73 Persen Cengkih di Buleleng Terserang JAP
Untuk mengenali dan mengantisipasi, petani dilatih pengendalian hama terpadu.
SINGARAJA, NusaBali
Serangan Jamur Akar Putih (JAP) pada tanaman cengkih di Bali sudah sangat mengkhawatirkan. Bahkan sebagian besar tanaman cengkih yang ada di Buleleng juga sudah diserang JAP dari kategori ringan hingga sedang, mencapai 73 persen dari luas total lahan delapan ribu hektare. Petani cengkih di tiga kecamatan Buleleng pun dilatih Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada Rabu (23/10/2019) di Balai Banjar Dinas Wita Jati, Desa Selat, Kecamatan Sukasada, Buleleng.
Dalam penerapan PHT yang dilaksanakan oleh UPTD Laboratorium Perlindungan Tanaman Perkebunan, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali juga mendatangkan ‘profesor pertanian’ yang menciptakan penakluk JAP. Ketua Panitia, Wayan Sugiarta, mengatakan dalam kegiatan sekolah lapang yang rutin dilakukan setiap tahunnya untuk menekan penyebaran JAP pada tanaman cengkih di Bali yang terus bertambah setiap tahunnya. Bahkan untuk ukuran Bali dengan luas lahan cengkih 12 ribu hektare yang terserang JAP sudah mencapai 75 persen.
“Proyek sekolah lapang ini terus mengendalikan lahan-lahan yang terserang JAP, tahun ini ada 300 hektare di Buleleng yang menjadi target. Setelah mendapatkan pelatihan harapannya petani secara mnadiri dapat menangani serangan JAP pada tanaman cengkih mereka,” ujar Sugiarta didampingi Kepala UPTD Laboratorium Perlindungan Tanaman Perkebunan, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali, Anang Priyono.
Tiga ratus lahan cengkih yang disasar adalah milik petani di Desa Mengening, Kecamatan Tejakula, petani cengkih Desa Selat, Kecamatan Sukasada dan petani cengkih Desa Umajero, Kecamatan Busungbiu, Buleleng. Mereka pun diberikan alat produksi tricodherma cair (obat pembasmi JAP, yang ke depannya diharapkan dapat memperbanyak dan memproduksi sendiri di masing-masing kelompok yang bibitnya nanti disuplai dari laboratorium. “Sejauh ini kami juga masih terus menyarankan petani untuk menyisihkan 10 persen hasil produksinya untuk nutrisi tanaman baik pupuk organik dan tricodherma, karena selama ini itu yang belum bisa dipenuhi petani cengkih dengan maksimal, salah satu penyebab meningkatnya serangan JAP,” tambah Anang.
Guru besar pertanian asal Universitas Jendral Sudirman Jawa Tengah, Prof Ir Loekas Soesanto MS PhD yang dihadirkan di tengah-tengah masyarakat juga mengatakan sejauh ini penyebaran JAP pada tanaman cengkih di Indonesia hanya ditemukan di Bali dan Batam. Sejauh ini dirinya pun masih mendalami bagaimana JAP bisa sampai di Bali, karena biasanya jamur ini berkembang di perkebunan karet.
Bali dengan serangan JAP tinggi pada tanaman cengkihnya, kata Prof Loekas, masih terkendala pada cara aplikasi obat yang kurang tepat. “JAP yang berkembang dalam tanah sering kali ditangani di batang yang seharusnya langsung di dalam tanahnya,” kata penemu metabolit sekunder (trichoderma cair) ini.
Selain itu diingatkan pula ketekunan petani di Bali dalam memberikan pengobatan organik pada tanaman cengkihnya masih sangat kurang. “Ibarat manusia yang hidup dengan pengobatan herbal tidak mungkin sekali konsumsi langsung sembuh tetapi ada treatment. Begitu juga kalau orang sakit tidak hanya diberi obat saja tapi tidak diberikan makanan juga tidak bisa hidup, jadi selain aplikasi obat dengan trichoderma juga perlu pupuk organik untuk suplai makanan pada tanaman,” jelas dia saat mengevaluasi serangan JAP di Bali.
Perawatan cengkih yang sudah terserang JAP juga perlu penanganan intens, terutama mencegah penyebaran jamurnya yang dapat disebarka secara tak sengaja melalui alas kaki petani. “Kebersihan kebun harus dijaga. Tanaman yang sudah terjangkit JAP seharusnya diisolasi dengan pemagaran, petani saat keluar masuk juga harus steril sehingga tak mudah menyebar ke tanaman lain,” imbuh dia.
