Tak Lagi Hanya di Griya dan Puri
Gedong Gunung Rata Jadi Trend Orang Bali
Trend bangunan tersebut sebaiknya dilakukan dengan rasa tanggung jawab. Bahasa sederhananya, mesti nganutin sasukatan.
DENPASAR, NusaBali
GEDONG Gunung Rata, salah satu bangunan rumah Bali yang tak asing bagi masyarakat Bali. Bangunan ini merupakan salah satu ragam khas tinggalan arsitektur tradisional Bali terletak di bagian utara dalam sikut satak (pekarangan) khas Bali. Karena artistik dan ‘berwibawa’, gedong ini pun amat memikat karma Bali, terutama yang punya uang banyak untuk membangun rumah.
Gedong beratap bentuk limas nan megah ini, kini tidak lagi ekslusif atau hanya bisa ditemui di puri atau hunian kerajaan atau griya sang sulinggih. Di luar keduanya (puri dan griya,Red) itu, Gedong Gunung Rata menjadi bangunan yang semakin lumrah atau kian banyak ditemui. Ada semacam trend selera ‘kembali’ ke arsitektur tradisional di sebagian kalangan orang kaya Bali. Mereka amat rindu memiliki pola tempat tinggal dengan tata bangunan tradisional yang anggun, termasuk Gedong Gunung Rata.
Ahli Tata Ruang Bali Putu Rumawan Salain, mengiyakan trend tersebut. Terlepas dari sima dresta, selera orang Bali ke bangunan arsitektur tradisional, dalam hal ini Gedong Gunung Rata, merupaka hal positif. ‘’Trend ini mesti dipandang sebagai pelestarian kekayaaan nilai konsep arsitektur tradisional,’ jelas dosen Fakultas Teknik Arsitektur Unud ini.
Hanya saja, akademisi asal kota sejuk Bangli ini menyarankan trend bangunan tersebut sebaiknya dilakukan dengan rasa tanggung jawab. Bahasa sederhananya, jelas Rumawan Salain, penerapannya mesti sesuai atau nganutin sasukatan atau sukat dan pakem aturan arsitektur tradisional. “Jangan parsial atau setengah-setengah,” saran Rumawan Salain, Sabtu (19/10) lalu.
Dalam hal Gedong Gunung Rata, kata Rumawan Salain, harus juga diikuti dengan mengadakan skala proporsional. Mulai dari parahyangan mrajan/sanggah dan istilah lain untuk pemujaan keluarga sebagai huluning karang perumahan. Terus bale gede/bale dangin, bale dauh, biasanya bale saka/tiyang sanga atau sembilan. Klumpu atau jineng (lumbung), paon disebut juga pawaregan yakni dapur. “Jangan sampai ada yang dikutang (tak dipakai). Tetapi semua harus diambil atau diterapkan. Sehingga tidak terkesan hanya hanya sekadar suka-sukanya saja. Hal ini penting sebagai bagian dari pewarisan kekayaan arsitektur mesti mengandung informasi yang benar. Karena informasi sebagai bahan pembelajaran ilmu arsitektur masa lalu.
Terkait sima dresta pada masa zaman kerajaan, Gedong Gunung Rata merupakan bangunan tenget (sakral). Tidak dibolehkan sembarang orang atau masyarakat biasa membangun gedong ini. Karena bangunan tersebut melekat menjadi strata simbol penghuni di dalamnya. Dalam hal ini raja dan pendeta di griya. Karenanya Gedong Gunung Rata terbatas ada di puri atau jero (tempat tinggal keluarga/kerabat raja) dan di griya atau tempat tinggal sulinggih/pendeta. Di rumah masyarakat kebanyakan, tidak boleh dibangun Gedong Gunung Rata. “Kecuali diizinkan oleh raja atau puri,” ungkapnya. Itu pun, jelas dia, ada larangan tambahan, misalnya tidak boleh pakai prada atau cat emas.
Biasanya yang dibolehkan membuat Gedong Gunung Rata adalah mereka yang mendapat mandat sebagai perpanjangan tangan raja di tempat dan lingkungan masyarakat tertentu, yang umumnya sering disebut pamekel.
Ungkapan senada disampaikan I Made Sidja atau Pekak Sidja,87. Seniman lingsir serba bisa dari Desa Bona, Kecamatan Blahbatuh ini menuturkan pada zaman dulu di masa kerajaan tata letak dan pola perumahan memang ketat. Khususnya dalam hal wawangunan. Bangunan gedong, bale gede (bale dangin) dan bale tiang sanga (sembilan) hanya untuk puri, jero, dan griya. Sedang untuk masyarakat biasa, tentu relatif sederhana dan tidak seluas puri, jero atau griya. Untuk Bale Daje adalah meten gopelan ditambah bale sakanem/saka nenem (tiang enam). Itu lah jenis rumah tempat tinggal untuk masyarakat biasa. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut tentu ada sanksinya. “Tentu akan dikasengin (diperingatkan),” ujar seniman yang juga disapa Pekak Dalang Bona.
