MUTIARA WEDA: Pemimpin Mestinya Kosong
Lenyapnya penderitaan rakyat itu hendaknya menjadi tujuan seorang pemimpin yang bercita-cita luhur. Rakyat pasti mencintainya.
Ksayan ikang papa nahan prayojana jananuragadi tuwin kapanguha.
(Ramayana Jawa Kuno, 24: 82)
SIAPA pun pemimpin itu, kesejahteraan rakyat pasti menjadi rencana kerja utamanya. Demikian juga dasar ideologi dan tujuan bangsa, pasti berupaya untuk menciptakan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya. Boleh dikatakan, untuk membangun visi dan misi, pemimpin dalam membangun bangsa tampak sangat gampang karena komponennya kurang lebih seragam di setiap zaman, seperti keadilan, kesejahteraan, hormat menghormati, gotong-royong, persatuan, kedamaian, dan kebahagiaan. Dasar negara dibangun dalam rangka mewujudkan semua itu. Demikian juga pemimpin membangun program kerja hampir serupa dengan itu. Hanya saja masalahnya, mengapa tidak semua berjalan seperti yang dicita-citakan? Mengapa sering melenceng dari apa yang direncanakan, dan bahkan tidak sedikit yang terjadi adalah kebalikannya?
Memang dalam hidup, baik itu visi misi atau program kerja adalah sebuah keinginan yang ideal yang pikiran secara mudah mengaksesnya. Pikiran bisa sangat ideal ketika diperlukan. Pikiran sangat expert membuat blue print yang hebat. Tidak disangsikan pikiran itu. Hanya saja ketika mulai mengerjakan semua itu, ketika perjalanan sudah dimulai, pikiran lebih sering tidak setia. Ada banyak tikungan indah yang menjebaknya untuk tidak sesuai di jalan awal. Atau mungkin, memang tabiat pikiran itu sendiri yang sering membangun persimpangan dan siap menelikung ke arah lain yang bertentangan dengan rute awal. Di dalam diri manusia terdapat poros yang sudah baku yang membuatnya tidak berdaya. Ide awal yang luar biasa yang diformat oleh pikiran, di dalam perjalanannya dengan sangat mudah ditelikung. Pikiran di samping memiliki kemampuan untuk membuat gagasan yang cemerlang juga memiliki kemampuan untuk mengkhianatinya secara bersamaan.
Pikiran suka berjanji tetapi pikiran juga yang akhirnya tidak menepati. Sehingga dengan demikian, teks di atas tidak dimaksudkan dalam rangka cita-cita atau program kerja atau ideologi saja, melainkan lebih dari itu adalah sebuah totalitas. Seorang pemimpin tidak saja mengupayakan atau bercita-cita untuk mensejahterakan rakyatnya saja, melainkan di setiap sel tubuhnya mesti mengalir butiran yang sama. Kesejahteraan rakyat harus tercermin di dalam setiap sel tubuhnya, sehingga pikiran, kehidupan, dan perilakunya sepenuhnya untuk tujuan tersebut. Seorang pemimpin mesti memiliki integritas yang tinggi. Di samping kecerdasan, pemimpin juga memerlukan perangkat lain seperti totalitas, loyalitas, kerja keras, dan konsistensi.
Hanya ketika pemimpin mampu menjadikan visi dan misinya tidak saja ada di kepala, melainkan larut ke dalam seluruh jiwa raganya, pemimpin itu mampu mewujudkan cita-citanya untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Makanya, para pemimpin boleh memiliki visi dan misi yang sejenis, tetapi di akhir akan terdapat banyak perbedaan dan bahkan berkebalikan. Di sini lah seorang pemimpin memerlukan kesetiaan diri yang kuat. Jika tidak, persimpangan yang ditemuinya di sepanjang perjalanan kepemimpinannya akan mempengaruhi dan mengubah arah tujuannya. Tujuan awal untuk menciptakan kesejahteraan rakyat tidak sedikit berbelok haluan menjadi kesejahteraan untuk diri dan kroni.
Dalam hal kemampuan diri, seorang pemimpin pada prinsipnya adalah seorang sadhu, yakni mereka yang tidak lagi menjadikan dirinya sebagai pusat orientasi, melainkan masyarakat lah yang menjadi pusarannya. Seorang pemimpin adalah dia yang tidak lagi terikat dengan kehidupan duniawi (vairagya). Hanya mereka yang telah menjadi vairagi (pelaku vairagya) yang mampu melayani secara total. Seorang pemimpin adalah seorang yang melaksanakan yadnya. Pengorbanan adalah sifat alaminya. Dalam tataran yang lebih tinggi bisa dikatakan bahwa seorang pemimpin sejati adalah mereka yang benar-benar telah tiada. Artinya, ego, nafsu keserakahan, dan kepentingan-kepentingan pribadi sudah tidak ada lagi. Yang ada hanyalah pengorbanan dan pengabdian yang tanpa batas. Hanya dengan cara ini seorang pemimpin dicintai. Mengapa dicintai? Oleh karena pemimpin seperti ini menyediakan ruang yang luas bagi kepentingan masyarakat. Pemimpin yang tanpa ego tidak pernah berada di atas masyarakat. Mereka menjadi bagian dari masyarakat. Seperti inilah mungkin yang dimaksudkan oleh teks di atas. Jika pemimpin yang lahir dari kepentingan pribadi seperti untuk ketenaran dan kekayaan, maka dipastikan sebaik apapun visi dan misinya, jalan yang dilaluinya akan berbeda dengan jalan yang sudah digariskan di dalam program kerjanya. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
(Ramayana Jawa Kuno, 24: 82)
SIAPA pun pemimpin itu, kesejahteraan rakyat pasti menjadi rencana kerja utamanya. Demikian juga dasar ideologi dan tujuan bangsa, pasti berupaya untuk menciptakan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya. Boleh dikatakan, untuk membangun visi dan misi, pemimpin dalam membangun bangsa tampak sangat gampang karena komponennya kurang lebih seragam di setiap zaman, seperti keadilan, kesejahteraan, hormat menghormati, gotong-royong, persatuan, kedamaian, dan kebahagiaan. Dasar negara dibangun dalam rangka mewujudkan semua itu. Demikian juga pemimpin membangun program kerja hampir serupa dengan itu. Hanya saja masalahnya, mengapa tidak semua berjalan seperti yang dicita-citakan? Mengapa sering melenceng dari apa yang direncanakan, dan bahkan tidak sedikit yang terjadi adalah kebalikannya?
