kekerasan diperkenankan, karena berjuang untuk dharma tidak pernah bertentangan dengan ahimsa. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Komentar