Kata dia, tata aturan wawangunan seperti itu tak hanya pada tempat tinggal. Wawangunan lain, seperti bade/wadah juga ada tata aturan ketat. Di antaranya, tata pola memasang papalihan. Jika ketahuan salah memasang papalihan, kata Pekak Sidja, juga ada sanksinya. ‘’Itulah dulu di zaman kerajaan,’’ jelasnya. *nt
Gedong beratap bentuk limas nan megah ini, kini tidak lagi ekslusif atau hanya bisa ditemui di puri atau hunian kerajaan atau griya sang sulinggih. Di luar keduanya (puri dan griya,Red) itu, Gedong Gunung Rata menjadi bangunan yang semakin lumrah atau kian banyak ditemui. Ada semacam trend selera ‘kembali’ ke arsitektur tradisional di sebagian kalangan orang kaya Bali. Mereka amat rindu memiliki pola tempat tinggal dengan tata bangunan tradisional yang anggun, termasuk Gedong Gunung Rata.
Ahli Tata Ruang Bali Putu Rumawan Salain, mengiyakan trend tersebut. Terlepas dari sima dresta, selera orang Bali ke bangunan arsitektur tradisional, dalam hal ini Gedong Gunung Rata, merupaka hal positif. ‘’Trend ini mesti dipandang sebagai pelestarian kekayaaan nilai konsep arsitektur tradisional,’ jelas dosen Fakultas Teknik Arsitektur Unud ini.
Hanya saja, akademisi asal kota sejuk Bangli ini menyarankan trend bangunan tersebut sebaiknya dilakukan dengan rasa tanggung jawab. Bahasa sederhananya, jelas Rumawan Salain, penerapannya mesti sesuai atau nganutin sasukatan atau sukat dan pakem aturan arsitektur tradisional. “Jangan parsial atau setengah-setengah,” saran Rumawan Salain, Sabtu (19/10) lalu.
Dalam hal Gedong Gunung Rata, kata Rumawan Salain, harus juga diikuti dengan mengadakan skala proporsional. Mulai dari parahyangan mrajan/sanggah dan istilah lain untuk pemujaan keluarga sebagai huluning karang perumahan. Terus bale gede/bale dangin, bale dauh, biasanya bale saka/tiyang sanga atau sembilan. Klumpu atau jineng (lumbung), paon disebut juga pawaregan yakni dapur. “Jangan sampai ada yang dikutang (tak dipakai). Tetapi semua harus diambil atau diterapkan. Sehingga tidak terkesan hanya hanya sekadar suka-sukanya saja. Hal ini penting sebagai bagian dari pewarisan kekayaan arsitektur mesti mengandung informasi yang benar. Karena informasi sebagai bahan pembelajaran ilmu arsitektur masa lalu.
Terkait sima dresta pada masa zaman kerajaan, Gedong Gunung Rata merupakan bangunan tenget (sakral). Tidak dibolehkan sembarang orang atau masyarakat biasa membangun gedong ini. Karena bangunan tersebut melekat menjadi strata simbol penghuni di dalamnya. Dalam hal ini raja dan pendeta di griya. Karenanya Gedong Gunung Rata terbatas ada di puri atau jero (tempat tinggal keluarga/kerabat raja) dan di griya atau tempat tinggal sulinggih/pendeta. Di rumah masyarakat kebanyakan, tidak boleh dibangun Gedong Gunung Rata. “Kecuali diizinkan oleh raja atau puri,” ungkapnya. Itu pun, jelas dia, ada larangan tambahan, misalnya tidak boleh pakai prada atau cat emas.
Biasanya yang dibolehkan membuat Gedong Gunung Rata adalah mereka yang mendapat mandat sebagai perpanjangan tangan raja di tempat dan lingkungan masyarakat tertentu, yang umumnya sering disebut pamekel.
Ungkapan senada disampaikan I Made Sidja atau Pekak Sidja,87. Seniman lingsir serba bisa dari Desa Bona, Kecamatan Blahbatuh ini menuturkan pada zaman dulu di masa kerajaan tata letak dan pola perumahan memang ketat. Khususnya dalam hal wawangunan. Bangunan gedong, bale gede (bale dangin) dan bale tiang sanga (sembilan) hanya untuk puri, jero, dan griya. Sedang untuk masyarakat biasa, tentu relatif sederhana dan tidak seluas puri, jero atau griya. Untuk Bale Daje adalah meten gopelan ditambah bale sakanem/saka nenem (tiang enam). Itu lah jenis rumah tempat tinggal untuk masyarakat biasa. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut tentu ada sanksinya. “Tentu akan dikasengin (diperingatkan),” ujar seniman yang juga disapa Pekak Dalang Bona.
Kata dia, tata aturan wawangunan seperti itu tak hanya pada tempat tinggal. Wawangunan lain, seperti bade/wadah juga ada tata aturan ketat. Di antaranya, tata pola memasang papalihan. Jika ketahuan salah memasang papalihan, kata Pekak Sidja, juga ada sanksinya. ‘’Itulah dulu di zaman kerajaan,’’ jelasnya. *nt
Komentar