Memang dalam hidup, baik itu visi misi atau program kerja adalah sebuah keinginan yang ideal yang pikiran secara mudah mengaksesnya. Pikiran bisa sangat ideal ketika diperlukan. Pikiran sangat expert membuat blue print yang hebat. Tidak disangsikan pikiran itu. Hanya saja ketika mulai mengerjakan semua itu, ketika perjalanan sudah dimulai, pikiran lebih sering tidak setia. Ada banyak tikungan indah yang menjebaknya untuk tidak sesuai di jalan awal. Atau mungkin, memang tabiat pikiran itu sendiri yang sering membangun persimpangan dan siap menelikung ke arah lain yang bertentangan dengan rute awal. Di dalam diri manusia terdapat poros yang sudah baku yang membuatnya tidak berdaya. Ide awal yang luar biasa yang diformat oleh pikiran, di dalam perjalanannya dengan sangat mudah ditelikung. Pikiran di samping memiliki kemampuan untuk membuat gagasan yang cemerlang juga memiliki kemampuan untuk mengkhianatinya secara bersamaan.
Pikiran suka berjanji tetapi pikiran juga yang akhirnya tidak menepati. Sehingga dengan demikian, teks di atas tidak dimaksudkan dalam rangka cita-cita atau program kerja atau ideologi saja, melainkan lebih dari itu adalah sebuah totalitas. Seorang pemimpin tidak saja mengupayakan atau bercita-cita untuk mensejahterakan rakyatnya saja, melainkan di setiap sel tubuhnya mesti mengalir butiran yang sama. Kesejahteraan rakyat harus tercermin di dalam setiap sel tubuhnya, sehingga pikiran, kehidupan, dan perilakunya sepenuhnya untuk tujuan tersebut. Seorang pemimpin mesti memiliki integritas yang tinggi. Di samping kecerdasan, pemimpin juga memerlukan perangkat lain seperti totalitas, loyalitas, kerja keras, dan konsistensi.
Hanya ketika pemimpin mampu menjadikan visi dan misinya tidak saja ada di kepala, melainkan larut ke dalam seluruh jiwa raganya, pemimpin itu mampu mewujudkan cita-citanya untuk keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Makanya, para pemimpin boleh memiliki visi dan misi yang sejenis, tetapi di akhir akan terdapat banyak perbedaan dan bahkan berkebalikan. Di sini lah seorang pemimpin memerlukan kesetiaan diri yang kuat. Jika tidak, persimpangan yang ditemuinya di sepanjang perjalanan kepemimpinannya akan mempengaruhi dan mengubah arah tujuannya. Tujuan awal untuk menciptakan kesejahteraan rakyat tidak sedikit berbelok haluan menjadi kesejahteraan untuk diri dan kroni.
Dalam hal kemampuan diri, seorang pemimpin pada prinsipnya adalah seorang sadhu, yakni mereka yang tidak lagi menjadikan dirinya sebagai pusat orientasi, melainkan masyarakat lah yang menjadi pusarannya. Seorang pemimpin adalah dia yang tidak lagi terikat dengan kehidupan duniawi (vairagya). Hanya mereka yang telah menjadi vairagi (pelaku vairagya) yang mampu melayani secara total. Seorang pemimpin adalah seorang yang melaksanakan yadnya. Pengorbanan adalah sifat alaminya. Dalam tataran yang lebih tinggi bisa dikatakan bahwa seorang pemimpin sejati adalah mereka yang benar-benar telah tiada. Artinya, ego, nafsu keserakahan, dan kepentingan-kepentingan pribadi sudah tidak ada lagi. Yang ada hanyalah pengorbanan dan pengabdian yang tanpa batas. Hanya dengan cara ini seorang pemimpin dicintai. Mengapa dicintai? Oleh karena pemimpin seperti ini menyediakan ruang yang luas bagi kepentingan masyarakat. Pemimpin yang tanpa ego tidak pernah berada di atas masyarakat. Mereka menjadi bagian dari masyarakat. Seperti inilah mungkin yang dimaksudkan oleh teks di atas. Jika pemimpin yang lahir dari kepentingan pribadi seperti untuk ketenaran dan kekayaan, maka dipastikan sebaik apapun visi dan misinya, jalan yang dilaluinya akan berbeda dengan jalan yang sudah digariskan di dalam program kerjanya. *
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
1
Komentar