Sertifikat Lapangan Bungkulan Cacat Administrasi
Tanah Lapangan Bungkulan termasuk lahan Puskesmas Pembantu di sisi barat Lapangan Bungkulan, disertifikatkan oleh Perbekel non aktif Kusuma Ardana tahun 2013.
SINGARAJA, NusaBali
Sengketa tanah Lapangan Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng, memasuki babak baru. Sertifikat hak milik atas nama Perbekel Bungkulan non aktif, Ketut Kusuma Ardana, diduga cacat administrasi. Sertifikat itu pun terancam dicabut oleh Kanwil Badan Pertanahan Negara (BPN) Bali.
Perkembangan sengketa tanah lapangan Bungkulan itu muncul, ketika puluhan warga Desa Bungkulan, kembali mendatangi Kantor BPN Buleleng, di Jalan Dewi Sartika Singaraja, Selasa (15/10/2019) pagi. Sengketa muncul, ketika tanah Lapangan Bungkulan termasuk lahan Puskesmas Pembantu (Pustu) yang berada di sisi barat Lapangan Bungkulan, disertifikatkan oleh Perbekel non aktif Kusuma Ardana, melalui Prona tahun 2013. Warga keberatan karena tanah Lapangan Bungkulan dan lahan Pustu itu dianggap fasilitas milik desa yang telah dimanfaatkan puluhan tahun silam.
Puluhan warga Bungkulan dengan busana adat madya, datang ke kantor BPN melalui pintu belakang. Sambil berorasi, warga membentangkan spanduk bertuliskan “Masyarakat Bungkulan mengucapkan terimakasih kepada BPN atas pembatalan sertifikat Lapangan dan Puskesmas”. Pihak BPN hanya mengizinkan beberapa perwakilan warga masuk menemui Kepala BPN Buleleng. Pertemuan pun berlangsung tertutup di ruang kerja Kepala BPN.
Usai pertemuan, koordinator warga I Putu Kembar Budana mengungkapkan, pihaknya tetap yakin proses penerbitan sertifikat tanah lapangan dan lahan Pustu tidak sesuai prosedur. Proses itu penuh dengan kejanggalan menyangkut pemberian dukungan dan penyanding.
Menurut Budana, nama-nama yang disebutkan permohonan justru tidak pernah mengetahui permohonan tersebut sehingga mereka mencabut dukungan dan persetujuan yang telah diberikan.
Salah satunya disebutkan adalah Bendesa Adat Bungkulan, Made Mahawerdi telah mencabut dukungannya. Selain itu, Made Sumardika yang tercantum sebagai penyanding, justru ditulis Made Goloh yang tidak lain adalah nama panggilannya sehari hari. Begitu pula dengan penyanding lainnya, Nyoman Seni, yang dalam surat justru tertulis Luh Seni. Keduanya mengaku tidak tahu-menahu soal pengukuran lahan tersebut, hingga kemudian juga mencabut dukungan.
Masih kata Budiana, kejanggalan lain adalah lahan tersebut berlokasi di Banjar Dinas Dauh Munduk, namun justru yang menandatangani dukungan adalah Kelian Banjar Dinas Badung almarhum Ketut Wirasanjaya. “Kalau bukti masyarakat tidak punya, tapi secara de facto sejak dulu tanah itu sudah digunakan sebagai fasilitas umum. Dari pihak yang lain juga tidak punya bukti apa-apa, tapi yang kami pertanyakan, kok bisa terbit sertifikat pada 2013 atas nama pribadi, itu yang kami sesalkan,” tegasnya.
Sementara itu Plt Kepala BPN Buleleng, Made Sudarma, mengaku telah meneliti data fisik dan yuridis, permohonan sertifikat tanah lapangan dan Pustu Bungkulan bersama Kanwil Pertanahan Bali. Penelitian tersebut telah dituangkan dalam analisa terhadap proses penerbitan sertifikat. Hasilnya, diakui ada cacat administrasi dalam proses penerbitan sertifikat lewat Program Nasional Agraria (Prona) tahun 2013, dimana ada beberapa alas hak untuk proses penerbitan sertifikat itu, yang saksinya menarik tanda tangan, termasuk mencabut dukungan. “Analisis kami kirim ke Provinsi (Kanwil,Red) untuk ditindaklanjuti dengan melaksanakan gelar, kemudian dibahas dan menghasilkan keputusan untuk pembatalan seperti apa, tapi yang kami usulkan karena cacat administrasi,” jelasnya.