Sementara itu Ketua Kelompok Tani Sari Luwih Merta Jati, Desa Selat, Ketut Nara mengaku merasa beruntung mendapatkan pelatihan ini. Dirinya pun baru menyadari tanaman cengkihnya di lahan seluas satu hektare sekitar 70 persennya terserang JAP, meski hanya serangan ringan. “Saya baru tahu setelah dapat pelatihan ini saya cocokkan dengan ciri-cirinya sama, artinya dengan tahu lebih awal bisa ditangani lebih awal juga,” kata Ketut Nara.*k23
Dalam penerapan PHT yang dilaksanakan oleh UPTD Laboratorium Perlindungan Tanaman Perkebunan, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali juga mendatangkan ‘profesor pertanian’ yang menciptakan penakluk JAP. Ketua Panitia, Wayan Sugiarta, mengatakan dalam kegiatan sekolah lapang yang rutin dilakukan setiap tahunnya untuk menekan penyebaran JAP pada tanaman cengkih di Bali yang terus bertambah setiap tahunnya. Bahkan untuk ukuran Bali dengan luas lahan cengkih 12 ribu hektare yang terserang JAP sudah mencapai 75 persen.
“Proyek sekolah lapang ini terus mengendalikan lahan-lahan yang terserang JAP, tahun ini ada 300 hektare di Buleleng yang menjadi target. Setelah mendapatkan pelatihan harapannya petani secara mnadiri dapat menangani serangan JAP pada tanaman cengkih mereka,” ujar Sugiarta didampingi Kepala UPTD Laboratorium Perlindungan Tanaman Perkebunan, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali, Anang Priyono.
Tiga ratus lahan cengkih yang disasar adalah milik petani di Desa Mengening, Kecamatan Tejakula, petani cengkih Desa Selat, Kecamatan Sukasada dan petani cengkih Desa Umajero, Kecamatan Busungbiu, Buleleng. Mereka pun diberikan alat produksi tricodherma cair (obat pembasmi JAP, yang ke depannya diharapkan dapat memperbanyak dan memproduksi sendiri di masing-masing kelompok yang bibitnya nanti disuplai dari laboratorium. “Sejauh ini kami juga masih terus menyarankan petani untuk menyisihkan 10 persen hasil produksinya untuk nutrisi tanaman baik pupuk organik dan tricodherma, karena selama ini itu yang belum bisa dipenuhi petani cengkih dengan maksimal, salah satu penyebab meningkatnya serangan JAP,” tambah Anang.
Guru besar pertanian asal Universitas Jendral Sudirman Jawa Tengah, Prof Ir Loekas Soesanto MS PhD yang dihadirkan di tengah-tengah masyarakat juga mengatakan sejauh ini penyebaran JAP pada tanaman cengkih di Indonesia hanya ditemukan di Bali dan Batam. Sejauh ini dirinya pun masih mendalami bagaimana JAP bisa sampai di Bali, karena biasanya jamur ini berkembang di perkebunan karet.
Bali dengan serangan JAP tinggi pada tanaman cengkihnya, kata Prof Loekas, masih terkendala pada cara aplikasi obat yang kurang tepat. “JAP yang berkembang dalam tanah sering kali ditangani di batang yang seharusnya langsung di dalam tanahnya,” kata penemu metabolit sekunder (trichoderma cair) ini.
Selain itu diingatkan pula ketekunan petani di Bali dalam memberikan pengobatan organik pada tanaman cengkihnya masih sangat kurang. “Ibarat manusia yang hidup dengan pengobatan herbal tidak mungkin sekali konsumsi langsung sembuh tetapi ada treatment. Begitu juga kalau orang sakit tidak hanya diberi obat saja tapi tidak diberikan makanan juga tidak bisa hidup, jadi selain aplikasi obat dengan trichoderma juga perlu pupuk organik untuk suplai makanan pada tanaman,” jelas dia saat mengevaluasi serangan JAP di Bali.
Perawatan cengkih yang sudah terserang JAP juga perlu penanganan intens, terutama mencegah penyebaran jamurnya yang dapat disebarka secara tak sengaja melalui alas kaki petani. “Kebersihan kebun harus dijaga. Tanaman yang sudah terjangkit JAP seharusnya diisolasi dengan pemagaran, petani saat keluar masuk juga harus steril sehingga tak mudah menyebar ke tanaman lain,” imbuh dia.
Sementara itu Ketua Kelompok Tani Sari Luwih Merta Jati, Desa Selat, Ketut Nara mengaku merasa beruntung mendapatkan pelatihan ini. Dirinya pun baru menyadari tanaman cengkihnya di lahan seluas satu hektare sekitar 70 persennya terserang JAP, meski hanya serangan ringan. “Saya baru tahu setelah dapat pelatihan ini saya cocokkan dengan ciri-cirinya sama, artinya dengan tahu lebih awal bisa ditangani lebih awal juga,” kata Ketut Nara.*k23
Komentar