Menurut Sudarma, kesalahan dalam proses penerbitan sertifikat seperti yang terjadi dalam persoalan di Desa Bungkulan, karena kantor Pertanahan Buleleng tidak memiliki kewenangan menguji materi permohonan. “Itu kewenangan kepolisian, apakah itu suratnya benar atau salah. BPN hanya kebenaran formal, artinya berdasarkan surat, kalau suratnya sudah memenuhi persyaratan kita proses. Nanti kalau bisa dibuktikan sebaliknya itu bisa dinyatakan cacat,” ujarnya.*k19
Perkembangan sengketa tanah lapangan Bungkulan itu muncul, ketika puluhan warga Desa Bungkulan, kembali mendatangi Kantor BPN Buleleng, di Jalan Dewi Sartika Singaraja, Selasa (15/10/2019) pagi. Sengketa muncul, ketika tanah Lapangan Bungkulan termasuk lahan Puskesmas Pembantu (Pustu) yang berada di sisi barat Lapangan Bungkulan, disertifikatkan oleh Perbekel non aktif Kusuma Ardana, melalui Prona tahun 2013. Warga keberatan karena tanah Lapangan Bungkulan dan lahan Pustu itu dianggap fasilitas milik desa yang telah dimanfaatkan puluhan tahun silam.
Puluhan warga Bungkulan dengan busana adat madya, datang ke kantor BPN melalui pintu belakang. Sambil berorasi, warga membentangkan spanduk bertuliskan “Masyarakat Bungkulan mengucapkan terimakasih kepada BPN atas pembatalan sertifikat Lapangan dan Puskesmas”. Pihak BPN hanya mengizinkan beberapa perwakilan warga masuk menemui Kepala BPN Buleleng. Pertemuan pun berlangsung tertutup di ruang kerja Kepala BPN.
Usai pertemuan, koordinator warga I Putu Kembar Budana mengungkapkan, pihaknya tetap yakin proses penerbitan sertifikat tanah lapangan dan lahan Pustu tidak sesuai prosedur. Proses itu penuh dengan kejanggalan menyangkut pemberian dukungan dan penyanding.
Menurut Budana, nama-nama yang disebutkan permohonan justru tidak pernah mengetahui permohonan tersebut sehingga mereka mencabut dukungan dan persetujuan yang telah diberikan.
Salah satunya disebutkan adalah Bendesa Adat Bungkulan, Made Mahawerdi telah mencabut dukungannya. Selain itu, Made Sumardika yang tercantum sebagai penyanding, justru ditulis Made Goloh yang tidak lain adalah nama panggilannya sehari hari. Begitu pula dengan penyanding lainnya, Nyoman Seni, yang dalam surat justru tertulis Luh Seni. Keduanya mengaku tidak tahu-menahu soal pengukuran lahan tersebut, hingga kemudian juga mencabut dukungan.
Masih kata Budiana, kejanggalan lain adalah lahan tersebut berlokasi di Banjar Dinas Dauh Munduk, namun justru yang menandatangani dukungan adalah Kelian Banjar Dinas Badung almarhum Ketut Wirasanjaya. “Kalau bukti masyarakat tidak punya, tapi secara de facto sejak dulu tanah itu sudah digunakan sebagai fasilitas umum. Dari pihak yang lain juga tidak punya bukti apa-apa, tapi yang kami pertanyakan, kok bisa terbit sertifikat pada 2013 atas nama pribadi, itu yang kami sesalkan,” tegasnya.
Sementara itu Plt Kepala BPN Buleleng, Made Sudarma, mengaku telah meneliti data fisik dan yuridis, permohonan sertifikat tanah lapangan dan Pustu Bungkulan bersama Kanwil Pertanahan Bali. Penelitian tersebut telah dituangkan dalam analisa terhadap proses penerbitan sertifikat. Hasilnya, diakui ada cacat administrasi dalam proses penerbitan sertifikat lewat Program Nasional Agraria (Prona) tahun 2013, dimana ada beberapa alas hak untuk proses penerbitan sertifikat itu, yang saksinya menarik tanda tangan, termasuk mencabut dukungan. “Analisis kami kirim ke Provinsi (Kanwil,Red) untuk ditindaklanjuti dengan melaksanakan gelar, kemudian dibahas dan menghasilkan keputusan untuk pembatalan seperti apa, tapi yang kami usulkan karena cacat administrasi,” jelasnya.
Menurut Sudarma, kesalahan dalam proses penerbitan sertifikat seperti yang terjadi dalam persoalan di Desa Bungkulan, karena kantor Pertanahan Buleleng tidak memiliki kewenangan menguji materi permohonan. “Itu kewenangan kepolisian, apakah itu suratnya benar atau salah. BPN hanya kebenaran formal, artinya berdasarkan surat, kalau suratnya sudah memenuhi persyaratan kita proses. Nanti kalau bisa dibuktikan sebaliknya itu bisa dinyatakan cacat,” ujarnya.*k19
Komentar